Mengendalikan Emosi demi Hidup Damai
Apa yang akan terjadi, kalau Anda menjadi bulan-bulanan ejekan? Saya yakin, hati Anda terasa sakit. Mungkin Anda akan marah terhadap orang yang melakukannya.
Berawal dari sakit hati karena diejek, MF alias Al (14) pelajar sebuah SMP di Jakarta Timur tega membacok rekannya Yakobush Lincoln Abraham Yunus (13) siswa kelas VII SMP Advent Ciracas, Jakarta Timur. Di hadapan penyidik Polres Metro Jakarta Timur, MF telah mengakui kejadian yang dilakukannya pada Sabtu (10/5) pukul 20.00 WIB. MF bersama enam temannya menemui Bus, sapaan akrab Yakobush, di sebuah lapangan di dekat rumahnya di Jalan Pule Dinas Kebersihan, Ciracas, Jakarta Timur.
"Hasil pemeriksaan penganiayaan dilatarbelakangi pelaku sakit hati terhadap korban. Korban dianiaya dengan senjata tajam sampai akhirnya meninggal, karena kehabisan darah," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Timur, Ajun Komisaris Besar Didik Sugiarto.
Sebelumnya, MF mengakui telah merencanakan melakukan penganiayan kepada korban. Pasalnya, ketika menemui Bus, MF melalui temannya AS alias M (14), telah menyiapkan sebilah celurit. Sebelum MF menyerang Bus, mereka terlihat sempat adu mulut. Bahkan MF mencekik leher korban dengan tangan kirinya sampai akhirnya terjadi penganiayaan.
Rekan Bus yang juga berada di lokasi kejadian langsung melarikan Bus ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo. Sayang, dalam perjalanan korban kehabisan darah dan langsung meninggal.
Kepala Polisi Sektor Ciracas, Komisaris Suwanda mengatakan, pelaku dendam lantaran kerap diejek oleh korban. "Dia (MF) sering di kata-katain setiap kali bertemu. Kemudian timbul rasa ingin balas dendam," kata Suwanda.
Sahabat, dendam yang dipendam bisa menjadi malapetaka bagi kehidupan. Soalnya, mengapa orang merasa dendam terhadap orang lain? Tentu saja ada banyak alasan orang merasa dendam terhadap orang lain. Namun menghakimi orang lain tetap menjadi suatu perbuatan melawan hukum. Apalagi sampai melakukan perbuatan kriminal terhadap sesama.
Kisah di atas menjadi suatu kisah yang memilukan hati manusia. Memang, tidak enak rasanya menjadi bulan-bulanan ejekan dari orang lain. Namun orang mesti menyadari bahwa menghakimi sendiri orang yang mengejek kita, bukan suatu tindakan yang benar. Ada jalur hukum yang bisa dilakukan untuk meminta keadilan. Sayang, MF tidak mau mengambil jalur hukum. Ia ingin menjadi hakim sendiri. Hasilnya, sangat tragis bagi kehidupan.
Orang beriman mesti memupuk kesabaran dalam hidup. Dengan demikian, orang tidak terbawa emosi yang kemudian berakibat tragis bagi kehidupan orang lain. "Janganlah engkau menghakimi sesamamu manusia, agar Anda tidak dihakimi dengan lebih berat lagi," kata seorang bijaksana.
Ungkapan ini mau mengajak kita untuk selalu berusaha mengendalikan emosi kita. Emosi yang tidak terkendali hanya menimbulkan suasana hidup yang tidak harmonis. "Kalau Anda sedang dalam perjalanan menuju pengadilan bersama lawanmu, sebaiknya Anda mengajak lawanmu itu berdamai. Jangan sampai Anda yang dijebloskan ke dalam penjara," kata Yesus.
Tentu saja orang beriman tidak ingin hidup orang lain mengalami dukacita karena perbuatannya. Justru sebaliknya, orang beriman selalu memperjuangkan kebaikan dalam hidup ini. Mari kita terus-menerus memperjuangkan damai dalam hidup ini. Dengan demikian, hidup kita menjadi berkat bagi orang lain. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Jumat, 31 Oktober 2014
Selasa, 21 Oktober 2014
Singgah
SINGGAH
(Kontemplasi Peradaban)
Budaya Jawa memiliki falsafah hidup – yang kemungkinan – setiap orang Jawa pernah mendengarnya, "Urip iku mung mampir ngombé" – hidup itu hanya sekadar singgah untuk minum. Ungkapan ini semakin bisa dipahami tatkala kita membandingkan usia jagat raya yang umurnya 4.54 miliar tahun. Seolah-olah, hidup kita di dunia ini hanya sekejab saja. Pemazmur menulis, "Manusia seperti angin, hari-harinya laksana bayang-bayang berlalu" (Mzm 144: 4)Dan tidak dapat disangkal bahwa umur manusia pun terbatas, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10). Penyair Romawi Kuno Vergilius (70 – 19 seb. M) berucap, "Fugit irreparabile tempus" – Waktu berlalu terus dan tidak akan kembali.
Yang namanya singgah itu tentu sifatnya tidak lama namun hanya sejenak dan singkat. Dengan singgah di rumah sahabat misalnya, seseorang bisa bicara ngalor-ngidul dan kadang bisa menemukan kegembiraan dalam percakapan. Namun yang perlu diingat yaitu bahwa ketika seseorang singgah, ia akan tetap ingat akan tujuan yang sebenarnya yaitu "rumahnya sendiri". Dalam arti ini, manusia adalah sang peziarah, homo viator yang senantiasa berjalan dan berjalan. Tidak heranlah ketika dalam perjalanan, ia singgah sana dan singgah sini. Yakub selama hidupnya adalah seorang peziarah atau musafir. Sampai embusan nafas yang terakhir pun, ia adalah seorang musafir tua yang masih memiliki tongkat perjalanan di tangannya. Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja siap untuk berjalan (Bdk. Ibr 11: 21). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makna hidup, "urip mung mampir ngombé" itu memiliki korelasi dengan "ngèlmu sangkan paraning dumadi" – ilmu asal-usul kehidupan manusia. Manusia itu berasal dari sang Pencipta dan akan kembali pada Sang Pencipta.
Masing-masing kita diberi "waktu singgah" oleh sang Penyelenggara Kehidupan. Seorang kickboxer dari Amerika, Joe Lewis (1944 – 2012) berkata, "You only live once, but if you work it right once is enough – Anda hanya diberi waktu hidup sekali, tetapi jika anda hidup dengan benar maka sekali saja sudah cukup. Memang yang penting bukan seberapa lama kita hidup, tetapi yang penting adalah seberapa bergunanya kita bagi sesama selama kita hidup ini. Benyamin Franklin (1705 – 1790) menulis, "Do you love life? If 'yes' do not squander time, because time does build a life" – Apakah anda mencintai hidup? Kalau 'ya' jangan menyia-nyiakan waktu, sebab waktulah yang membangun kehidupan.
Kita bukanlah "penguasa kehidupan" dan kita hanya diberi waktu oleh Sang Pemberi Kehidupan. Suatu saat jiwa kita pun akan diambil, "Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu" (Bdk. Luk 12: 13 – 21). Waktu kita terbatas. Steve Jobs (1955 – 2011) mengingatkan kita dengan menulis, "Your time is limited, so don't waste it living someone else's life" – Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.
Kadang dalam nglakoni hidup ini menuruti kehendak orang sehingga kita kehilangan arah dan tujuan. Kita singgah di tempat yang salah. Kita menjadi orang yang "diem eximere dicendo" – melewatkan hari dengan omong kosong. Atau sebuah kata yang pernah ditulis oleh Suetonius (71 – 135 M), "diem perdidi" aku telah kehilangan hari (karena singah sana dan singgah sini, tetapi tidak memiliki makna). Padahal kita menyadari bahwa "dies diem docet" – hari yang satu mengajar hari yang lain. Hari berikutnya adalah murid dari hari sebelumnya.
Sekali lagi, persinggahan di dunia ini terlalu singkat, "Tempus fugit" – waktu berlari. Lantas kita berkata dalam hati, "Apa makna hidupku yang singkat ini?" Mari kita renungkan ungkapan dalam bahasa Prancis ini, "Ce qua nous faisons est à peine une goutte d'eau dans l'ocean, mais si nous ne faisons pas notre goutte d'eau manuqerait à l'océan" – Apa yang kita kerjakan hampir tidak lebih dari sebuah tetes air dalam samodra. Tetapi kalau kita tidak mengerjakannya, maka samodra itu akan berkekurangan satu tetes air kita.
(Kontemplasi Peradaban)
Budaya Jawa memiliki falsafah hidup – yang kemungkinan – setiap orang Jawa pernah mendengarnya, "Urip iku mung mampir ngombé" – hidup itu hanya sekadar singgah untuk minum. Ungkapan ini semakin bisa dipahami tatkala kita membandingkan usia jagat raya yang umurnya 4.54 miliar tahun. Seolah-olah, hidup kita di dunia ini hanya sekejab saja. Pemazmur menulis, "Manusia seperti angin, hari-harinya laksana bayang-bayang berlalu" (Mzm 144: 4)Dan tidak dapat disangkal bahwa umur manusia pun terbatas, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10). Penyair Romawi Kuno Vergilius (70 – 19 seb. M) berucap, "Fugit irreparabile tempus" – Waktu berlalu terus dan tidak akan kembali.
Yang namanya singgah itu tentu sifatnya tidak lama namun hanya sejenak dan singkat. Dengan singgah di rumah sahabat misalnya, seseorang bisa bicara ngalor-ngidul dan kadang bisa menemukan kegembiraan dalam percakapan. Namun yang perlu diingat yaitu bahwa ketika seseorang singgah, ia akan tetap ingat akan tujuan yang sebenarnya yaitu "rumahnya sendiri". Dalam arti ini, manusia adalah sang peziarah, homo viator yang senantiasa berjalan dan berjalan. Tidak heranlah ketika dalam perjalanan, ia singgah sana dan singgah sini. Yakub selama hidupnya adalah seorang peziarah atau musafir. Sampai embusan nafas yang terakhir pun, ia adalah seorang musafir tua yang masih memiliki tongkat perjalanan di tangannya. Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja siap untuk berjalan (Bdk. Ibr 11: 21). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makna hidup, "urip mung mampir ngombé" itu memiliki korelasi dengan "ngèlmu sangkan paraning dumadi" – ilmu asal-usul kehidupan manusia. Manusia itu berasal dari sang Pencipta dan akan kembali pada Sang Pencipta.
Masing-masing kita diberi "waktu singgah" oleh sang Penyelenggara Kehidupan. Seorang kickboxer dari Amerika, Joe Lewis (1944 – 2012) berkata, "You only live once, but if you work it right once is enough – Anda hanya diberi waktu hidup sekali, tetapi jika anda hidup dengan benar maka sekali saja sudah cukup. Memang yang penting bukan seberapa lama kita hidup, tetapi yang penting adalah seberapa bergunanya kita bagi sesama selama kita hidup ini. Benyamin Franklin (1705 – 1790) menulis, "Do you love life? If 'yes' do not squander time, because time does build a life" – Apakah anda mencintai hidup? Kalau 'ya' jangan menyia-nyiakan waktu, sebab waktulah yang membangun kehidupan.
Kita bukanlah "penguasa kehidupan" dan kita hanya diberi waktu oleh Sang Pemberi Kehidupan. Suatu saat jiwa kita pun akan diambil, "Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu" (Bdk. Luk 12: 13 – 21). Waktu kita terbatas. Steve Jobs (1955 – 2011) mengingatkan kita dengan menulis, "Your time is limited, so don't waste it living someone else's life" – Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.
Kadang dalam nglakoni hidup ini menuruti kehendak orang sehingga kita kehilangan arah dan tujuan. Kita singgah di tempat yang salah. Kita menjadi orang yang "diem eximere dicendo" – melewatkan hari dengan omong kosong. Atau sebuah kata yang pernah ditulis oleh Suetonius (71 – 135 M), "diem perdidi" aku telah kehilangan hari (karena singah sana dan singgah sini, tetapi tidak memiliki makna). Padahal kita menyadari bahwa "dies diem docet" – hari yang satu mengajar hari yang lain. Hari berikutnya adalah murid dari hari sebelumnya.
Sekali lagi, persinggahan di dunia ini terlalu singkat, "Tempus fugit" – waktu berlari. Lantas kita berkata dalam hati, "Apa makna hidupku yang singkat ini?" Mari kita renungkan ungkapan dalam bahasa Prancis ini, "Ce qua nous faisons est à peine une goutte d'eau dans l'ocean, mais si nous ne faisons pas notre goutte d'eau manuqerait à l'océan" – Apa yang kita kerjakan hampir tidak lebih dari sebuah tetes air dalam samodra. Tetapi kalau kita tidak mengerjakannya, maka samodra itu akan berkekurangan satu tetes air kita.
Selasa, 21 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Minggu, 19 Oktober 2014
Batas
BATAS*
(Kontemplasi Peradaban)
Beberapa tahun yang lalu (1988 – 1994), ketika saya sebagai skolastik dan Romo Budi sebagai superior, ia pernah berkata kepada saya, dalam bahasa Jawa yang kental, "Lon, urip iku ana watese" – Lon hidup itu ada batasnya. Kata-kata itu berbunyi merdu dalam hatiku hingga detik ini. Dan ia berkata lagi, "Ada batas untuk popular, ada batas waktu memiliki jabatan, ada batas untuk sehat dan ada batas umur. Semua ada yang atur dan kita hanya ngaloni saja!"
Selama Romo Budi dirawat di RS Geriyatri, saya beberapa kali diberi info perkembangan kesehatannya dan akhirnya Tuhan sendiri yang menjemputnya. Dan dalam waktu dekat, nama Romo Budi akan masuk dalam album necrologium (Buku Kematian). Lantas, saya pun berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya. Terminus vitae – tonggak akhir kehidupan.
"Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal 9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut wartel-wartel (warung tilpon – waktu itu HP belum popular), dipenuhi dengan anak-anak muda yang "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma, minta maaf yah, selama ini saya tidak mau dengar mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!" Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk orang-orang yang dicintai. Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta. Pagi ini (Sabtu, 18 Oktober 2014) sebelum wafatnya, kelompok Legio Mariae dan koster dari Purwosari telah mendoakan "Doa Pembebasan" (Pukul 08.45) dan setelah selesai doa rasario, Amin. Romo Budi wafat (Pukul 09.00), "Consummatum est" – sudah selesai.
Jonathan Swift (1667 – 1745) dalam bukunya yang berjudul Gulliver's Travels melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dan dari kodrat manusiawi," yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup. Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.
Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk mencapai garis finish atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus menulis sebuah dictum bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik. Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu." Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya. Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam bukunya yang berjudul, Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).
Tanggal 2 November beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu. Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP. Lalu, pikiran saya menerawang ke negeri antah-berantah yang memiliki orang-orang hebat yang sudah meninggal dunia, namun masih meninggalkan karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works. Di atas nisan Johann Sebastian Bach (1685 – 1750) masih ada symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang "bergentayangan."
Tentu saja kita berharap bahwa Romo Budi masih bisa berkarya di tengah-tengah kita, apalagi hidupnya sungguh-sungguh menjadi inspirasi bagi banyak orang dan masih banyak karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works. Tetapi kita yakin dan percaya bahwa seperti bacaan kemarin dalam Peringatan St. Ignatius dari Antiokia (Jumat, 17 Oktober 2014) kita menemukan bacaan yang bagus, "Jika benih gandum mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Bdk. Yoh 12: 24 – 26). Romo Budi, "Sugeng tindak" – selamat jalan!
(Kontemplasi Peradaban)
Beberapa tahun yang lalu (1988 – 1994), ketika saya sebagai skolastik dan Romo Budi sebagai superior, ia pernah berkata kepada saya, dalam bahasa Jawa yang kental, "Lon, urip iku ana watese" – Lon hidup itu ada batasnya. Kata-kata itu berbunyi merdu dalam hatiku hingga detik ini. Dan ia berkata lagi, "Ada batas untuk popular, ada batas waktu memiliki jabatan, ada batas untuk sehat dan ada batas umur. Semua ada yang atur dan kita hanya ngaloni saja!"
Selama Romo Budi dirawat di RS Geriyatri, saya beberapa kali diberi info perkembangan kesehatannya dan akhirnya Tuhan sendiri yang menjemputnya. Dan dalam waktu dekat, nama Romo Budi akan masuk dalam album necrologium (Buku Kematian). Lantas, saya pun berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya. Terminus vitae – tonggak akhir kehidupan.
"Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal 9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut wartel-wartel (warung tilpon – waktu itu HP belum popular), dipenuhi dengan anak-anak muda yang "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma, minta maaf yah, selama ini saya tidak mau dengar mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!" Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk orang-orang yang dicintai. Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta. Pagi ini (Sabtu, 18 Oktober 2014) sebelum wafatnya, kelompok Legio Mariae dan koster dari Purwosari telah mendoakan "Doa Pembebasan" (Pukul 08.45) dan setelah selesai doa rasario, Amin. Romo Budi wafat (Pukul 09.00), "Consummatum est" – sudah selesai.
Jonathan Swift (1667 – 1745) dalam bukunya yang berjudul Gulliver's Travels melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dan dari kodrat manusiawi," yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup. Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.
Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk mencapai garis finish atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus menulis sebuah dictum bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik. Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu." Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya. Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam bukunya yang berjudul, Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).
Tanggal 2 November beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu. Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP. Lalu, pikiran saya menerawang ke negeri antah-berantah yang memiliki orang-orang hebat yang sudah meninggal dunia, namun masih meninggalkan karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works. Di atas nisan Johann Sebastian Bach (1685 – 1750) masih ada symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang "bergentayangan."
Tentu saja kita berharap bahwa Romo Budi masih bisa berkarya di tengah-tengah kita, apalagi hidupnya sungguh-sungguh menjadi inspirasi bagi banyak orang dan masih banyak karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works. Tetapi kita yakin dan percaya bahwa seperti bacaan kemarin dalam Peringatan St. Ignatius dari Antiokia (Jumat, 17 Oktober 2014) kita menemukan bacaan yang bagus, "Jika benih gandum mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Bdk. Yoh 12: 24 – 26). Romo Budi, "Sugeng tindak" – selamat jalan!
*Kontemplasi Peradaban Edisi Khusus
Sabtu, 18 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Jumat, 17 Oktober 2014
Fitnah
FITNAH
(Kontemplasi Peradaban)
Pagi hari – setelah sarapan – biasanya saya minum kopi sambil membaca harian lokal (Rabu, 15 Oktober 2013). Dalam rubrik Hot Seleb's tertulis "Luna Maya Santai Digosipkan Aborsi." Luna Maya mengaku telah difitnah dan ia tidak marah, "Siapa pun yang menyebar fitnah tentang diri saya, saya berterima kasih karena telah mengurangi dosa-dosa saya.."
Apa yang dikatakan Luna itu, membuatku termenung untuk beberapa saat. Dalam hati saya bertanya, "Apakah dengan difitnah dosa-dosaku berkurang?" Wallahualam!! Kata Fitnah itu berasal dari bahasa Arab yang berarti: penyebaran kabar bohong atau hasutan karena dengki dan iri. Kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang atau membicarakan keburukan orang bukan di hadapan yang bersangkutan. Dalam hadis pernah dilukiskan seperti ini. Ketika para sahabatnya bertanya tentang makna memfitnah, sang Nabi menjabarkannya. Ia mengatakan bahwa mengumpat adalah "mengatakan sesuatu tentang saudaramu yang tidak dia sukai." Sang Nabi menambahkan, "Jika yang kalian katakan mengenai seseorang memang benar, maka itu berarti kalian telah mengumpatnya dan jika tidak benar maka kalian telah memfitnahnya" (Buku tulisan Christine Huda Dodge yang berjudul, "Memahami Segalanya Tentang Islam," hlm. 188). Memang benar apa yang dikatakan Kanjeng Nabi bahwa memfitnah itu sungguh-sungguh merugikan orang lain dan membawa luka di hati. Pepatah Latin menulis, "Audacter calumniare, semper aliquid haeret" – memfitnah secara gegabah selalu akan menggoreskan sesuatu yang buruk.
Dalam bahasa Inggris, kata fitnah ini memiliki beraneka ragam makna, seperti: asperse, detract, defama, slander dan calumniate. Kata "slander"- lah yang sering digunakan untuk merujuk makna fitnah. Slander dari bahasa Inggris Kuno yaitu sclandre dan kata itu berasal dari scandal dari bahasa Latin scandalum dan dari bahasa Yunani, skandalon, skandalon yang berarti "batu sandungan" (stumbling-block). Tentu saja, orang yang memfitnah itu akan menjadi batu sandungan bagi banyak orang.
Pada zaman kekaisaran Romawi – ketika kekristenan mulai menyebar di kota Roma – tuduhan fitnah bagi orang Kristen adalah mereka dituduh sebagai kanibal. Fitnahan ini dilontarkan dengan cara memutarbalikkan kata-kata yang ada dalam Perjamuan Kudus, "Inilah piala darah-Ku …..yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang..." Orang-orang Kristen dituduh membunuh dan memakan anak kecil dalam perayaan-perayaan mereka (Bdk. Buku tulisan William Barclay dengan judul, "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat Yakobus, 1 dan 2 Petrus" hlm. 322). Itulah sebabnya orang-orang yang percaya kepada Kristus atau Kristen itu dikejar-kejar untuk dibunuh karena hasutan atau fitnahan. Para pemfinah itu bertindak kesetanan atau berjiwa iblis yang dalam bahasa Yunaninya adalah diabolos, diabolos yang arti harfiahnya adalah pemfitnah (slanderer).
Kita menjadi sadar bahwa memfitnah adalah tindakan yang sangat tidak terpuji. Tidak heranlah jika orang yang menyebarkan fitnah itu disebut juga sebagai iblis (diabolos). Quintus Horatius Flaccus (65 – 8 seb.M) – penulis lirik dan penulis satir Romawi Kuno – pernah menulis, "Absentem qui rodit amicum, qui non defendit alio culpante, hic niger est, hunc tu, Romane caveto!!" – yang memfitnah teman yang tidak hadir dan tidak membelanya ketika teman itu dipersalahkan, dia itu adalah orang yang berwatak jahat. Hai orang Romawi, hati-hatilah terhadap orang semacam itu!!
(Kontemplasi Peradaban)
Pagi hari – setelah sarapan – biasanya saya minum kopi sambil membaca harian lokal (Rabu, 15 Oktober 2013). Dalam rubrik Hot Seleb's tertulis "Luna Maya Santai Digosipkan Aborsi." Luna Maya mengaku telah difitnah dan ia tidak marah, "Siapa pun yang menyebar fitnah tentang diri saya, saya berterima kasih karena telah mengurangi dosa-dosa saya.."
Apa yang dikatakan Luna itu, membuatku termenung untuk beberapa saat. Dalam hati saya bertanya, "Apakah dengan difitnah dosa-dosaku berkurang?" Wallahualam!! Kata Fitnah itu berasal dari bahasa Arab yang berarti: penyebaran kabar bohong atau hasutan karena dengki dan iri. Kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang atau membicarakan keburukan orang bukan di hadapan yang bersangkutan. Dalam hadis pernah dilukiskan seperti ini. Ketika para sahabatnya bertanya tentang makna memfitnah, sang Nabi menjabarkannya. Ia mengatakan bahwa mengumpat adalah "mengatakan sesuatu tentang saudaramu yang tidak dia sukai." Sang Nabi menambahkan, "Jika yang kalian katakan mengenai seseorang memang benar, maka itu berarti kalian telah mengumpatnya dan jika tidak benar maka kalian telah memfitnahnya" (Buku tulisan Christine Huda Dodge yang berjudul, "Memahami Segalanya Tentang Islam," hlm. 188). Memang benar apa yang dikatakan Kanjeng Nabi bahwa memfitnah itu sungguh-sungguh merugikan orang lain dan membawa luka di hati. Pepatah Latin menulis, "Audacter calumniare, semper aliquid haeret" – memfitnah secara gegabah selalu akan menggoreskan sesuatu yang buruk.
Dalam bahasa Inggris, kata fitnah ini memiliki beraneka ragam makna, seperti: asperse, detract, defama, slander dan calumniate. Kata "slander"- lah yang sering digunakan untuk merujuk makna fitnah. Slander dari bahasa Inggris Kuno yaitu sclandre dan kata itu berasal dari scandal dari bahasa Latin scandalum dan dari bahasa Yunani, skandalon, skandalon yang berarti "batu sandungan" (stumbling-block). Tentu saja, orang yang memfitnah itu akan menjadi batu sandungan bagi banyak orang.
Pada zaman kekaisaran Romawi – ketika kekristenan mulai menyebar di kota Roma – tuduhan fitnah bagi orang Kristen adalah mereka dituduh sebagai kanibal. Fitnahan ini dilontarkan dengan cara memutarbalikkan kata-kata yang ada dalam Perjamuan Kudus, "Inilah piala darah-Ku …..yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang..." Orang-orang Kristen dituduh membunuh dan memakan anak kecil dalam perayaan-perayaan mereka (Bdk. Buku tulisan William Barclay dengan judul, "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat Yakobus, 1 dan 2 Petrus" hlm. 322). Itulah sebabnya orang-orang yang percaya kepada Kristus atau Kristen itu dikejar-kejar untuk dibunuh karena hasutan atau fitnahan. Para pemfinah itu bertindak kesetanan atau berjiwa iblis yang dalam bahasa Yunaninya adalah diabolos, diabolos yang arti harfiahnya adalah pemfitnah (slanderer).
Kita menjadi sadar bahwa memfitnah adalah tindakan yang sangat tidak terpuji. Tidak heranlah jika orang yang menyebarkan fitnah itu disebut juga sebagai iblis (diabolos). Quintus Horatius Flaccus (65 – 8 seb.M) – penulis lirik dan penulis satir Romawi Kuno – pernah menulis, "Absentem qui rodit amicum, qui non defendit alio culpante, hic niger est, hunc tu, Romane caveto!!" – yang memfitnah teman yang tidak hadir dan tidak membelanya ketika teman itu dipersalahkan, dia itu adalah orang yang berwatak jahat. Hai orang Romawi, hati-hatilah terhadap orang semacam itu!!
Jumat, 17 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Selasa, 14 Oktober 2014
Iri
IRI
(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini saya diundang menghadiri pesta pernikahan (Minggu, 07 September 2014). Banyak orang yang datang dalam pesta ini dan di tempat itu pula saya seperti menonton "panggung pertunjukan." Para ibu dalam pesta pernikahan itu laiknya contest pakaian dan memamerkan gaya rambut mutakhir model Syahrini. Samar-samar seorang ibu yang berpakaian a la fantastik itu berkata, "Ih, ngapain ibu sana itu menggunakan baju lagaknya bagaikan burung merak saja!" Saya lihat wajahnya yang cemberut itu menunjukkan rasa iri.
Secara harfiah, iri berarti "mata jahat" (Bhs Latin, invĭdeo, vīdi, vīsum = memandang dengan mata jahat). Melihat keberhasilan dan kebahagiaan orang lain sedemikian rupa – seandainya bisa – ia akan mengirimkan kutukan jahat terhadap keberhasilan orang tersebut. Kita lihat saja kisah Yusuf, "Invidebant ei igitur fratres sui; pater vero rem tacitus considerabat" – Maka iri hatilah saudara-saudaranya kepadanya tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya (Kej 37: 11). Para saudaranya iri melihat Yusuf yang dimanja oleh kedua orang tuanya dan pakaiannya yang selalu wah itu membuat mereka iri. Karena iri, tidak heranlah jika kesebelas saudaranya ingin membunuhnya. Memang, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
Banyak kisah iri yang tertulis dalam kisah-kisah mitologi, drama fiksi maupun sejarah. Dalam kisah yang berjudul "Buah Apel Sumber Perselisihan Faham" dilukiskan ada tiga diva yang amat cantik memerebutkan apel yang bertuliskan, "Untuk yang tercantik!" Mereka adalah Juno, Minerva dan Venus. Dipilihlah Paris sebagai "wasit" untuk memutuskan siapa yang tercantik. Pada akhirnya, Paris meletakkan apel itu pada tangan Venus. Tentu saja, keputusan ini menimbulkan kemarahan dan iri dari Minerva dan Juno. Sepenggal kisah tersebut di atas yang merupakan pemicu "Perang Troya." Paris – yang disebut juga pencuri hati Helena – dilihat sebagai orang yang "pilih kasih" (Bdk. Buku dengn judul "Mitologi Yunani" tulisan Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, hlm. 115 – 116). Dalam hal ini benar apa yang dikatakan oleh Titus Livius (59 seb.M – 17 M) sejarawan Romawi Kuno,"Intacta invidia media sunt" – yang berada di tengah tidak tersentuh oleh iri.
Shakespeare (1564 – 1616) mengisahkan kisah iri dalam drama tragedy yang berjudul, "Othello." Dalam cerita ini dituturkan bahwa Othello memperoleh nama harum karena kesuksesannya dalam perang. Ia mengawini Desdemona yang juga sangat mencintainya dengan tulus. Othello kemudian mengangkat Cassio menjadi panglima tentara Venesia. Sementara itu, Iago – seorang calon kuat lain – merasa iri atas pengangkatan itu. Iago memilik rencana jahat untuk mengacaukan relasi antara Othello dan Cassio. Dibuatlah cerita "khayalan" bahwa ada relasi intim antara Cassio dan Desdemonia. Othello menjadi sangat iri dan mencemburui hubungan antara Desdemona dan Cassio. Maka Othello membunuh sang istri di tempat tidurnya (Bdk. Artikel dengan judul "Cemburu" tulisan Markus Marlon). Sekali lagi, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
Terakhir adalah kisah tentang seorang yang iri dengan prestasi seseorang. Kita mungkin pernah mendengar orang yang bernama Mozart (1756 – 1791), seorang seniman besar yang senang pesta pora, mengucapkan guyonan tentang seks yang berlebihan, tertawa terbahak-bahak dan sulit untuk diajak bicara secara serius. Seolah-olah popularitasnya didapat tanpa penuh perjuangan. Di pihak lain, Antonio Salieri (1750 – 1825), seorang componist, conductor dan guru musik klasik itu berupaya mati-matian untuk mendapatkan kemasyuran. Namun usahanya itu tidak semudah membalikkan tangan. Puncak dalam film dengan judul, "Amadeus" itu adalah rasa iri dari Salieri yang menyalahkan Tuhan. Salieri sangat iri terhadap Mozart dan secara sembunyi-sembunyi ingin "menjatuhkan" kedudukan Mozart. Namun sang maestro tenang-tenang saja, sedangkan Salieri hatinya: riuh, gaduh, dendam, tidak tenang, dengki dan iri. Seolah-olah Salieri dalam hati berkata, "Tuhan mengapa aku harus Engkau beri rasa iri, sehingga hidupku sangat menderita!"
Selasa, 14 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini saya diundang menghadiri pesta pernikahan (Minggu, 07 September 2014). Banyak orang yang datang dalam pesta ini dan di tempat itu pula saya seperti menonton "panggung pertunjukan." Para ibu dalam pesta pernikahan itu laiknya contest pakaian dan memamerkan gaya rambut mutakhir model Syahrini. Samar-samar seorang ibu yang berpakaian a la fantastik itu berkata, "Ih, ngapain ibu sana itu menggunakan baju lagaknya bagaikan burung merak saja!" Saya lihat wajahnya yang cemberut itu menunjukkan rasa iri.
Secara harfiah, iri berarti "mata jahat" (Bhs Latin, invĭdeo, vīdi, vīsum = memandang dengan mata jahat). Melihat keberhasilan dan kebahagiaan orang lain sedemikian rupa – seandainya bisa – ia akan mengirimkan kutukan jahat terhadap keberhasilan orang tersebut. Kita lihat saja kisah Yusuf, "Invidebant ei igitur fratres sui; pater vero rem tacitus considerabat" – Maka iri hatilah saudara-saudaranya kepadanya tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya (Kej 37: 11). Para saudaranya iri melihat Yusuf yang dimanja oleh kedua orang tuanya dan pakaiannya yang selalu wah itu membuat mereka iri. Karena iri, tidak heranlah jika kesebelas saudaranya ingin membunuhnya. Memang, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
Banyak kisah iri yang tertulis dalam kisah-kisah mitologi, drama fiksi maupun sejarah. Dalam kisah yang berjudul "Buah Apel Sumber Perselisihan Faham" dilukiskan ada tiga diva yang amat cantik memerebutkan apel yang bertuliskan, "Untuk yang tercantik!" Mereka adalah Juno, Minerva dan Venus. Dipilihlah Paris sebagai "wasit" untuk memutuskan siapa yang tercantik. Pada akhirnya, Paris meletakkan apel itu pada tangan Venus. Tentu saja, keputusan ini menimbulkan kemarahan dan iri dari Minerva dan Juno. Sepenggal kisah tersebut di atas yang merupakan pemicu "Perang Troya." Paris – yang disebut juga pencuri hati Helena – dilihat sebagai orang yang "pilih kasih" (Bdk. Buku dengn judul "Mitologi Yunani" tulisan Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, hlm. 115 – 116). Dalam hal ini benar apa yang dikatakan oleh Titus Livius (59 seb.M – 17 M) sejarawan Romawi Kuno,"Intacta invidia media sunt" – yang berada di tengah tidak tersentuh oleh iri.
Shakespeare (1564 – 1616) mengisahkan kisah iri dalam drama tragedy yang berjudul, "Othello." Dalam cerita ini dituturkan bahwa Othello memperoleh nama harum karena kesuksesannya dalam perang. Ia mengawini Desdemona yang juga sangat mencintainya dengan tulus. Othello kemudian mengangkat Cassio menjadi panglima tentara Venesia. Sementara itu, Iago – seorang calon kuat lain – merasa iri atas pengangkatan itu. Iago memilik rencana jahat untuk mengacaukan relasi antara Othello dan Cassio. Dibuatlah cerita "khayalan" bahwa ada relasi intim antara Cassio dan Desdemonia. Othello menjadi sangat iri dan mencemburui hubungan antara Desdemona dan Cassio. Maka Othello membunuh sang istri di tempat tidurnya (Bdk. Artikel dengan judul "Cemburu" tulisan Markus Marlon). Sekali lagi, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
Terakhir adalah kisah tentang seorang yang iri dengan prestasi seseorang. Kita mungkin pernah mendengar orang yang bernama Mozart (1756 – 1791), seorang seniman besar yang senang pesta pora, mengucapkan guyonan tentang seks yang berlebihan, tertawa terbahak-bahak dan sulit untuk diajak bicara secara serius. Seolah-olah popularitasnya didapat tanpa penuh perjuangan. Di pihak lain, Antonio Salieri (1750 – 1825), seorang componist, conductor dan guru musik klasik itu berupaya mati-matian untuk mendapatkan kemasyuran. Namun usahanya itu tidak semudah membalikkan tangan. Puncak dalam film dengan judul, "Amadeus" itu adalah rasa iri dari Salieri yang menyalahkan Tuhan. Salieri sangat iri terhadap Mozart dan secara sembunyi-sembunyi ingin "menjatuhkan" kedudukan Mozart. Namun sang maestro tenang-tenang saja, sedangkan Salieri hatinya: riuh, gaduh, dendam, tidak tenang, dengki dan iri. Seolah-olah Salieri dalam hati berkata, "Tuhan mengapa aku harus Engkau beri rasa iri, sehingga hidupku sangat menderita!"
Selasa, 14 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Kamis, 09 Oktober 2014
Tua
TUA
(Kontemplasi Peradaban)
Membaca millis dari Pastor Sujoko yang berjudul, "Sapaan Konfrater yang Lansia dan Sakit" (Kamis, 09 Oktober 2014) saya menjadi sadar bahwa saya juga akan tua dan sakit. Tak salahlah jika Marcus Terentius (116 – 27) sastrawan Romawi Kuno berkata, "Senectus ipsa est morbus" – menjadi tua itu sendiri adalah sebuah penyakit. Kemudian ada juga orang yang mengatakan bahwa "menjadi tua itu keniscayaan (kata "niscaya" itu dari bahasa Sansekerta artinya: tanpa pilihan) tetapi menjadi dewasa itu suatu pilihan!" Dan – maaf – kadang-kadang kita menjumpai ada orang tua yang kekanak-kanakan. Dan benarlah Pepatah Latin yang berbunyi "Senes bis pueri" – orang yang sudah tua menjadi kanak-kanak untuk kedua kalinya.
Sedikit demi sedikit dan tanpa kita sadari umur membuat kita tua. Lantas dalam hati saya bertanya, "Dua decade lagi, umur saya sudah 69 tahun dan Bruder Matias yang tahun ini merayakan -Pesta Perak Hidup Membiara- dua dasa warsa lagi akan seperti apa dan Pastor Sujoko yang saat ini powerful kira-kira dua puluh tahun lagi apakah masih punya tenaga untuk mengajar dan menulis?" Walahualam! Barangkali kita perlu merenungkan tulisan sang Pemazmur, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10).
Marcus Tullius Cicero (106 – 43 seb.M) dalam bukunya yang berjudul, "De Senectute" mengatakan, "Senectus est natura loquacior" – dari kodratnya orang yang menjadi tua itu cerewet. Memang kebanyakan orang tua itu sudah banyak "makan garam" – banyak pengalaman. Maka jika kita bertamu ke rumah mantan pejabat atau "penguasa" kata-kata yang sering muncul adalah, "Dulu ketika saya sebagai…." Atau "Dulu ketika saya menjabat …." Rupanya Shakespeare (1564 – 1616) sudah "melihat" sikap dan sifat dari orang tua pada zamannya, maka ditulislah drama yang berjudul "King Lear". Dalam drama itu, Sang Raja menghendaki puji-pujian dari ketiga anaknya: Goneril, Regan dan Cordelia. Raja Lear adalah seorang tua yang tidak mau melepaskan kekuasaannya. Dan drama itu berakhir tragis. Ia mengalami post-power syndrome.
Apa yang disebut post-power syndrome ini terjadi karena seseorang memandang jabatan sedemikian tingginya, bahkan menjadi identitas diri. Orang lupa bahwa jabatan adalah sesaat dan kontraktual tak ubahnya baju. Pastor Sujoko menyitir tulisan dari Pastor Anton Moningka, "Dalam tarekat MSC, kita semua mendapat tugas. Tugas kita bisa bermacam-macam jenisnya: di paroki, di bengkel, di kebun, di sekolah-sekolah atau sebagai: provinsial, ekonom, dosen dan lain-lain. Tugas yang sedang diemban itu sifatnya tidak tetap. Kalau tugas-tugas tersebut dapat berubah-ubah (karena Surat Keputusan), lain dengan perutusan. Perutusan memiliki nilai yang tetap. Bahkan orang yang sudah tua dan barangkali sakit-sakitan masih memiliki "perutusan." Dan "kehadiran" itu sendiri dalam sebuah komunitas sudah merupakan perutusan."
Dua puluh tahun lagi, kita yang masih aktif dan semangat melayani mungkin sudah tidak memiliki SK lagi dan tinggal di biara. Kehidupan "Wisma Orang Tua" tentu berbeda dengan "Rumah Karya". Di sini orang tua perlu "disiapkan" (Bdk. Buku yang berjudul, "Seni Untuk Menjadi Tua" – maaf buku itu sudah hilang). Sharing dari buku itu ialah bahwa para orang tua tetap diajak untuk memberi makna setiap harinya. Sebaiknya dibentuk kelompok minat dan diajak untuk memelihara binatang yang hidup atau menanam tumbuh-tumbuhan. Quintus Horatius Flaccus (65 – 8 seb.M) penulis satir dari Romawi Kuno pernah menulis, "Non eadem est aetas, non mens" – umur itu tidak sama, tidak demikian dengan jiwa, maksudnya: meskipun umurnya berbeda tetapi semangatnya sama.
Demosthenes (384 – 322 seb.M) ahli pidato Yunani Kuno pernah berkata, "Aku menganggap orang yang menelantarkan orangtunya sebagai seorang yang tidak beriman dan dibenci oleh dewa-dewa." Lalu Philo dari Alexandria (20 seb.M – 50 M) ketika menulis hukum untuk menghormati orang tua berkata, "Ketika seekor burung tua sudah tidak dapat lagi terbang ia hanya tinggal di sarang dan diberi makan oleh anak-anaknya yang berusaha tak kenal lelah dalam memenuhi kebutuhannya karena mereka sangat berbakti" (William Barclay dalam bukunya yang berjudul "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon" hlm. 167). Dalam Al-Qur'an surat Lukman ditulis bahwa perintah bersyukur kepada orang tua diletakkan sebaris dengan perintah bersyukur kepada Allah. Ini menunjukkan betapa Allah meminta pada semua hamba-Nya agar pandai berterima kasih serta mencintai orang tua. Maka tidak mengherankan jika, orang tua menjadi "rebutan" untuk tinggal di rumah anak-anak dan secara bergiliran serta anak-anak ingin mendampinginya.
Kita berharap sebagai lansia nanti berbahagia (Bdk. Millis Pastor Sujoko yang berjudul, "Lansia Bahagia" 10 Oktober 2014). Tetapi sayang bahwa harapan kadang meleset. Saya pernah berkunjung pada sebuah biara yang ada orang tua maupun mereka yang masih muda-muda – tentunya masih aktif. Pada waktu itu saya dibuat kaget, ada orang tua yang duduk di kursi roda dibiarkan kepanasan di kebun. Lalu saya bertanya, "Apakah tidak ada yang menghibur orang tua itu. Kasihan!" Mereka menjawab, "Duh! Waktu masih muda dan aktif, beliau itu selalu "duduk" dalam dewan pimpinan, galaknya minta ampun bahkan tidak ada ampun. Beliau tidak merasa bahwa nanti suatu saat akan pensiun tua dan sakit!"
Saya diam seribu basa dan bermenung, "Semoga dua puluh tahun lagi – kalau masih hidup – saya tidak menjadi orang tua seperti itu!"
(Kontemplasi Peradaban)
Membaca millis dari Pastor Sujoko yang berjudul, "Sapaan Konfrater yang Lansia dan Sakit" (Kamis, 09 Oktober 2014) saya menjadi sadar bahwa saya juga akan tua dan sakit. Tak salahlah jika Marcus Terentius (116 – 27) sastrawan Romawi Kuno berkata, "Senectus ipsa est morbus" – menjadi tua itu sendiri adalah sebuah penyakit. Kemudian ada juga orang yang mengatakan bahwa "menjadi tua itu keniscayaan (kata "niscaya" itu dari bahasa Sansekerta artinya: tanpa pilihan) tetapi menjadi dewasa itu suatu pilihan!" Dan – maaf – kadang-kadang kita menjumpai ada orang tua yang kekanak-kanakan. Dan benarlah Pepatah Latin yang berbunyi "Senes bis pueri" – orang yang sudah tua menjadi kanak-kanak untuk kedua kalinya.
Sedikit demi sedikit dan tanpa kita sadari umur membuat kita tua. Lantas dalam hati saya bertanya, "Dua decade lagi, umur saya sudah 69 tahun dan Bruder Matias yang tahun ini merayakan -Pesta Perak Hidup Membiara- dua dasa warsa lagi akan seperti apa dan Pastor Sujoko yang saat ini powerful kira-kira dua puluh tahun lagi apakah masih punya tenaga untuk mengajar dan menulis?" Walahualam! Barangkali kita perlu merenungkan tulisan sang Pemazmur, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10).
Marcus Tullius Cicero (106 – 43 seb.M) dalam bukunya yang berjudul, "De Senectute" mengatakan, "Senectus est natura loquacior" – dari kodratnya orang yang menjadi tua itu cerewet. Memang kebanyakan orang tua itu sudah banyak "makan garam" – banyak pengalaman. Maka jika kita bertamu ke rumah mantan pejabat atau "penguasa" kata-kata yang sering muncul adalah, "Dulu ketika saya sebagai…." Atau "Dulu ketika saya menjabat …." Rupanya Shakespeare (1564 – 1616) sudah "melihat" sikap dan sifat dari orang tua pada zamannya, maka ditulislah drama yang berjudul "King Lear". Dalam drama itu, Sang Raja menghendaki puji-pujian dari ketiga anaknya: Goneril, Regan dan Cordelia. Raja Lear adalah seorang tua yang tidak mau melepaskan kekuasaannya. Dan drama itu berakhir tragis. Ia mengalami post-power syndrome.
Apa yang disebut post-power syndrome ini terjadi karena seseorang memandang jabatan sedemikian tingginya, bahkan menjadi identitas diri. Orang lupa bahwa jabatan adalah sesaat dan kontraktual tak ubahnya baju. Pastor Sujoko menyitir tulisan dari Pastor Anton Moningka, "Dalam tarekat MSC, kita semua mendapat tugas. Tugas kita bisa bermacam-macam jenisnya: di paroki, di bengkel, di kebun, di sekolah-sekolah atau sebagai: provinsial, ekonom, dosen dan lain-lain. Tugas yang sedang diemban itu sifatnya tidak tetap. Kalau tugas-tugas tersebut dapat berubah-ubah (karena Surat Keputusan), lain dengan perutusan. Perutusan memiliki nilai yang tetap. Bahkan orang yang sudah tua dan barangkali sakit-sakitan masih memiliki "perutusan." Dan "kehadiran" itu sendiri dalam sebuah komunitas sudah merupakan perutusan."
Dua puluh tahun lagi, kita yang masih aktif dan semangat melayani mungkin sudah tidak memiliki SK lagi dan tinggal di biara. Kehidupan "Wisma Orang Tua" tentu berbeda dengan "Rumah Karya". Di sini orang tua perlu "disiapkan" (Bdk. Buku yang berjudul, "Seni Untuk Menjadi Tua" – maaf buku itu sudah hilang). Sharing dari buku itu ialah bahwa para orang tua tetap diajak untuk memberi makna setiap harinya. Sebaiknya dibentuk kelompok minat dan diajak untuk memelihara binatang yang hidup atau menanam tumbuh-tumbuhan. Quintus Horatius Flaccus (65 – 8 seb.M) penulis satir dari Romawi Kuno pernah menulis, "Non eadem est aetas, non mens" – umur itu tidak sama, tidak demikian dengan jiwa, maksudnya: meskipun umurnya berbeda tetapi semangatnya sama.
Demosthenes (384 – 322 seb.M) ahli pidato Yunani Kuno pernah berkata, "Aku menganggap orang yang menelantarkan orangtunya sebagai seorang yang tidak beriman dan dibenci oleh dewa-dewa." Lalu Philo dari Alexandria (20 seb.M – 50 M) ketika menulis hukum untuk menghormati orang tua berkata, "Ketika seekor burung tua sudah tidak dapat lagi terbang ia hanya tinggal di sarang dan diberi makan oleh anak-anaknya yang berusaha tak kenal lelah dalam memenuhi kebutuhannya karena mereka sangat berbakti" (William Barclay dalam bukunya yang berjudul "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon" hlm. 167). Dalam Al-Qur'an surat Lukman ditulis bahwa perintah bersyukur kepada orang tua diletakkan sebaris dengan perintah bersyukur kepada Allah. Ini menunjukkan betapa Allah meminta pada semua hamba-Nya agar pandai berterima kasih serta mencintai orang tua. Maka tidak mengherankan jika, orang tua menjadi "rebutan" untuk tinggal di rumah anak-anak dan secara bergiliran serta anak-anak ingin mendampinginya.
Kita berharap sebagai lansia nanti berbahagia (Bdk. Millis Pastor Sujoko yang berjudul, "Lansia Bahagia" 10 Oktober 2014). Tetapi sayang bahwa harapan kadang meleset. Saya pernah berkunjung pada sebuah biara yang ada orang tua maupun mereka yang masih muda-muda – tentunya masih aktif. Pada waktu itu saya dibuat kaget, ada orang tua yang duduk di kursi roda dibiarkan kepanasan di kebun. Lalu saya bertanya, "Apakah tidak ada yang menghibur orang tua itu. Kasihan!" Mereka menjawab, "Duh! Waktu masih muda dan aktif, beliau itu selalu "duduk" dalam dewan pimpinan, galaknya minta ampun bahkan tidak ada ampun. Beliau tidak merasa bahwa nanti suatu saat akan pensiun tua dan sakit!"
Saya diam seribu basa dan bermenung, "Semoga dua puluh tahun lagi – kalau masih hidup – saya tidak menjadi orang tua seperti itu!"
Jumat, 10 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Rabu, 08 Oktober 2014
Kubu
KUBU
(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini, saya singgah di rumah sahabat lama. Ketika dijamu di ruang tamu, tiba-tiba anaknya yang berusia 10 tahun berkata, "Saya ikut mama ke mall. Kakak tidak boleh ikut karena kakak ada di kubu papa!" Lalu saya bertanya akan kata-kata yang baru saja terucap dari anaknya itu, kenapa ada kubu-kubuan. Dia hanya tersenyum saja. Saya sendiri tidak memahami makna senyuman sahabat lamaku itu. Walahualam!
Kata "kubu" akhir-akhir ini sedang marak. Hampir setiap media cetak maupun elektronik mem-broadcast tentang kubu ini dan kubu itu. Konsekuensi logis dari munculnya kubu ini adalah adanya persaingan, bahkan bisa mengarah kepada polemik, perang urat saraf dan fitnah. Dalam dunia politik, "perang" antar kubu ini disebabkan ada perebutan kekuasaan atau perebutan kursi kepemimpinan.
Kata "Kubu" itu berasal dari bahasa Jawa, "kuwu" yang berarti kemah atau rumah sementara di medan perang. Nah! dari katanya saja, kita tahu bahwa kubu itu merupakan rumah sementara di medan perang. Maka, tidak mengherankan jika "perang" antarkubu yang sementara gayêng (ramai, lucu serta memprihatinkan) ini pada akhirnya – diharapkan dan semoga – menyejahterakan rakyat (bonum commune communitatis) dan bukan sebaliknya, menyengsarakan rakyat.
Sebenarnya kalau kita nonton film-film perang seperti: perang Mahabaratha, Perang Ramayana, perang Samkok, perang Troya, perang di bawah panji Julius Caesar (100 – 44 seb.M), perang yang dipimpin Napoleon Bonaparte (1769 – 1821), pasti di sana ada kemah atau tenda. Dalam kubu, tenda dan kemah ini para "pemikir" atau ahli strategi perang berupaya menghancurkan kubu seberang (Bdk. Strategi perang Sun-Tzu) – kalau mungkin dengan – menghalalkan segala cara a la Machiavelli (Nama Machiavelli: 1469 – 1527, kemudian diasosiakan dengan hal yang buruk, "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan." Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis).
Mengontemplasikan arti "kubu" di atas, seolah-olah agak sulit mereka saling bertemu, apalagi dalam bahasa politik, kubu ini menamakan dirinya sebagai partai oposisi (Latin: "opposition" – op: lawan dan positio: letak. positus dari ponere yang berarti menempatkan. Kalau seseorang sudah secara sengaja menempatkan diri sebagai lawan, tentu saja tidak mudah untuk "berdamai." Kita ingat akan Proverbia Latina – yang sering saya kutip – berbunyi, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Rakyat kecil, wong cilik seringkali dibuat geram oleh para pelaku politisi (badut-badut) yang hari-hari sebelumnya "berkelahi" tapi hari berikut mereka minum bersama dan melakukan toast. Mereka sudah berhasil melakukan lobby dan mufakat. Barangkali – sekali lagi – kepentingan mereka sudah tercapai, sehingga kedua kubu itu bisa saling bertemu.
Yang paling tragis dalam perang antarkubu adalah terpisahnya anggota keluarga karena beda idiologis yang bisa mengacu pada perang saudara. Dalam perang Troya, sebuah episode yang mengharukan dapat dilihat ketika Priamus ayah Paris harus mundhuk-mundhuk (minta dengan sangat sambil tunduk kepada pihak musuh) kepada Achilles untuk mengambil jenazah Hektor, "Priamus berlutut dan mencium tangan Achilles" (bdk. Mitologi Yunani tulisan Edith Hamilton, hlm.178) Atau dalam kisah Mahabaratha, kita tahu bahwa Kunthi memiliki anak yang tinggal di kubu Kurawa. Seorang ibu begitu sedih ketika hendak menyaksikan "perang saudara" antara Karna dan Arjuna yang adalah anak-anaknya sendiri. Kunthi sembunyi-sembunyi memasuki kubu lawan. Tetapi lobby yang dibuat Kunthi dengan Karna gagal total.
Akhir-akhir ini, setiap orang bebas meng-akses berita tentang "perebutan kursi kepemimpinan." Masing-masing kubu mengelus-elus jagonya. Merenungkan musyarawah dalam parlement, saya menjadi ingat akan kisah William Wilberforce (1759 – 1833), seorang politikus Inggris dan pemimpin pembebasan perbudakan. Dalam biografinya yang sudah difilmkan itu, ia begitu tegas dan membela mati-matian kamu kecil yaitu para budak. Waktu itu, kubu yang berseberangan merupakan kubu yang mayoritas dan suaranya garang-garang. Namun bisa dikalahkan ketika masing-masing anggota parlement disadarkan bahwa semua demi kepentingan rakyat kecil. Kekuatan kubu yang menggebu-gebu itu akhirnya kalah menjadi abu.
(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini, saya singgah di rumah sahabat lama. Ketika dijamu di ruang tamu, tiba-tiba anaknya yang berusia 10 tahun berkata, "Saya ikut mama ke mall. Kakak tidak boleh ikut karena kakak ada di kubu papa!" Lalu saya bertanya akan kata-kata yang baru saja terucap dari anaknya itu, kenapa ada kubu-kubuan. Dia hanya tersenyum saja. Saya sendiri tidak memahami makna senyuman sahabat lamaku itu. Walahualam!
Kata "kubu" akhir-akhir ini sedang marak. Hampir setiap media cetak maupun elektronik mem-broadcast tentang kubu ini dan kubu itu. Konsekuensi logis dari munculnya kubu ini adalah adanya persaingan, bahkan bisa mengarah kepada polemik, perang urat saraf dan fitnah. Dalam dunia politik, "perang" antar kubu ini disebabkan ada perebutan kekuasaan atau perebutan kursi kepemimpinan.
Kata "Kubu" itu berasal dari bahasa Jawa, "kuwu" yang berarti kemah atau rumah sementara di medan perang. Nah! dari katanya saja, kita tahu bahwa kubu itu merupakan rumah sementara di medan perang. Maka, tidak mengherankan jika "perang" antarkubu yang sementara gayêng (ramai, lucu serta memprihatinkan) ini pada akhirnya – diharapkan dan semoga – menyejahterakan rakyat (bonum commune communitatis) dan bukan sebaliknya, menyengsarakan rakyat.
Sebenarnya kalau kita nonton film-film perang seperti: perang Mahabaratha, Perang Ramayana, perang Samkok, perang Troya, perang di bawah panji Julius Caesar (100 – 44 seb.M), perang yang dipimpin Napoleon Bonaparte (1769 – 1821), pasti di sana ada kemah atau tenda. Dalam kubu, tenda dan kemah ini para "pemikir" atau ahli strategi perang berupaya menghancurkan kubu seberang (Bdk. Strategi perang Sun-Tzu) – kalau mungkin dengan – menghalalkan segala cara a la Machiavelli (Nama Machiavelli: 1469 – 1527, kemudian diasosiakan dengan hal yang buruk, "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan." Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis).
Mengontemplasikan arti "kubu" di atas, seolah-olah agak sulit mereka saling bertemu, apalagi dalam bahasa politik, kubu ini menamakan dirinya sebagai partai oposisi (Latin: "opposition" – op: lawan dan positio: letak. positus dari ponere yang berarti menempatkan. Kalau seseorang sudah secara sengaja menempatkan diri sebagai lawan, tentu saja tidak mudah untuk "berdamai." Kita ingat akan Proverbia Latina – yang sering saya kutip – berbunyi, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Rakyat kecil, wong cilik seringkali dibuat geram oleh para pelaku politisi (badut-badut) yang hari-hari sebelumnya "berkelahi" tapi hari berikut mereka minum bersama dan melakukan toast. Mereka sudah berhasil melakukan lobby dan mufakat. Barangkali – sekali lagi – kepentingan mereka sudah tercapai, sehingga kedua kubu itu bisa saling bertemu.
Yang paling tragis dalam perang antarkubu adalah terpisahnya anggota keluarga karena beda idiologis yang bisa mengacu pada perang saudara. Dalam perang Troya, sebuah episode yang mengharukan dapat dilihat ketika Priamus ayah Paris harus mundhuk-mundhuk (minta dengan sangat sambil tunduk kepada pihak musuh) kepada Achilles untuk mengambil jenazah Hektor, "Priamus berlutut dan mencium tangan Achilles" (bdk. Mitologi Yunani tulisan Edith Hamilton, hlm.178) Atau dalam kisah Mahabaratha, kita tahu bahwa Kunthi memiliki anak yang tinggal di kubu Kurawa. Seorang ibu begitu sedih ketika hendak menyaksikan "perang saudara" antara Karna dan Arjuna yang adalah anak-anaknya sendiri. Kunthi sembunyi-sembunyi memasuki kubu lawan. Tetapi lobby yang dibuat Kunthi dengan Karna gagal total.
Akhir-akhir ini, setiap orang bebas meng-akses berita tentang "perebutan kursi kepemimpinan." Masing-masing kubu mengelus-elus jagonya. Merenungkan musyarawah dalam parlement, saya menjadi ingat akan kisah William Wilberforce (1759 – 1833), seorang politikus Inggris dan pemimpin pembebasan perbudakan. Dalam biografinya yang sudah difilmkan itu, ia begitu tegas dan membela mati-matian kamu kecil yaitu para budak. Waktu itu, kubu yang berseberangan merupakan kubu yang mayoritas dan suaranya garang-garang. Namun bisa dikalahkan ketika masing-masing anggota parlement disadarkan bahwa semua demi kepentingan rakyat kecil. Kekuatan kubu yang menggebu-gebu itu akhirnya kalah menjadi abu.
Selasa, 07 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Menerima Perbedaan
Menerima Perbedaan untuk Memperkaya Hidup
Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda diperlakukan secara tidak adil? Saya yakin, Anda akan marah. Anda akan merasa sakit di hati
Dani Alves, back sayap Barcelona FC, beberapa waktu lalu memperoleh perlakuan rasis dari fans Klub Villarreal. Seorang penonton melempar pisang kepadanya saat ia hendak mengambil tendangan pojok. Ia segera mengambil pisang itu dan memakannya di hadapan para penonton sebelum melakukan tendangan bebas.
Jawaban atas lemparan pisang itu, Dani Alves mengaku terkejut mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Rasanya, Alves ingin membalas perlakuan fans itu di internet. Di Eropa, melempar pisang kepada seseorang merupakan simbol rasialisme, karena menyatakan orang tersebut sama dengan monyet.
Pemain dari seluruh dunia memposting sebuah gambar sambil memegang pisang, sebagai bentuk dukungan terhadap Alves. Presiden FIFA, Sepp Blatter, juga menyesalkan tindakan fans Villarreal itu. Sebagai hukumannya, fans itu dihukum seumur hidup tidak boleh memperlihatkan batang hidungnya di El Madrigal, Stadion Vilareal.
Dalam sebuah wawancara, Alves mengaku dukungan itu sungguh mengejutkannya. "Saya terkejut karena semua orang memberikan dukungan. Itu merupakan sesuatu yang saya lakukan tanpa memikirkan dampaknya. Dunia telah berkembang dan kita harus berevolusi dengan itu. Jika bisa, saya ingin memposting foto suporter itu di internet untuk balas mempermalukannya," kata pemain asal Brasil itu.
Sahabat, dunia sudah maju begitu pesat. Sayang, masih ada saja orang-orang yang punya pikiran yang picik. Orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Masih ada orang yang hanya berjuang untuk rasnya sendiri. Padahal peradaban manusia telah berevolusi dalam kemajuan yang pesat.
Kisah di atas menjadi suatu kisah yang sangat menyedihkan bagi kehidupan manusia. Rasa hormat terhadap sesama begitu rendah. Padahal semua orang memiliki martabat yang sama. Tuhan menciptakan manusia itu setara. Tuhan pun mencintai semua ciptaan itu tanpa membeda-bedakan. Karena itu, ketika seseorang mendiskreditkan sesamanya, ia menolak ciptaan Tuhan sendiri. Artinya, orang itu menolak kebaikan Tuhan bagi hidupnya.
Tuhan menciptakan manusia dengan warna kulit dan ras yang berbeda-beda dengan maksud yang baik. Tuhan ingin, agar manusia saling berbagi kehidupan. Hal ini juga mau menegaskan bahwa kehidupan ini memiliki warna-warni. Hidup yang berwarna-warni itu hidup yang menyenangkan dan baik.
Karena itu, orang beriman mesti terus-menerus memperjuangkan kehidupan bersama sebagai upaya untuk menemukan damai. Orang beriman mesti berani berbagi kehidupan meski memiliki ras yang berbeda. Perbedaan itu memperkaya kehidupan manusia. Mengapa? Karena melalui perbedaan itu orang saling belajar tentang hal-hal yang baik dan menyenangkan.
Mari kita terus-menerus menghargai kehidupan ini dengan menerima perbedaan yang ada. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk saling memperkaya. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT
Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda diperlakukan secara tidak adil? Saya yakin, Anda akan marah. Anda akan merasa sakit di hati
Dani Alves, back sayap Barcelona FC, beberapa waktu lalu memperoleh perlakuan rasis dari fans Klub Villarreal. Seorang penonton melempar pisang kepadanya saat ia hendak mengambil tendangan pojok. Ia segera mengambil pisang itu dan memakannya di hadapan para penonton sebelum melakukan tendangan bebas.
Jawaban atas lemparan pisang itu, Dani Alves mengaku terkejut mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Rasanya, Alves ingin membalas perlakuan fans itu di internet. Di Eropa, melempar pisang kepada seseorang merupakan simbol rasialisme, karena menyatakan orang tersebut sama dengan monyet.
Pemain dari seluruh dunia memposting sebuah gambar sambil memegang pisang, sebagai bentuk dukungan terhadap Alves. Presiden FIFA, Sepp Blatter, juga menyesalkan tindakan fans Villarreal itu. Sebagai hukumannya, fans itu dihukum seumur hidup tidak boleh memperlihatkan batang hidungnya di El Madrigal, Stadion Vilareal.
Dalam sebuah wawancara, Alves mengaku dukungan itu sungguh mengejutkannya. "Saya terkejut karena semua orang memberikan dukungan. Itu merupakan sesuatu yang saya lakukan tanpa memikirkan dampaknya. Dunia telah berkembang dan kita harus berevolusi dengan itu. Jika bisa, saya ingin memposting foto suporter itu di internet untuk balas mempermalukannya," kata pemain asal Brasil itu.
Sahabat, dunia sudah maju begitu pesat. Sayang, masih ada saja orang-orang yang punya pikiran yang picik. Orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Masih ada orang yang hanya berjuang untuk rasnya sendiri. Padahal peradaban manusia telah berevolusi dalam kemajuan yang pesat.
Kisah di atas menjadi suatu kisah yang sangat menyedihkan bagi kehidupan manusia. Rasa hormat terhadap sesama begitu rendah. Padahal semua orang memiliki martabat yang sama. Tuhan menciptakan manusia itu setara. Tuhan pun mencintai semua ciptaan itu tanpa membeda-bedakan. Karena itu, ketika seseorang mendiskreditkan sesamanya, ia menolak ciptaan Tuhan sendiri. Artinya, orang itu menolak kebaikan Tuhan bagi hidupnya.
Tuhan menciptakan manusia dengan warna kulit dan ras yang berbeda-beda dengan maksud yang baik. Tuhan ingin, agar manusia saling berbagi kehidupan. Hal ini juga mau menegaskan bahwa kehidupan ini memiliki warna-warni. Hidup yang berwarna-warni itu hidup yang menyenangkan dan baik.
Karena itu, orang beriman mesti terus-menerus memperjuangkan kehidupan bersama sebagai upaya untuk menemukan damai. Orang beriman mesti berani berbagi kehidupan meski memiliki ras yang berbeda. Perbedaan itu memperkaya kehidupan manusia. Mengapa? Karena melalui perbedaan itu orang saling belajar tentang hal-hal yang baik dan menyenangkan.
Mari kita terus-menerus menghargai kehidupan ini dengan menerima perbedaan yang ada. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk saling memperkaya. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)