(Kisah kasih dalam Wiracerita Ramayana – Mahabaratha)
Akhirnya Resi Wasista dan Dewi Arundati bersepakat dalam mengatur pembinaan bagi keempat putra Raja yaitu: Rama, Laksmana, Bharatha dan Satruguna (Nyoman Pendit dalam Ramayana, hlm. 17).
Kesepakatan dalam pembinaan atau formatio amat berpengaruh besar bagi subyek bina. Pembina yang jumlahnya terbatas itu barangkali memiliki kebijakan-kebijakan sebagai pedoman hidup bersama (seminarium, pondok pesantren, padhepokan atau vihara). Pernah suatu kali ada seorang frater novis yang berkata demikian, "Duh, para pembina saya ini tidak baku sapa, kalau salah satu pembina makan di refter, pembina yang lain tidak mau hadir." Dia berkata lagi, "Belum lagi kebijakan-kebijakan yang diberikan magister tidak sama dengan socius! Kami, para novis menjadi bingung." Kalau demikian yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah subyek bina itu sendiri (Bdk. Metro TV dalam Just Alvin tgl. 7 April 2013: Perbedaan pendapat yang mengerucut dalam keluarga yang menjadi korban adalah anak-anak).
Para anak didik atau seminaris atau santri atau brahmacary adalah mereka yang sedang berguru. Maka dalam seminarium, pondok pesantren, padhepokan maupun vihara, anak didik digodhok di kawah condrodimuko. Guru di sini tidak saya artikan sebagai teacher, melainkan educator atau formator. Dalam tempat persemaian (seminarium) itu mereka dilatih menjadi manusia yang memiliki sikap hidup 3 S (Sanctitas, kesucian Scientia, pengetahuan dan Sanitas, kesehatan). Para pamong membentuk (mengolah, menggodhok, mem-format) di tempat penggemblengan "kawah condrodimuka" yang tentunya panas. Para pendidik – (sekali lagi ) yang bukan teacher, melainkaneducator atau formator itu – mendidik (bhs Latin, educare yang berarti ex = keluar, ducere = menuntun) para seminaris (orang-orang yang disemai) itu bertumbuh-berbunga-berbuah. Para seminaris akhirnya mampu keluar dari diri sendiri untuk menjadi pribadi yang mandiri. Ini yang dikatakan oleh Seneca (4 – 65) nama lengkapnya Lucius Annaeus Seneca, "vivere militare" – hidup itu adalah berjuang.
Demikian pula yang terjadi dalam pondok pesantren. Mereka hidup dalam kebersamaan sederhana yang berfilosofi: asah (saling mengasah otak dan ketrampilan) asih (saling mengasihi) asuh (saling mendidik). Sejak masuk sebagai santri (para murid yang sungguh-sungguh mendalami ajaran Islam) mereka hidup penuh disiplin. Sebelum terbitnya matahari, subuh sampai petang hari, isya bahkan tahajud para santri menaati regula yang telah digariskan. Yang paling mencolok adalah kesederhaan hidup sang kiai dan para santri. Apa yang dimakan oleh santri juga dimakan oleh kiai (Bdk. Ahmad Fuadi dalam Negeri 5 Menara yang sudah dilayarlebarkan). Para santri mengabdikan diri sebagai murid (bhs. Latin, discipulus artinya murid) yang taat. Memang benar bahwa kemuridan tidak mungkin lepas dari kedisiplinan. Saya menjadi ingat akan praktek disciplinary yang dilakukan oleh biara-biara abad XVIII di Eropa, misalnya biara yang pernah didiami oleh Teresa Avila (1515 – 1582) di Avila – Spanyol. Menjelang malam para biarawati masuk kamar masing-masing menyesah diri dengan suara "plak-plak-plak" sambil mendesah kesakitan. Piranti untuk menyiksa diri itu namanya disciplinary. Hidup yang disiplin memang harus sakit. Para murid pun ketika dibentuk menjadi pribadi yang utuh, harus mengalami penderitaan. Thomas à Kempis (1380 – 1471) dalam Imitatio Christi memberi istilah mati raga, mortificatio. Peribahasa Indonesia menulis, "Berarkit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian." Disiplin memang pahit, tetapi buahnya manis.
Para putra Raja sebelum memangku tahta mulia, harus hidup sebagai brahmacari. Ia hidup dalam pertapaan. Sang Resi mulai memberikan lectio brevis, wejangannya, "Kalian datang kemari untuk menimba ilmu, ngangsu kawruh. Sebelum mulai menerima pelajaran tentang berbagai ilmu, kalian harus memelajari cara-cara menjaga raga agar tetap sehat. Jika kalian jatuh sakit, raga menjadi lemah dan akan sulit bagi kalian untuk belajar memahami dharma kehidupan." Dalam pembinaan, mareka diajak untuk berani "meninggalkan dunia ramai" dan bertarak (pengendalian diri terhadap hawa nafsu) yakni nawa sanga yang berarti menutupi sembilan lubang tubuh (dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang anus). Sebagai pangeran maupun putra mahkota, mereka tetap berpedoman pada ungkapan orator fit, poeta nascitur – ahli pidato diciptakan, ahli puisi dilahirkan.
Dari kisah Ramayana tulisan Nyoman Pendit maupun Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata, kita bisa memahami kualitas dan kekompakan dari para pembina, yakni para resi di vihara ataupun padhepokan. Putra-putra raja diajar (learning), dilatih (coaching) dididik (education) dan dibentuk (formation) menjadi satria-satria utama. Dari sana kita bisa memahami kebijaksanaan Rama, ketulusan Laksmana dan kejujuran Bharatha serta keberanian Satruguna.
Para pengajar, pelatih, pendidik dan pembentuk adalah mereka yang diberi kepercayaan membentuk pribadi-pribadi menjadi mandiri. Namun mereka tidak berjalan sendiri, karena Pembentuk utama adalah Tuhan sendiri, "Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu (Yes 64: 8). Meminjam puisi Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam Sang Nabi, "Mereka adalah anak-anak yang memiliki mimpinya sendiri-sendiri."
Namun sebagai subyek bina dalam masa-masa pembelajaran mereka perlu hati-hati dalam "membawa diri." Dalam perjalanan menuntut ilmu, mereka membawa "harta." Seperti yang ditulis oleh Paulus, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah bukan dari diri kami" (2 Kor 4: 7) – 17 April 2013 – Markus Marlon
__._,_.___
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar