(Kontemplasi Peradaban)
Dalam minggu-minggu ini, berita di media elektronik maupun media massa, banyak dicuatkan tentang "pilkada langsung atau pada tingkat DPRD). Polemik ini sangat alot sehingga tidak heranlah jika berita-berita ini menjadi titik perhatian (high-light). Dan topik-topik yang diberitakan biasanya berkisar, "Jangan main-main dengan Suara Rakyat" atau "Jangan Rebut Hak Rakyat – Ubah pilkada langsung ke DPRD bukan solusi tepat." Dan topik-topik senada lainnya seperti, "Jangan khianati suara rakyat!" Karena rakyatlah yang "mengusung" mereka ke "kursi empuk."
Kata "berkhianat" atau "mengkhianati" bagi kita adalah kata-kata pemali untuk diucapkan. Kata "khianat" berasal dari bahasa Arab yang berarti: tidak setia, tipu daya dan ingkar.
Ada sebuah kisah yang mungkin bisa menghantar kita untuk mengontemplasikan makna khianat. Pada zaman Nazi (Nationalsozialismus), ada seorang Jerman yang ditawan. Ia diperiksa dan disiksa serta dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi. Ia menghadapi semuanya itu dengan keberanian dan ia tetap bertahan dengan tegap tak tergoyahkan. Lantas secara kebetulan ia mengetahui bahwa yang sebenarnya memberikan keterangan-keterangan yang merugikan dirinya itu adalah anaknya sendiri. Pengetahuan inilah yang menghancurkan hatinya dan menyebabkan ia meninggal. Ternyata serangan olah musuh masih sanggup ditahan, namun serangan oleh orang yang dikasihinya itu "membunuhnya" dengan segera.
Dari situ dapat dipahami bahwa orang yang mengkhianati itu adalah mereka yang dikasihi dan memiliki relasi dekat (kekasih, sahabat dekat atau pengikut setia, constituent). Dan jika relasi itu terjadi pengkhianatan (tidak setia, tipu daya dan ingkar) maka sakit hati akan menusuk amat dalam. Dalam kisah-kisah romans ada ungkapan, "Amor medicabilis nullis herbis" dan kalimat itu tertulis di tembok sebuah apotik tua di Kota Luzern-Swiss yang berarti: tidak ada obat yang dapat menyembuhkan orang yang patah hati.
Kisah pengkhianatan yang terkenal – barangkali – adalah kisah dari Julius Caesar (100 – 44 seb. M). Waktu Caesar hendak dihukum mati, ia memandang para pembunuhnya dengan keberanian seakan-akan ia merendahkan martabat mereka. Tetapi waktu ia melihat tangan orang yang dikasihinya yaitu Brutus (85 – 42 Seb. M) yang teracung-acung untuk membunuhnya, ia menutup matanya dengan mantel dan tewas (Bisa dicermati dalam film yang berjudul, "Julius Caesar"). Dari sana pula muncul kata-kata masyur, "Et tu, Brute" – dan engkau juga Brutus. Kata-kata itu diucapkan Caesar kepada Brutus, anak angkatnya yang ikut persengkolan membunuh dirinya. Marcus Junius Brutus – hingga kini – menjadi lambang dari orang yang tidak tahu terima kasih dan pengkhianat. Dari situ kita menjadi ingat akan Yudas, sang murid yang mengkhianatai gurunya, Yesus (Bdk. DSA III, "Sebab pada malam Ia dikhianati…")
Khianat juga terjadi dalam negara yang disebut dengan pembelot. Kita bisa baca kisah kekejaman Mussolini (1883 –1945) terhadap para pengkhianat. Setelah angkatan perang Italia berhasil menduduki Etiopia pada 1935, tokoh-tokoh negeri Afrika Timur yang telah membantu kemenangan diundang Generalisimo untuk naik pesawat terbang. Setelah terbang di atas Laut Merah, Mussolini memerintahkan supaya semua tokoh Etiopia itu dibuang ke luar pesawat tanpa parasut. Dia berkata, "Kepada negerinya sendiri mereka berkhianat, apalagi kelak kepada Italia." Dan kita ingat juga bahwa dalam kisah "Ramayana" ada seorang pengkhianat yang bernama Gunawan Wibisana.
Semoga di negeri kita ini terhindar dari para pengkhianat dan para pemimpin sungguh-sungguh setia dengan amanah Rakyat. Rakyat amat amat mencintai para pemimpin dan wakil-wakilnya di DPR, "Jangan dikhianati!"
Senin, 22 September 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar