Rabu, 03 April 2013

SAIS
(Kontemplasi Peradaban)
         

Belum lama berselang, saya jalan-jalan di Kotaraja – Jayapura.  Ketika masuk di ruang tamu, saya terkesima dengan sebuah lukisan Yesus memegang kemudi sebuah perahu kecil  di tengah ombak dan gelombang lautan.  Dalam lukisan itu tertera sebuah tulisan, "Yesus Jurumudi keluargaku!"

Sementara merenungi lukisan tersebut, tuan rumah berkata, "Saudara lukisan ini saya pesan sesuai buku yang berjudul  The purpose – driven life, tulisan Rick Waren.   Orang yang dikemudikan  oleh Kristus tentu memiliki kualitas hidup  yang baik."  Keluarga ini mengandalkan hidup seluruhnya kepada Yesus sebagai: jurumudi, sopir, kendali, kusir atau sais.  Tetapi kemudian saya berpikir,  "Memang paling sulit adalah menjadi sais untuk diri sendiri!"

Mengontemplasikan  makna  sais, maka pikiran saya melesat jauh pada wiracerita pra-mahabharata. Ki Ageng Kapalaye dalam Kamus Pintar Wayang menerangkan bahwa Kresna yang adalah titisan Dewa, menawarkan pilihan kepada saudara sepupunya (Doryudana dan Arjuna)  dalam perang yang mahadahsyat di Kurusetra.  Doryudana – merasa sudah di atas angin – mendapatkan pasukan Dwaraka, sedangkan Arjuna  – merasa bersyukur  – karena mendapatkan Kresna seorang diri sebagai  "pendamping" selama berperang (hlm. 222).  Melalui nasihat-nasihat dan strategi-strateginya, sebenarnya Kresna menjadi sais yang mengendalikan Pandawa. Dalam Bhagawadgita,  Kresna memberi semangat para Pandawa untuk menghancurkan kebatilan yang mengejawantah dalam diri Kurawa. Dalan dalam Karna Tanding, Arjuna mendapatkan kemenangan gemilang,  karena ia mendapatkan seorang sais, yakni Kresna.

Barangkali di dunia ini dibutuhkan sais yang mampu mengendalikan nafsu. Mahatma Gandhi (1869 – 1948) menyebut orang yang mampu mengendalikan nafsunya disebut sebagai seorang  brahmachary.  Komaruddin Hidayat dalam Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan,  melukiskan bahwa pengendalian diri itu amat penting. Tulisanya, "….ketika seseorang tidak mampu mengendalikan jiwanya sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata (for the sake of pleasure) maka sesungguhnya hidupnya tejebak pada level hewani (animality), gagal menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity) sebagai pemimpin (leader) dalam kehidupannya" (hlm. 132). Henri Nouwen (1932 - 1996) dalam  Pelayanan Yang Kreatif,  menceriterakan tentang seorang Vietnam yang menunggang kuda yang lari kencang sekali. Kemudian ditanya oleh orang lain, "Hai kawan, mau pergi ke mana?" Penunggang kuda itu menoleh dan berteriak  sambil menjawab, "Jangan bertanya kepada saya, tanyalah kepada  kuda saya!"  (hlm. 25).  Orang ini tidak bisa menjadi sais, tetapi dikendalakan oleh kuda yang ditumpangi.

  Hidup pada  zaman sekarang ini begitu kompleks. Tawaran dunia begitu menggiurkan.  Di era konsumtif ini, manusia "dipaksa"  untuk memiliki  barang-barang yang bukan menjadi kebutuhannya dan dengan kartu kredit, mereka "dipaksa" untuk berhutang. Kebutuhan hidup yang tak terbatas itu amat sulit untuk dikendalikan. Di era digital ini, setiap orang "dipaksa" untuk berkomunikasi melalui  FB, BBM, Twitter, e-mail dan sms. Seolah-olah apa yang kita miliki itu  harus dikomunikasikan kepada dunia, supaya mereka menjadi  tahu. Di sinilah kita membutuhkan seorang sais yang berani mengatakan, "Cukup!"

Plautus ( 254 – 184 seb.M) – nama lengkapnya: Titus Maccius Plautus,  pernah menulis, "Egomet sum mihi imperator" – akulah yang menjadi pemimpin bagi diriku sendiri.  Orang yang memegang kendali dalam hidup ini amat tergantung  bagaimana mengendalikan lidahnya. Sudarsono S.Th dalam  Oasis: Perenungan Hidup Kristen  menulis sebuah puisi.  Orang-orang Yunani berkata, "Lidah yang tak bertulang, yang kecil dan lemah dapat menghancurkan dan membunuh."  Orang-orang Persia berkata, "Lidah panjang berarti umur pendek".  Kadang-kadang berbunyi demikian, "Jangan biarkan lidahmu memotong kepalamu"  (hlm. 116).  Orang Jawa memiliki pepatah, "Ajining diri soko lathi" yang berarti: orang dihargai karena lidahnya. Orang yang bisa menjaga tutur kata dengan berbicara benar. Maka bila tidak dapat bertutur dengan baik dan tidak memberi manfaat lebih baik diam (dadi  wong kang anteng jatmika iku luwih mulya).  Ia bisa mengendalikan lidahnya (030413) Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: