Sabtu, 22 Juni 2013

TAKE  CARE
(Kontemplasi  Peradaban)
         
Ada seorang  caleg (calon legestatif) yang menyalonkan diri untuk menjadi anggota DPRD.  Sewaktu berkampanye, ia begitu banyak mengobral janji untuk  take care  kepada rakyat sedang dalam penderitaan.  

Namun ternyata setelah menduduki  "kursi Musa" dan ketika rakyat mengritik orang tersebut, dia dengan mudah berkata, "I don't care  dengan yang kalian katakan!"  Ini yang dalam Kitab Suci ditulis dengan kata-kata:

"Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung." (Mat 11: 17).
 
"I don't care"  – saya tidak peduli adalah kata-kata pemali bagi pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom (orang yang melindungi). Mereka bagaikan payung sehingga membuat rakyat menjadi ayem (tentram dan damai di hati).   Para pemimpin yang tidak  care, cepat atau lambat akan ditinggalkan orang, karena keinginan terdalam dari rakyat kebanyakan  adalah  tata tentrem kertaraharja guyup rukun bebarengan – hidup damai sejahtera dalam kebersamaan.  

Asal muasal kata Inggris "care" berasal dari kata Gotik  "kara"  yang berarti dukacita. Maka arti dasar "care" yang diterjemahkan dengan perhatian adalah berduka, merasa sedih dan menangis (Bdk. P. Van Bremen dalam bukunya   yang berjudul  Kupanggil Engkau dengan Namamu, hlm. 135).  Seseorang yang sedih atau berduka tidak membutuhkan "khotbah"  Mereka membutuhkan simpati (sehati dan seperasaan). Mereka membutuhkan dipahami dan dimengerti. Pada akhirnya,  yang menjadi kemendesakan untuk mengunjungi orang yang sedang menderita  adalah  "diam bersama dalam keheningan."   Di sinilah Kahlil Gibran (1883 – 1931)  menulis sebuah puisi, "Mungkin kamu akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu."  

Dalam tradisi Gereja Katolik ada istilah  cura animarum yang berarti merawat jiwa-jiwa kaum beriman.  Dalam  pastoral (tugas penggembalaan), seorang pastor  care bagi jiwa-jiwa kaum beriman yang membutuhkan keselamatan (penerimaan sakramen-sakramen).  Dalam sebuah tradisi di NTT ada yang namanya tradisi   Kure. Menurut Andreas Sa'u SVD dalam Teropong Kompas (28 Maret 2013) mengatakan bahwa tradisi Kure  merupakan tradisi menghormati karya-karya manusia itu mungkin berasal dari bahasa Latin,  currere yang berarti berjalan, menjelajah, merambat. Mungkin juga berasal dari kata  cura yang berarti ibadah, persembahan kepada dewa-dewi. Dengan demikian,  Kure bisa dimengerti sebagai kegiatan berjalan sambil berdoa dari rumah ke rumah.  Tentu saja dalam perjalanan itu, mereka berbuat baik (Bdk.  Kis, 10: 38  "Yesus berjalan berkeliling  sambil berbuat baik").

Take care– peduli, perhatian, simpati, empati harus terwujud dalam tindakan kita. Tindakan ini bukan sekedar teori, melainkan secara nyata menjadi "pendamping,"  "teman,"  atau "pendengar" di kala orang tersebut mengalamai keterpurukan.

 

Sabtu, 22 Juni 2013  Markus  Marlon

 


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: