(Kontemplasi Peradaban)
Tidak sengaja saya membaca sebuah kata-kata mutiara di sebuah warung makan di Kilo Lima – Luwuk Banggai (Sulawesi Tengah) beberapa bulan yang lalu. Kata-kata itu tulisan Abraham Lincoln (1809 – 1865), "If you want to test a man's character, give him power" – Kalau Anda ingin mencobai karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.
Usia "Kekuasaan" memang setua peradaban bangsa manusia. Dan hingga detik ini, kekuasaan amat sering diperbincangkan dalam percaturan politik di mana pun juga. Bahkan tidak jarang orang yang berseberangan dengan partainya dianggap sebagai ancaman. Ancaman yang merongrong kekuasaan itu tidak hanya dalam bidang politik tetapi juga bisa dalam dunia usaha, bisnis, bahkan lembaga yang suci yakni agama. Tidak heranlah jika pernah ada yang namanya "Paus Tandingan" pada awal abad XV. Kemudian, dalam pewayangan, yang namanya perebutan kekuasaan terus-menerus akan menjadi pokok permasalahan misalnya: Kisah "Matahari Kembar di Mandura." Novel ini berkisah tentang seorang raja yang tega menebas musuh karena dianggap sebagai ancaman. Kisah yang lain yaitu Lakon pewayangan, "Karno Tanding" yang pada akhir cerita, Doryudana berkata, "Urip iki yen ora mukti ya mati" – Hidup ini, jika tidak mulia ya mati saja. Atau dalam Pepatah-Pepatah Lain berbunyi, "vincere aut mori" – menang atau mati atau "kalau tidak untung ya buntung!"
Ancaman itu – sebenarnya – sudah sering kita pelajari dari para tokoh-tokoh penakluk dunia, conquistadores atau conquerors. Konon, ketika Alexander (356 – 323 seb. M) diajak jalan-jalan ayahnya, Filipus II (382 – 336 seb. M) di padang gurun, di kiri-kanan jalan yang dilaluinya tumbuh ilalang yang menghampar. Rata-rata ketinggiannya hampir sama. Jika ada satu atau dua ilalang yang tumbuh lebih tinggi, maka dikebaskannya pedang itu. Alexander pun belajar dari ayahnya supaya setiap kali ada tokoh yang muncul mencuat, segera tokoh itu pun ditebas dan dilenyapkan.
Kisah Herodes Agung lain lagi. Ia adalah seorang raja lalim. Disuruhnya orang membunuh istrinya sendiri: Mariamne dan membunuh tiga orang anak kandungnya sendiri dan banyak lagi keluarganya yang dekat. Caranya memerintah atas bangsa Israel sangat kejam dan barangsiapa berani mengatakan tidak setuju, segera ditebasnya. Selama hidupnya ia cemas kehilangan kekuasaannya.
Orang yang terancam itu berpikir jika nantinya tidak berkuasa akan menjadi "nothing" sehingga takut kehilangan "something" yang dalam bahasa psikologi disebut post power syndrome. Mungkin baik jika kita bercermin pada syair yang ditulis Paulo Coelho (Lahir: 24 Agustus 1947) dalam bukunya yang berjudul, "Manuskrip Yang Ditemukan di Accra." Tulisnya, "Apakah daun yang gugur di pohon di musim salju merasa dikalahkan oleh hawa dingin?" Kata pohon kepada daun, "Demikianlah siklus kehidupan. Kaupikir dirimu akan mati, tetapi nyatanya kau tetap hidup di dalamku…" (hlm. 25). Lewat syair singkat ini hendak mengatakan bahwa kehidupan ini silih-berganti. Tidak perlu bersedih hati, jika suatu waktu kalah dan terhempas. Dan tidak perlu takut akan ancaman.
Kekuasaan cuma titipan atau amanah yang suatu saat nanti akan diambil atau beralih ke orang lain. Sudah layak dan sepantasnya, bahwa seorang raja itu menjadi pengayom (melindungi) dan pengayem (pemberi rasa damai). Ia harus tahan terhadap godaan previlese. Ia harus keras terhadap dirinya sendiri. Ia harus menjadi orang pertama yang mengalah. Orang Jawa punya kata untuk ini, "Aja dumeh" dan orang Prancis juga punya kata, "noblesse oblige" – seseorang yang punya posisi lebih tinggi harus mengabdi lebih banyak.
Jumat, 19 September 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar