Selasa, 14 Oktober 2014

Iri

IRI
                                                           (Kontemplasi  Peradaban)
 
       Belum lama ini saya diundang menghadiri pesta pernikahan (Minggu, 07 September  2014). Banyak orang yang datang dalam pesta ini dan di tempat itu pula saya seperti menonton  "panggung  pertunjukan."  Para ibu dalam pesta pernikahan itu laiknya  contest  pakaian dan memamerkan gaya rambut mutakhir model Syahrini.  Samar-samar seorang ibu yang berpakaian  a la fantastik itu  berkata, "Ih, ngapain   ibu sana itu  menggunakan baju lagaknya bagaikan burung  merak saja!"  Saya lihat wajahnya yang cemberut itu menunjukkan rasa iri.
          Secara harfiah, iri berarti "mata jahat"  (Bhs Latin, invĭdeo, vīdi, vīsum = memandang dengan mata jahat).  Melihat keberhasilan dan kebahagiaan orang lain sedemikian rupa – seandainya bisa – ia akan mengirimkan kutukan jahat terhadap keberhasilan orang tersebut. Kita lihat saja kisah Yusuf,  "Invidebant ei igitur fratres sui; pater vero rem tacitus considerabat" – Maka iri hatilah saudara-saudaranya kepadanya tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya (Kej 37: 11). Para saudaranya iri melihat Yusuf yang dimanja oleh kedua orang tuanya dan pakaiannya yang selalu  wah  itu  membuat mereka iri. Karena iri, tidak heranlah jika kesebelas saudaranya ingin membunuhnya. Memang, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
          Banyak kisah iri yang tertulis dalam kisah-kisah mitologi, drama fiksi maupun  sejarah. Dalam kisah yang berjudul  "Buah Apel Sumber Perselisihan Faham" dilukiskan ada tiga  diva yang amat cantik memerebutkan apel yang bertuliskan, "Untuk yang tercantik!"  Mereka adalah Juno, Minerva dan Venus. Dipilihlah Paris sebagai "wasit" untuk memutuskan siapa yang tercantik. Pada akhirnya, Paris meletakkan apel itu pada tangan Venus. Tentu saja, keputusan ini menimbulkan kemarahan dan iri dari  Minerva dan Juno. Sepenggal kisah tersebut di atas  yang merupakan pemicu  "Perang Troya."   Paris – yang disebut juga pencuri hati Helena – dilihat sebagai orang yang "pilih kasih" (Bdk. Buku dengn judul "Mitologi Yunani"  tulisan Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, hlm. 115 – 116).  Dalam hal ini benar apa yang dikatakan oleh Titus Livius (59 seb.M – 17 M) sejarawan Romawi Kuno,"Intacta invidia media sunt" – yang berada di tengah tidak tersentuh oleh iri.
           Shakespeare (1564 – 1616) mengisahkan kisah iri dalam drama  tragedy  yang berjudul, "Othello."  Dalam cerita ini dituturkan bahwa Othello memperoleh nama harum karena kesuksesannya dalam perang. Ia mengawini Desdemona yang juga sangat mencintainya dengan tulus. Othello kemudian mengangkat Cassio menjadi panglima tentara Venesia. Sementara itu, Iago – seorang calon kuat lain – merasa iri atas pengangkatan itu. Iago memilik rencana jahat untuk mengacaukan relasi antara Othello dan Cassio. Dibuatlah cerita "khayalan" bahwa ada relasi intim antara Cassio dan Desdemonia. Othello menjadi sangat iri dan mencemburui hubungan antara Desdemona dan Cassio. Maka Othello membunuh sang istri di tempat tidurnya (Bdk. Artikel dengan judul  "Cemburu" tulisan Markus Marlon). Sekali lagi, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
          Terakhir adalah  kisah tentang seorang yang iri dengan prestasi seseorang. Kita mungkin pernah mendengar orang yang bernama Mozart (1756 – 1791), seorang seniman besar  yang senang pesta pora, mengucapkan guyonan tentang seks yang berlebihan, tertawa terbahak-bahak dan sulit untuk diajak bicara secara serius. Seolah-olah popularitasnya didapat tanpa penuh perjuangan. Di pihak lain,  Antonio Salieri (1750 – 1825), seorang  componist, conductor dan guru musik klasik itu berupaya mati-matian untuk mendapatkan kemasyuran. Namun usahanya itu tidak semudah membalikkan tangan.  Puncak dalam film dengan judul,  "Amadeus"  itu adalah rasa iri dari Salieri yang menyalahkan Tuhan. Salieri sangat iri terhadap Mozart dan secara sembunyi-sembunyi ingin  "menjatuhkan" kedudukan Mozart. Namun sang maestro tenang-tenang saja, sedangkan Salieri hatinya: riuh, gaduh, dendam, tidak tenang, dengki dan iri. Seolah-olah Salieri dalam hati berkata, "Tuhan mengapa aku harus Engkau beri rasa iri, sehingga hidupku sangat menderita!"
 
Selasa, 14 Oktober 2014   Markus Marlon
 

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: