Jumat, 26 September 2014

Sombong

SOMBONG
(Kontemplasi  Peradaban)
                   Pagi ini,  saya tertegun dengan bacaan pertama pada 25 September 2014 (Kamis, Hari Biasa Pekan Biasa XXV). Pengkhotbah menulis, "Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. …" (Pkh 1: 4 – 5). Membaca kitab Pengkhotbah,  seolah-olah kita dibawa oleh "sang pemikir" untuk merenungkan secara mendalam betapa singkatnya hidup manusia yang penuh dengan pertentangan, ketidakadilan dan hal-hal yang sulit dimengerti. Hidup ini seolah-olah  "kesia-siaan belaka." Pemazmur menulis, "Manusia seperti angin, hari-harinya laksana bayang-bayang berlalu" (Mzm 144: 4).  Penyair Romawi Kuno berucap, "Tempus fugit" – waku berlari dengan cepatnya.  Lantas dalam hati saya berkata, "Lantas kalau begitu, untuk apa manusia menyombongkan diri?"  
Kemenangan dalam perang, kehebatan pengetahuan dan jabatan yang kita miliki bukan menjadi alasan untuk menyombongkan diri. Peradaban Romawi Kuno memiliki kisah yang menarik. Ketika Jendral Romawi mendapatkan kemenangan, dibuatlah yel-yel negatif supaya  sang jendral itu tidak menjadi  sombong. Pertama, selagi ia menaiki kereta dengan mahkota di atas kepalanya, para penduduk tidak hanya berteriak memberikan sambutan, namun mereka juga terus-menerus berteriak, "Lihat di belakangmu dan ingatlah bahwa engkau akan mati" (memento mori!). Kedua, pada akhir bagian dari prosesinya, datanglah para tentaranya yang melakukan dua hal selagi sang jendral dan para tentaranya tetap berbaris. Mereka menyanyikan lagu-lagu pujian bagi sang Jendral, tetapi mereka juga meneriakkan lelucon-lelucon kotor dan cacian untuk mencegah sang jendral menjadi terlalu sombong. 
 
Kesombongan kadang muncul tidak disadari. Aesop (620 – 564 seb. M), pendongeng binatang Yunani kuno telah menulisnya dengan judul,  "Kura-Kura Yang Sombong."  Dikisahkan bahwa kura-kura dijanjikan oleh dua burung untuk "terbang" melihat  dunia dari awan  dengan menggigit kayu yang hendak ditahan oleh kedua burung tersebut. Namun kura-kura dilarang untuk membuka mulut, sebab kalau membuka mulut pasti akan binasa.
 
Kura-kura sangat senang dan saat burung gagak terbang melintasinya, dia sangat kagum dengan apa yang dilihatnya dan berkata, "Kamu pastilah raja dari kura-kura di dunia ini?" Dengan segera, kura-kura itu pun menjawab, "Pastilah, akulah raja!" Dengan membuka mulutnya, kura-kura lepas dari gigitan kayu itu. Pepatah Latin menulis, "Sequitur superbos ultor a tergo deus" – dewa pembalas akan mengejar mereka yang sombong dari belakang (Orang sombong pasti akan jatuh).
Ada juga orang yang sombong karena kecantikan atau ketampanannya. Dalam mitologi Yunani kita kenal Narsisius. Lelaki tampan itu akhirnya binasa karena mengagumi dirinya sendiri. Bagi mereka yang sombong karena keindahan tubuhnya,  mereka lupa akan kata-kata Sopocles ( meninggal 406 seb. M), penyair Yunani kuno, "Kecantikan masa muda akan memudar dan kemuliaan manusia pun akan sirna." Kalau kita gunakan bahasa kekristenan, "Tubuh sekarang dapat rusak, tubuh yang akan datang tidak dapat rusak. Dalam dunia segala sesuatu dapat berubah dan menjadi busuk."  Di sana pula kita ingat akan kata-kata Ovidius (43 seb. M – 17 M), "Festus inest pulchris sequiturque superbia forman" – bila keangkuhan memasuki mereka yang cantik, maka yang akan tampak kemudian adalah sosok yang sombong.
Untuk mencegah menjadi sombong, kuncinya ialah kerendahan hati. Kita tahu bahwa kerendahan hati adalah watak dari orang-orang besar. Ketika Thomas Hardy (1840 – 1928) novelis Inggris yang  masyur itu menulis artikel  ke  surat kabar, pihak redaksi  akan dengan gembira membayar sejumlah uang bagi karya-karyanya. Namun   ia senantiasa menyertakan perangko dan amplop yang sudah diberi alamat untuk menjaga kemungkinan apabila manuscript-nya itu dikembalikan. Johnstone Jeffry menceriterakan mengenai seorang besar yang sama sekali menolak  menuliskan riwayat hidupnya sebelum ia meninggal dunia, "Saya telah melihat" demikian ia mengatakan, "begitu banyak orang yang jatuh pada saat-saat terakhir." Dan supaya hidup tidak sombong, John Bunyam  (1628 – 1688) penulis buku  Pilgrim's Progress  yang kesohor  itu,  dalam mimpinya bahkan melihat dari gerbang-gerbang sorgawipun ada jalan yang menuju neraka (William Barclay dalam bukunya yang berjudul, "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat-Surat Yohanes dan Yudas,"  hlm. 299 – 300).
 
Orang-orang kudus dan penulis rohani beberapa abad silam,  telah memberikan warisan ilahi kepada kita agar  hidup rendah hati. Philipus Neri (1515 – 1595)  yang dikenal sebagai "Rasul dari Roma" misalnya memberikan wejangan kepada para muridnya supaya menjadi orang yang tidak dikenal. Thomas à Kempis (1380 – 1471)  dalam bukunya yang berjudul, "Imitatio Christi" menulis, "Allah melindungi dan membebaskan orang yang rendah hati, mengasihi dan menghibur yang rendah hati dan melimpahi berkat bagi yang rendah hati…."

Kamis, 25 September 2014    Markus Marlon
         
 


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: