(Kontemplasi Peradaban)
Ketika saya ikut rombongan ziarah di Gua Kerep – Ambarawa (Jawa Tengah) ada seorang peziarah berkata, "Hidup itu seperti seorang di perjalanan yang beristirahat di penginapan. Ia berhenti sebentar untuk pergi lagi, tubuhnya beristirahat, tetapi dengan budi sudah di tempat yang lain."
Setelah saya mengontemplasikan dengan mengacu pada hidupku sendiri, memang benar adanya. Perjalanan hidup sungguh amat cepat, tempus fugit. Sering orang berkata, "tau-tau udah dewasa, tau-tau udah menikah, tau-tau udah tua!" Karena singkatnya waktu itu, maka orang Jawa memiliki ungkapan, "Urip iku mung mampir ngombe" – Hidup itu bagaikan singgah untuk minum. Dalam perjalanan hidup pun – karena begitu singkatnya – Paulus berkata, "Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang ada di hadapanku; aku berlari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus" (Flp 3: 13 – 14). Maka amat menyedihkan jika dalam hidup yang singkat ini orang-orang mengalami kekecewaan bertubi-tubi, keluh kesah terus menerus dan merasa menderita tak berkesudahan. Harusnya enjoy aja!
Memang perjalanan hidup itu akhirnya tertuju kepada Yang Ilahi yang menurut bahasa kerahiban sebagai itinera eius –Perjalanan Tuhan – atau dalam Mahabaratha bisa dilihat dalam wiracerita Dewa Ruci.
Para penakluk benua, seperti: Vasco da Gama (1460/1469 – 1524) Ferdinand Magellan (1480 – 1521) dan Christopher Colombus (1451 – 1506) dalam arti tertentu mengatakan bahwa bukan hidupnya yang penting, tetapi perjalanannya. (Bdk. The Zahir tulisan Paulo Coelho, hlm. 85). Petualangan mereka penuh dengan tantangan yang mendebarkan, bagaikan "Sinbad yang menaklukkan tujuh samodra." Manusia, atas salah satu cara dalam petualangan hidupnya tidak pernah mulus. Kadang ada orang yang baik dan membantu kita (Simon dari Kirene dan Veronica), namun tidak jarang ada orang-orang yang mengolok-olok diri kita. Dalam perjalanan itu pula, kadang kita jatuh karena beban (Yesus jatuh sampai tiga kali). Namun dalam "kejatuhan" itu, ada orang yang menangisi dan peduli (Yesus berjumpa dengan ibu-Nya dan Para wanita Yerusalem menangisi-Nya). Itulah yang disebut oleh orang-orang Kristen Katolik sebagai Jalan Salib atau Via Dolorosa.
Dalam dongeng-dongeng, legenda-legenda, wiracerita-wiracerita maupun mitologi-mitologi, kebanyakan mengisahkan tentang "perjalanan hidup manusia dari kelahiran sampai kematian." Perjalanan Odysseus kembali ke Itaka merupakan perjalanan yang menggambarkan tujuan hidup manusia. Kisah karya Homerus (± 850 seb. M) yang berjudul The Odessey ini sangat mencekam dan mengharukan sekaligus meneguhkan. Odysseus dikenal sebagai "pahlawan" yang cerdik. Dalam perjalanan pulang setelah Perang Troya selama sepuluh tahun, ia amat rindu terhadap anaknya, Telemacus dan istrinya, Penelope. Selama dalam perjalanan, ia berjumpa dengan raksasa bermata satu yakni Cyclops. Kemudian ketika berlayar mengarungi samodra, ia digoda oleh Sīrēnĕ, burung yang bermuka wanita muda, yang dengan nyanyian merdunya bisa memikat para pelayar dan akhirnya karam. Menyitir kerinduan Odysseus terhadap keluarga dan kampung halamannya, orang-orang Telugu di India memunyai nyanyian yang menarik, sebuah nyanyian yang menggambarkan kenyataan manusia yang mendalam.
"Dari semua desa di negeriku
desaku sendiri yang paling kusayang.
Dari semua jalan di desaku
jalanku sendiri yang paling kusayang.
Dari semua rumah di jalanku
rumah sendiri paling kusayang."
Perjalanan kembali ke asal mula kehidupan, sangkan paraning dumadi – asal dan tujuan hidup manusia – memang menjadi kerinduan umat manusia. Agustinus dari Hippo (354 – 430) pun berkata, "Jiwaku gelisah sebelum kembali kepada Tuhan." Hidup memang suatu perjalanan!! (23 April 2013) Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar