Selasa, 09 September 2014

Dendam

DENDAM
(Kontemplasi  Peradaban)

       Beberapa bulan yang lalu (Rabu, 22 Januari  2014), ada orang yang  ngudarasa  demikian, "Saya menyayangkan  sekali sikap pemimpinku, kalau berjabat tangan tidak memandang wajahku. Saya memang pernah bersalah tetapi dia belum memaafkanku." Kemudian teman sebelahnya berkata, "Kasihan pemimpin kantormu       itu, ia menyimpan dendam terhadapmu."   Kalau boleh mengutip tulisan Ovidius (lahir di Sulmona – Italia), "Summa petit livor" – kedengkian telah menusuk-nusuk dirinya secara sangat dalam sehingga menyiksa dirinya,"  barangkali seperti itulah perasaan hati orang yang sedang memiliki dendam.
          Dendam itu sebenarnya berasal dari bahasa Jawa, rêndhêm yang berarti ditutupi air. Kini, dendam memiliki makna kemarahan yang ditutupi. Orang ini marah, tetapi seolah-olah tidak marah, karena suatu saat nanti – jika ada kesempatan – akan membalasnya. Maka, tidak heranlah ketika berjabat tangan, mukanya masam dan tidak memandang yang memberi "salam" dengan berjabat tangan.
          Dendam dalam arti ini juga bermakna "menyimpan" kesalahan  orang lain. Seorang penulis menceriterakan bahwa penduduk asli Polinesia biasanya menghabiskan waktu-waktu mereka untuk bertarung dan berpesta pora. Setiap pria menyimpan sejumlah tanda mata untuk mengingatkan akan rasa benci dan dendamnya. Berbagai jenis tulisan digantung di atas gubuk mereka untuk mengenang kesalahan-kesalahan mereka – yang nyata ataupun khayalan saja – agar tetap hidup. Ini yang dalam bahasa harian kita, "Dendam koq dipelihara!"
          Dendam-mendendam banyak diceriterakan dalam kisah-kisah kerajaan Jawa dan  dalam pewayangan. Cerita,  "Kisah Tragis Roro Hoyi"  menyuratkan, betapa seorang anak yang tega meracuni ayahnya karena dendamnya (Bdk. Buku berjudul "Kearifan, Cerita, Wejangan dan Keheningan,"  tulisan FX. Kamari, hlm. 37). 
          "Memaafkan" itulah tindakan yang tepat untuk menghilangkan rasa dendan. Memaafkan ini merupakan  tindakan manusiawi tetapi dijiwai semangat ilahi. Memang, Maaf merupakan kata magis, apalagi jika maaf diucapkan dengan sepenuh hati, "By forgiving one to another, we are all becoming more human." Orang yang enggan atau bahkan tidak pernah meminta maaf pada orang lain pasti jiwanya tidak sehat. Komaruddin Hidayat (lahir di Magelang, 18 Oktober 1953) pernah menulis dalam bukunya yang berjudul,  Jejak-Jejak Kehidupan, "Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin banyak teman dan anak buah, maka semakin banyak pula ia  berbuat salah, sehingga semestinya semakin banyak pula hendaknya meminta maaf" (hlm. 76).
          Ada orang yang berkata demikian kepada saya, "Jika engkau ingin menghapus dendam, doakan mereka!" Nasihatnya berat. Namun sebenarnya praktek itu sudah dibuat. Mungkin kita pernah mendengar kamp Auschwitz di Polandia. Di tempat itu, pernah terjadi kekejaman kaum Nazi di bawah pimpinan Hitler (1889 – 1945). Namun, setelah Perang Dunia berakhir, di sebagian bekas kamp tersebut didirikan sebuah biara. Maksudnya supaya orang-orang tidak hanya mengenang kejahatan kaum Nazi, tetapi juga berdoa untuk memohon ampunan bagi para pelaku eksekusi yang sangat kejam. Bukankah Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk mendoakan musuh-musuh   (Mat 5: 44 ) atau "berdamai dengan saudara lebih penting daripada persembahan" (Bdk. Mat 5: 23 – 24).

Senin, 8 September 2014   Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: