Rabu, 08 Oktober 2014

Kubu

KUBU
(Kontemplasi  Peradaban)
       Belum lama ini, saya singgah di rumah sahabat lama. Ketika dijamu  di ruang tamu, tiba-tiba anaknya yang berusia 10 tahun berkata, "Saya ikut  mama  ke  mall. Kakak tidak boleh ikut karena kakak ada di kubu papa!"   Lalu saya bertanya akan  kata-kata yang baru saja terucap dari anaknya itu, kenapa ada kubu-kubuan. Dia hanya tersenyum saja. Saya sendiri tidak memahami makna senyuman sahabat lamaku itu. Walahualam!
          Kata "kubu" akhir-akhir ini sedang marak.  Hampir setiap media cetak maupun elektronik mem-broadcast  tentang kubu ini dan kubu itu.  Konsekuensi logis dari munculnya  kubu ini adalah adanya persaingan, bahkan bisa mengarah kepada polemik, perang urat saraf dan fitnah. Dalam dunia politik, "perang" antar kubu ini disebabkan ada perebutan kekuasaan atau perebutan kursi kepemimpinan.
          Kata "Kubu" itu berasal  dari bahasa Jawa,  "kuwu" yang berarti kemah atau rumah sementara di medan perang.  Nah! dari katanya saja, kita tahu bahwa kubu itu merupakan rumah sementara di medan perang. Maka, tidak mengherankan  jika  "perang" antarkubu  yang sementara  gayêng (ramai, lucu serta memprihatinkan) ini pada akhirnya – diharapkan dan semoga  –  menyejahterakan rakyat (bonum commune communitatis) dan bukan sebaliknya, menyengsarakan rakyat.  
          Sebenarnya kalau kita nonton film-film perang seperti: perang  Mahabaratha, Perang  Ramayana, perang  Samkok, perang  Troya, perang di bawah panji  Julius Caesar (100 – 44 seb.M), perang yang dipimpin Napoleon Bonaparte (1769 – 1821), pasti di sana ada kemah atau tenda. Dalam kubu, tenda dan kemah ini para "pemikir" atau ahli strategi perang berupaya menghancurkan kubu seberang (Bdk. Strategi perang  Sun-Tzu)  – kalau mungkin dengan –  menghalalkan segala cara  a la  Machiavelli (Nama Machiavelli: 1469 – 1527, kemudian diasosiakan dengan hal yang buruk, "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan."  Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis).      
          Mengontemplasikan arti "kubu" di atas, seolah-olah agak sulit mereka saling bertemu, apalagi dalam bahasa politik, kubu ini menamakan dirinya sebagai  partai oposisi (Latin: "opposition"  – op: lawan dan positio: letak. positus dari  ponere yang berarti menempatkan. Kalau seseorang sudah secara sengaja menempatkan diri sebagai lawan, tentu saja tidak mudah untuk "berdamai."  Kita ingat akan  Proverbia  Latina – yang sering saya kutip – berbunyi, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Rakyat kecil,  wong cilik  seringkali dibuat geram oleh para pelaku politisi (badut-badut) yang hari-hari sebelumnya  "berkelahi" tapi hari berikut mereka minum bersama dan melakukan  toast.  Mereka sudah berhasil melakukan  lobby dan mufakat.  Barangkali – sekali lagi – kepentingan mereka sudah tercapai, sehingga kedua kubu itu bisa saling bertemu.
          Yang paling tragis dalam perang antarkubu adalah terpisahnya anggota keluarga karena beda idiologis  yang bisa mengacu pada perang saudara. Dalam perang Troya, sebuah episode yang mengharukan dapat dilihat ketika Priamus ayah Paris harus  mundhuk-mundhuk (minta dengan sangat sambil tunduk kepada pihak musuh) kepada Achilles untuk mengambil jenazah Hektor,  "Priamus berlutut dan mencium tangan Achilles" (bdk.  Mitologi Yunani  tulisan Edith Hamilton, hlm.178)  Atau dalam kisah Mahabaratha,  kita tahu bahwa Kunthi memiliki anak yang tinggal di kubu Kurawa. Seorang ibu begitu sedih ketika  hendak menyaksikan  "perang saudara" antara Karna dan Arjuna yang adalah anak-anaknya sendiri. Kunthi sembunyi-sembunyi memasuki kubu lawan. Tetapi lobby  yang dibuat Kunthi dengan Karna gagal total.
          Akhir-akhir ini, setiap orang bebas meng-akses berita tentang "perebutan kursi kepemimpinan." Masing-masing kubu mengelus-elus jagonya. Merenungkan musyarawah dalam  parlement,  saya menjadi ingat akan kisah William Wilberforce (1759 – 1833), seorang politikus Inggris dan pemimpin pembebasan perbudakan. Dalam biografinya yang sudah difilmkan itu, ia begitu tegas dan membela mati-matian kamu kecil yaitu para budak. Waktu itu, kubu yang berseberangan merupakan kubu yang mayoritas dan suaranya garang-garang. Namun bisa dikalahkan ketika masing-masing anggota  parlement disadarkan bahwa semua demi kepentingan rakyat kecil. Kekuatan kubu yang menggebu-gebu itu akhirnya kalah menjadi abu.

Selasa, 07 Oktober 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: