(Kontemplasi Peradaban)
Tahun 2011, saya berkunjung di Kabupaten Asmat – Papua. Dalam live in tersebut, saya mengalami betapa teguh para pencari ikan di rawa-rawa. Mereka berkutat "memelajari" gerak-gerik ikan yang hendak ditangkap. Selang beberapa jam, akhirnya akhirnya ikan-ikan itu tertikam oleh anak panak sang pemburu. "Keteguhan hati," Itulah kata-kata yang tepat untuk melukiskan para pemburu ikan dengan peralatan sederhana di hutan belantara Papua.
Orang yang memiliki keteguhan hati, tidak mendapatkan begitu saja, taken for granted. Keteguhan hati juga tidak akan terjadi seperti wahyucakraningrat yang didapat tidak tanpa perjuangan. Namun keteguhan hati ternyata kadang harus dialami dengan jatuh-bangun penuh onak-duri, seperti yang dialami oleh Aeneas dalam The Aeneid tulisan Vergilius (70 – 19 seb.M). Keteguhan hati ini juga dapat kita lihat dalam diri K.H. Ahmad Dahlan (1868 – 1923) yang bisa kita baca dalam novel berjudul Sang Pencerah yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral dan sudah difilmkan serta disutradarai oleh Hanung Bramantyo (1975 – ). Amat berat memperjuangkan apa yang diyakininya. Tantangan demi tantangan dilaluinya dan akhirnya lahirlah lembaga berpengaruh bagi bumi pertiwi yakni Muhammadiyah. Tokoh nasional lain yaitu I.J. Kasimo (1900 – 1986) dalam menapaki dunia politik mengalami jatuh-bangun serta tekanan dari pelbagai pihak. Namun, ia semakin tegar. J.B. Soedarmanto dalam Biografi I.J. Kasimo menekankan politik yang bermartabat. Keteguhan hati untuk memperjuangkan rakyat kecil terinspirasi oleh kata-kata Marcus Tullius Cicero ( 106 – 43 seb. M) yang berbunyi, "Salus populi suprema lex esto" – kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi (hlm. 104). Dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, Kasimo memiliki prinsip-prinsip yang teguh, namun dengan senyum khasnya, ia memberi kesejukan bagi banyak orang. Pepatah Latin menulis, "Fortiter in re, suaviter in modo" – Teguh dalam prinsip atau pendirian dan luwes dalam penerapan.
Dalam sejarah pun kita mendapatkan pribadi-pribadi yang memiliki keteguhan hati. Ketika Raja Hendrik VIII (1491 – 1547) dari Inggris memisahkan diri dari gereja Katolik, karena paus tidak dapat menerima pernikahannya dengan Anne Boleyn (1501 – 1536). Alasan ketidak setujuan paus adalah karena raja masih terikat dengan perkawinan sakramentalnya dengan ratu. Tentu saja, terdapat banyak warga Inggris yang tidak menerima kebijaksanaan raja itu, termasuk perdana menterinya, yaitu Thomas More ( 1478 – 1535). Ia tetap berpegang teguh pada imannya (Bdk. Majalah Jembatan Firman vol. I no.1 hlm. 8 – 11, tulisan Piet Tinangon Pr). Ketika hendak dihukum mati, ia masih sempat berbicara bahwa ia masih seorang warga Inggris yang setia kepada rajanya, tetapi juga setia kepada imannya.
Menelusuri uraian di atas, sikap keteguhan hati itu perlu diperjuangkan dari hal-hal yang sepele dan remeh-temeh, namun dilakukan secara konsisten. Ida Friederike Gorres dalam Wajah Tersembunyi – Kehidupan Teresia Lisieux (1873 – 1888) menulis bahwa untuk menjadi seorang yang kudus dibutuhkan kesetiaan dan keberanian "menderita" terus-menerus. Tulisnya, "…ketika waktu rekreasi, dia mengatur sendiri selalu duduk di samping para suster yang paling murung dan rewel.." (hlm. 348). Orang kudus yang meninggal dalam usia belia ini, tentu membuat decak kagum dunia. Orang-orang yang tidak diperhitungkan, malah menjadi mercusuar dan memberi pedoman arah kehidupan yang suci-murni . Seperti apa yang ditulis dalam Kitab Suci. Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata, "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang orang kecil" (Luk 10: 21).
Akhirnya, "keteguhan hati" tidak hanya dimiliki oleh orang-orang hebat – kelas dunia. Kita yang adalah orang-orang biasa juga "dipanggil" untuk menjadi hebat bukan karena melakukan hal-hal besar. Kita dipanggil untuk melakukan hal-hal yang biasa namun dengan semangat yang luar biasa (Bdk. Kata-kata dari Mother Teresa dari Calcutta). Semangat yang luar biasa itu adalah keteguhan hati.
(Sudah dipublikasikan di Suara Pembaharuan, 6 Juli 2013)
Rabu, 10 Juli 2013 Markus Marlon
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar