Rabu, 10 Juli 2013

TEGUH
 (Kontemplasi Peradaban)
 
          Tahun 2011, saya  berkunjung di Kabupaten Asmat – Papua. Dalam  live in  tersebut, saya mengalami betapa teguh para pencari ikan di rawa-rawa. Mereka berkutat  "memelajari" gerak-gerik ikan yang hendak ditangkap. Selang beberapa jam, akhirnya akhirnya ikan-ikan itu tertikam oleh anak panak sang pemburu.  "Keteguhan hati,"  Itulah kata-kata yang tepat untuk melukiskan para pemburu ikan dengan peralatan sederhana di hutan belantara Papua.
          Orang yang memiliki keteguhan hati, tidak mendapatkan begitu saja,  taken for granted.  Keteguhan hati juga tidak akan terjadi seperti wahyucakraningrat  yang didapat tidak tanpa perjuangan. Namun keteguhan hati ternyata kadang harus dialami dengan  jatuh-bangun penuh onak-duri, seperti yang dialami oleh  Aeneas dalam The Aeneid   tulisan Vergilius (70 – 19 seb.M). Keteguhan hati ini juga dapat kita lihat dalam diri K.H. Ahmad Dahlan (1868 – 1923) yang bisa kita baca dalam novel berjudul  Sang Pencerah   yang ditulis oleh   Akmal Nasery Basral dan sudah difilmkan serta  disutradarai  oleh  Hanung Bramantyo (1975 –  ). Amat berat memperjuangkan apa yang diyakininya. Tantangan demi tantangan dilaluinya dan akhirnya lahirlah lembaga berpengaruh bagi bumi pertiwi yakni Muhammadiyah.  Tokoh nasional lain yaitu  I.J. Kasimo (1900 – 1986) dalam menapaki dunia politik mengalami jatuh-bangun serta tekanan dari pelbagai pihak. Namun, ia semakin tegar.  J.B. Soedarmanto dalam  Biografi I.J. Kasimo menekankan  politik yang bermartabat.  Keteguhan hati untuk memperjuangkan rakyat kecil terinspirasi oleh kata-kata Marcus Tullius Cicero ( 106 – 43 seb. M) yang berbunyi, "Salus populi  suprema lex esto" – kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi (hlm. 104). Dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, Kasimo memiliki prinsip-prinsip yang teguh, namun dengan senyum khasnya, ia memberi  kesejukan bagi banyak orang.  Pepatah Latin menulis, "Fortiter in re, suaviter in modo" – Teguh dalam prinsip atau pendirian dan luwes dalam penerapan.
          Dalam sejarah pun kita mendapatkan pribadi-pribadi yang memiliki keteguhan hati.  Ketika Raja Hendrik VIII (1491 – 1547)  dari Inggris memisahkan diri dari gereja Katolik, karena paus tidak dapat menerima pernikahannya dengan Anne Boleyn (1501 – 1536).  Alasan ketidak setujuan paus adalah  karena  raja masih terikat dengan perkawinan sakramentalnya dengan ratu. Tentu saja, terdapat banyak warga Inggris yang tidak menerima kebijaksanaan raja itu, termasuk perdana menterinya, yaitu Thomas More ( 1478 – 1535). Ia tetap berpegang teguh pada imannya (Bdk. Majalah  Jembatan Firman  vol. I no.1 hlm. 8 – 11, tulisan Piet Tinangon  Pr). Ketika hendak dihukum mati, ia masih sempat berbicara bahwa ia masih seorang warga Inggris yang setia kepada rajanya, tetapi juga setia kepada imannya.
             Menelusuri uraian di atas, sikap keteguhan hati itu perlu diperjuangkan dari hal-hal yang sepele dan remeh-temeh,  namun dilakukan secara konsisten. Ida Friederike  Gorres dalam  Wajah Tersembunyi – Kehidupan Teresia Lisieux (1873 – 1888) menulis  bahwa untuk menjadi seorang yang kudus dibutuhkan kesetiaan dan keberanian  "menderita"  terus-menerus. Tulisnya, "…ketika waktu rekreasi, dia mengatur sendiri selalu duduk di samping para suster yang paling murung dan rewel.." (hlm. 348). Orang kudus yang meninggal dalam usia belia ini, tentu membuat decak kagum dunia.  Orang-orang yang tidak diperhitungkan, malah menjadi mercusuar  dan memberi pedoman arah kehidupan yang suci-murni . Seperti apa yang ditulis dalam Kitab Suci.  Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata, "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang orang kecil" (Luk 10: 21).  
          Akhirnya, "keteguhan hati"  tidak hanya dimiliki oleh orang-orang hebat – kelas dunia. Kita yang adalah  orang-orang  biasa juga "dipanggil" untuk menjadi hebat bukan karena melakukan hal-hal besar. Kita dipanggil untuk  melakukan hal-hal yang biasa namun dengan semangat yang luar biasa (Bdk. Kata-kata dari Mother  Teresa dari Calcutta).  Semangat yang luar biasa itu adalah keteguhan hati.

(Sudah dipublikasikan di  Suara Pembaharuan, 6 Juli 2013)
Rabu, 10 Juli 2013  Markus Marlon 


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar: