KERJA
(Kontemplasi Peradaban)
Suatu kali, saya mengunjungi sahabat lama yang "Sudah menjadi orang." Saya kaget bukan kepalang, ternyata sahabat saya ini di rumah sendiri sudah dianggap raja, karena status yang disandangnya. Dia sudah emoh lagi mencuci piring atau menyapu ataupun mencuci pakaiannya sendiri. Padahal waktu masih kecil, semua dikerjakannya sendiri. Dia bilang, "Ini mah pekerjaan pembantu!" Lewat percakapan singkat itu, saya diajak untuk merenungkan makna sebuah kerja.
Tidak diragukan lagi bahwa umur pekerjaan itu seusia dengan peradaban manusia itu sendiri. Jika kita menilik lebih jauh lagi – khususnya dalam Kitab Suci – di sana kita bisa merenungkannya. Pada waktu Adam dan Hawa hidup di Taman Eden, mereka bahagia dan tampaknya mereka memunyai waktu penuh untuk perkara-perkara rohani. Mereka "memelihara dan mengusahakan taman itu." Dengan demikian, sejak awal mula, kerja merupakan usaha yang mendatangkan kekayaan rohani. Kemudian "pasutri" (pasangan suami-istri) itu melakukan kesalahan. Mereka dibuang dari Eden dan sejak saat ini kerja menjadi sesuatu yang harus mencucurkan keringat (Kej 3: 17).
Memahami makna kerja tersebut, seolah-olah kita bekerja hanya karena untuk hidup. Inilah yang membuat manusia – kadang-kadang – menjadi obyek. Maka tidak heranlah jika kita sering mendengar ungkapan, "diperbudak oleh pekerjaannya sendiri."
Pekerjaan Tidak Menurunkan Martabat
Orang beranggapan bahwa pekerjaan kasar itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpendidikan rendah. Mereka menggunakan okol untuk bekerja kasar dan mereka yang berstatus tinggi menggunakan akal. Seolah-olah mereka yang "berstatus tinggi" itu adalah malaikat yang kerjanya hanya berdoa.
Ada sebuah lukisan dengan judul, "The Angel." Dilukiskan bahwa ada seorang malaikat sedang menimba air. Wajahnya cerah pertanda sukacita saat melakukan tugas. Keringat masih membekas di wajahnya dan ini menjadi bukti bahwa ia serius menjalankan tugasnya. Mungkin kita bertanya, "Bukankah malaikat bertugas melayani, bukan mengerjakan hal-hal yang tempaknya duniawi seperti menimba air."
Acapkali kita membeda-bedakan hal-hal yang akal dan okol. Dan tugas yang menggunakan akal itu bagaikan tugas rohani, seperti para direktur, para pastor atau para biarawan-wati. Sedangkan yang menggunakan kekuatan okol itu adalah para tukang kebun, tukang sapu serta para pekerja kasar lainnya.
Inilah yang menyebabkan seolah-olah seorang majikan tidak pantas bekerja mencuci piringnya sendiri. Mereka akan dengan enteng mengatakan, "Ini khan tugas pembantu." Mereka lupa lukisan "The Angel" yang wajahnya berkeringat karena bekerja. Itulah sebabnya Paulus tidak segan-segan bekerja dengan tangannya sendiri, "Kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya kami sabar" (I Kor 4: 12).
Bekerja Menjadi Suatu Panggilan
Tidak dapat kita pungkiri bahwa ada orang yang bekerja karena ingin mendapatkan nafkah. Ada pula yang bekerja untuk mendapatkan jenjang tertentu dalam karier. Namun ada juga orang yang bekerja karena panggilan (calling atau vocation).
Orang yang bekerja karena panggilan dalam jiwanya ada passion atau gairah. Bekerja bukanlah suatu beban yang berat, melainkan ia "bermain-main" dengan pekerjaan itu. Ada anthusiasm yang tinggi dalam menekuni pekerjaan itu.
Ketika Michaelangelo (1475 – 1564) hendak memahat patung Pieta, ia membawa bongkahan marmer dari perbukitan. Sementara menarik-narik bongkahan marmer yang begitu besar itu, seorang temannya menegur, "Michaelangelo, untuk apa kamu membawa marmer yang berat itu?" Sang maestro itu dengan tegas mengatakan, "Sebab di dalam marmer ini ada malaikatnya. Maka saya bekerja dengan penuh semangat." Di sini Michaelangelo meyakin bahwa pekerjaan yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh menghasilkan kebahagiaan dan kemuliaan, "Gloria sine labore nulla" – tanpa ada kerja, tidak ada kemuliaan.
Kita pun sudah layak dan sepantasnya meyakini bahwa setiap pekerjaan yang kita kerjakan itu ada malaikatnya. Setiap pekerjaan memiliki nilai rohani. Bahkan dalam bekerja kita ini sebagai kawan sekerja Allah (co-creation). Paulus dan Barnabas tidak pernah berpikir bahwa karena kekuatan merekalah semua tercapai. Mereka mengatakan Allah-lah yang "bekerja." Mereka menganggap diri mereka hanya sebagai kawan sekerja Allah (Kis 14: 21 – 28).
Bekerja Sebagai Aktualisasi Diri
Pernah suatu kali saya berjumpa dengan orang yang sudah mapan hidupnya. Boleh dikatakan orang tersebut "bebas secara finansial." Kalau dalam bahasa Motivasi, dikatakan bahwa uang mengejar dirinya atau uang bekerja untuknya karena ia memiliki "pabrik uang."
Namun yang membuat saya heran yaitu bapak tersebut tetap bekerja dan mengaku bahwa gaji bukanlah yang utama, melainkan sebagai self-actualization. Teori ini ditulis oleh Abraham Maslow (1908 – 1970) yang mengatakan bahwa setiap manusia ingin dirinya berarti dan berharga dengan "bekerja." Maka benarlah kata-kata dari Mahatma Gandhi (1869 – 1948), "Kebahagiaan seseorang tergantung pada apa yang dapat diberikan, bukan apa yang dia peroleh." Marcus Valerius Martialis (38 – 104 ) Penulis puisi Romawi berkata, "juvat ipse labor" – kerja itu sendiri adalah sesuatu yang menyenangkan.
Ora et Labora
Amat sering kita membaca pepatah Latin yang berbunyi, "Ora et Labora" – Bekerjalah dan berdoalah. Pepatah itu sudah amat biasa kita baca di mana-mana, bahkan anak kecil pun sudah tahu sepenggal kata tersebut.
Namun jika kita menelusuri lebih dalam, kata labora tidak perlu dipahami sebagai kerja yang "ngoyo" (Bhs. Jawa. bekerja mati-matian sampai membanting tulang). Ungkapan "ora et labora" ini diciptakan oleh tokoh spiritualis besar abad IV yaitu St. Benediktus dari Nursia (± 480 – ± 547). Bagi Benediktus, kata labora digunakan untuk mengungkapkan "kerja tangan" atau "opus manuale" yang sebenarnya untuk mengimbangi "opus Dei" (Kerja atau karya Allah) yang berarti: berdoa, meditasi dan membaca. Jadi antara bekerja dan berdoa tidak ada pemisahan.
Penutup
Quintus Horatius (65 – 8 seb. M) – penyair Romawi pernah berkata, "Nihil sine labore" – tidak ada sesuatu yang tanpa kerja. Bahkan Yesus sendiri bersabda, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh 5: 17). Yesus hidup di keluarga Nasaret bersama Yosef, seorang tukang kayu dan bersama dengan Maria. Yesus mencela perilaku hamba yang tidak berguna yang menyembuyikan talentanya di dalam tanah (Bdk. Mat 25: 14 – 30).
Marilah kita memulai suatu pekerjaan dan meyakini bahwa pekerjaan itu akan menghasilkan sesuatu yang indah, seperti dikatakan Publius Vergilius Maro (70 – 20 seb.M), "Aspirat primo fortuna labori" – nasib baik memberi angin pada permulaan pekerjaan.
Senin, 29 September 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Senin, 29 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar