Selasa, 21 Oktober 2014

Singgah

SINGGAH
(Kontemplasi Peradaban)
          Budaya Jawa memiliki falsafah hidup  – yang kemungkinan – setiap orang Jawa pernah mendengarnya,  "Urip iku mung mampir ngombé" – hidup itu hanya sekadar singgah untuk minum.  Ungkapan ini semakin bisa dipahami tatkala kita membandingkan usia  jagat raya yang umurnya  4.54 miliar tahun. Seolah-olah, hidup kita di dunia ini hanya sekejab saja. Pemazmur menulis, "Manusia seperti angin, hari-harinya laksana bayang-bayang berlalu" (Mzm 144: 4)Dan tidak dapat disangkal bahwa umur manusia pun terbatas, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10). Penyair Romawi Kuno Vergilius (70  – 19 seb. M)  berucap, "Fugit irreparabile tempus" – Waktu berlalu terus dan tidak akan kembali.
          Yang namanya singgah  itu tentu sifatnya tidak  lama namun hanya sejenak dan singkat.  Dengan singgah di rumah sahabat misalnya, seseorang bisa bicara  ngalor-ngidul  dan kadang bisa menemukan kegembiraan dalam percakapan. Namun yang perlu diingat yaitu bahwa ketika seseorang singgah, ia akan tetap ingat akan tujuan yang sebenarnya yaitu  "rumahnya sendiri". Dalam arti ini, manusia adalah sang peziarah, homo viator  yang senantiasa berjalan dan berjalan. Tidak heranlah ketika dalam perjalanan, ia singgah sana dan singgah sini. Yakub selama hidupnya adalah seorang peziarah atau musafir. Sampai embusan nafas yang terakhir pun, ia adalah  seorang musafir tua yang masih memiliki tongkat perjalanan di tangannya. Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja siap untuk berjalan (Bdk. Ibr 11: 21). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makna hidup,  "urip mung mampir ngombé"  itu memiliki korelasi dengan  "ngèlmu sangkan paraning dumadi" – ilmu asal-usul kehidupan manusia. Manusia itu berasal dari sang Pencipta  dan akan kembali pada Sang Pencipta.
          Masing-masing kita diberi  "waktu singgah"  oleh sang Penyelenggara Kehidupan. Seorang  kickboxer dari Amerika,  Joe Lewis (1944 – 2012) berkata, "You only live once, but if you work it right once is enough – Anda hanya diberi waktu hidup sekali, tetapi jika anda hidup dengan benar maka sekali saja sudah cukup.  Memang yang penting bukan seberapa lama kita hidup, tetapi yang penting adalah seberapa bergunanya kita bagi sesama selama kita hidup ini. Benyamin Franklin (1705 – 1790) menulis, "Do you love life? If 'yes' do not squander time, because time does build  a life" – Apakah anda mencintai hidup? Kalau 'ya' jangan menyia-nyiakan waktu, sebab waktulah yang membangun kehidupan.
          Kita bukanlah  "penguasa kehidupan"  dan kita hanya diberi  waktu oleh Sang Pemberi Kehidupan. Suatu saat jiwa kita pun akan diambil, "Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu" (Bdk. Luk 12: 13 – 21). Waktu kita terbatas. Steve Jobs (1955 – 2011) mengingatkan kita dengan menulis, "Your time is limited, so don't waste it living someone else's life" – Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.
          Kadang dalam  nglakoni hidup ini  menuruti kehendak orang sehingga kita kehilangan arah dan tujuan. Kita singgah di tempat yang salah. Kita menjadi orang yang  "diem eximere dicendo" – melewatkan hari dengan omong kosong.  Atau sebuah kata yang pernah ditulis oleh Suetonius (71 – 135 M), "diem perdidi" aku telah kehilangan hari (karena singah sana dan singgah sini, tetapi tidak memiliki makna). Padahal kita menyadari bahwa  "dies diem docet" – hari yang satu mengajar hari yang lain. Hari berikutnya adalah murid dari hari sebelumnya.
          Sekali lagi, persinggahan di dunia ini terlalu singkat, "Tempus fugit" – waktu berlari. Lantas kita berkata dalam hati, "Apa makna hidupku yang singkat ini?"  Mari kita renungkan ungkapan dalam bahasa Prancis ini, "Ce qua nous faisons est à peine une goutte d'eau dans l'ocean, mais si nous ne faisons pas notre goutte d'eau manuqerait à  l'océan"  –  Apa yang kita kerjakan hampir tidak lebih dari sebuah tetes air dalam samodra. Tetapi kalau kita tidak mengerjakannya, maka samodra itu akan berkekurangan satu tetes air kita.

Selasa, 21 Oktober 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: