Senin, 29 September 2014

Kerja

KERJA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Suatu kali, saya mengunjungi sahabat lama  yang  "Sudah menjadi orang." Saya kaget bukan kepalang, ternyata sahabat saya ini di rumah sendiri sudah dianggap raja, karena status yang disandangnya. Dia sudah  emoh lagi mencuci piring atau menyapu ataupun mencuci pakaiannya sendiri. Padahal waktu masih kecil, semua dikerjakannya sendiri. Dia bilang, "Ini  mah pekerjaan  pembantu!"  Lewat percakapan singkat itu, saya diajak untuk merenungkan makna sebuah  kerja.
          Tidak diragukan lagi bahwa umur pekerjaan itu seusia dengan peradaban manusia itu sendiri. Jika kita menilik lebih jauh lagi – khususnya dalam Kitab Suci – di sana kita bisa merenungkannya. Pada waktu Adam dan Hawa hidup di Taman Eden, mereka bahagia dan tampaknya mereka memunyai waktu penuh untuk perkara-perkara rohani. Mereka "memelihara dan mengusahakan taman itu." Dengan demikian, sejak awal mula, kerja merupakan usaha yang mendatangkan kekayaan rohani. Kemudian "pasutri" (pasangan suami-istri) itu melakukan kesalahan. Mereka dibuang dari Eden dan sejak saat ini kerja menjadi sesuatu yang harus mencucurkan keringat (Kej 3: 17).
          Memahami makna kerja tersebut, seolah-olah kita bekerja hanya karena untuk hidup. Inilah yang membuat manusia – kadang-kadang – menjadi obyek. Maka tidak heranlah jika kita sering mendengar ungkapan, "diperbudak oleh pekerjaannya sendiri."
Pekerjaan Tidak Menurunkan Martabat
          Orang beranggapan bahwa pekerjaan kasar itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpendidikan rendah.  Mereka menggunakan  okol untuk bekerja kasar  dan mereka yang berstatus tinggi menggunakan  akal.  Seolah-olah mereka yang  "berstatus tinggi" itu adalah malaikat yang kerjanya hanya berdoa.
Ada sebuah lukisan dengan judul, "The Angel."  Dilukiskan bahwa ada  seorang malaikat sedang menimba air. Wajahnya cerah pertanda sukacita saat melakukan tugas. Keringat masih membekas di wajahnya dan ini menjadi bukti bahwa ia serius menjalankan tugasnya. Mungkin kita bertanya, "Bukankah malaikat bertugas melayani, bukan mengerjakan hal-hal yang tempaknya duniawi seperti menimba air."
Acapkali kita membeda-bedakan hal-hal yang  akal dan  okol. Dan tugas yang menggunakan  akal  itu bagaikan tugas rohani, seperti para direktur, para pastor atau para biarawan-wati. Sedangkan yang menggunakan kekuatan  okol  itu adalah para tukang kebun, tukang sapu serta para pekerja kasar lainnya.
Inilah yang menyebabkan seolah-olah seorang majikan tidak pantas bekerja mencuci piringnya sendiri.  Mereka akan dengan  enteng mengatakan, "Ini  khan  tugas pembantu." Mereka lupa lukisan  "The Angel" yang wajahnya  berkeringat karena bekerja. Itulah sebabnya Paulus tidak segan-segan bekerja dengan tangannya sendiri, "Kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya kami sabar" (I Kor 4: 12).
Bekerja Menjadi Suatu Panggilan
          Tidak dapat kita pungkiri bahwa ada orang yang bekerja karena ingin mendapatkan nafkah. Ada pula yang bekerja untuk mendapatkan jenjang tertentu dalam karier. Namun ada juga orang yang bekerja karena panggilan (calling  atau vocation).
          Orang yang bekerja karena panggilan dalam jiwanya ada passion  atau gairah.  Bekerja bukanlah suatu beban yang berat, melainkan ia  "bermain-main" dengan pekerjaan itu. Ada anthusiasm yang tinggi dalam menekuni pekerjaan itu.  
 
          Ketika Michaelangelo (1475 – 1564) hendak memahat patung Pieta, ia membawa bongkahan marmer dari perbukitan. Sementara menarik-narik bongkahan marmer yang begitu besar itu, seorang temannya menegur, "Michaelangelo, untuk apa kamu membawa marmer yang berat itu?"   Sang  maestro itu dengan tegas mengatakan, "Sebab di dalam marmer ini ada malaikatnya. Maka saya bekerja dengan penuh semangat."  Di sini Michaelangelo meyakin bahwa pekerjaan yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh menghasilkan kebahagiaan dan  kemuliaan, "Gloria sine labore nulla" – tanpa ada kerja, tidak ada kemuliaan.
          Kita pun sudah layak dan sepantasnya meyakini bahwa setiap pekerjaan yang kita kerjakan itu ada malaikatnya. Setiap pekerjaan memiliki nilai rohani. Bahkan dalam bekerja kita ini sebagai kawan sekerja Allah (co-creation). Paulus dan Barnabas tidak pernah berpikir bahwa karena kekuatan merekalah semua tercapai. Mereka mengatakan Allah-lah yang "bekerja." Mereka menganggap diri mereka hanya sebagai kawan sekerja Allah (Kis 14: 21 – 28).
Bekerja Sebagai Aktualisasi Diri
          Pernah suatu kali saya berjumpa dengan orang yang sudah  mapan hidupnya. Boleh dikatakan orang tersebut "bebas secara finansial." Kalau dalam bahasa Motivasi, dikatakan bahwa uang mengejar dirinya atau uang bekerja untuknya karena ia memiliki "pabrik uang."
          Namun yang membuat saya heran yaitu bapak tersebut tetap bekerja dan mengaku bahwa gaji bukanlah yang utama, melainkan sebagai  self-actualization. Teori ini ditulis oleh Abraham Maslow (1908 – 1970) yang mengatakan bahwa setiap manusia ingin dirinya berarti dan berharga dengan "bekerja."  Maka benarlah kata-kata dari Mahatma Gandhi (1869 – 1948), "Kebahagiaan seseorang tergantung pada apa yang dapat diberikan, bukan apa yang dia peroleh."  Marcus Valerius Martialis (38 – 104   ) Penulis puisi Romawi berkata, "juvat ipse labor" – kerja itu sendiri adalah sesuatu yang menyenangkan.
Ora et Labora    
          Amat sering kita membaca pepatah Latin yang berbunyi,  "Ora et Labora" – Bekerjalah dan berdoalah. Pepatah itu sudah amat biasa kita baca di mana-mana, bahkan anak kecil pun sudah tahu sepenggal kata tersebut.
          Namun jika kita menelusuri lebih dalam, kata labora  tidak perlu dipahami sebagai kerja yang "ngoyo" (Bhs. Jawa. bekerja mati-matian sampai  membanting tulang).  Ungkapan  "ora et labora" ini diciptakan oleh tokoh spiritualis besar abad IV yaitu St. Benediktus dari Nursia (± 480  –  ± 547). Bagi Benediktus, kata  labora digunakan untuk mengungkapkan "kerja tangan" atau  "opus manuale" yang sebenarnya untuk mengimbangi  "opus Dei" (Kerja atau karya Allah) yang berarti: berdoa, meditasi dan membaca. Jadi antara bekerja dan berdoa tidak ada pemisahan.
Penutup
          Quintus Horatius (65 – 8 seb. M) – penyair Romawi  pernah berkata, "Nihil sine labore" – tidak ada sesuatu yang tanpa kerja. Bahkan Yesus sendiri bersabda, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh 5: 17). Yesus hidup di keluarga Nasaret bersama Yosef, seorang tukang kayu dan bersama dengan Maria. Yesus mencela perilaku hamba yang tidak berguna yang menyembuyikan talentanya di dalam tanah (Bdk. Mat 25: 14 – 30).
          Marilah kita memulai suatu pekerjaan dan meyakini bahwa pekerjaan itu akan menghasilkan sesuatu yang indah, seperti dikatakan Publius Vergilius Maro (70 – 20 seb.M),  "Aspirat primo fortuna labori" – nasib baik memberi angin pada permulaan pekerjaan.
 
Senin, 29 September 2014  Markus Marlon
 
       
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: