Jumat, 26 April 2013

PEMBINAAN
(Kisah kasih dalam  Wiracerita Ramayana – Mahabaratha)
 
          Akhirnya Resi Wasista dan Dewi Arundati bersepakat dalam mengatur pembinaan bagi keempat putra Raja yaitu: Rama, Laksmana, Bharatha dan Satruguna (Nyoman Pendit dalam  Ramayana, hlm. 17).

          Kesepakatan dalam pembinaan atau  formatio  amat berpengaruh besar bagi subyek bina. Pembina yang jumlahnya terbatas itu barangkali memiliki kebijakan-kebijakan sebagai pedoman hidup bersama (seminarium, pondok  pesantren,   padhepokan  atau  vihara).  Pernah suatu kali ada seorang frater  novis  yang berkata demikian, "Duh, para pembina saya ini tidak baku sapa, kalau salah satu pembina makan di refter, pembina yang lain tidak mau hadir." Dia berkata lagi, "Belum lagi kebijakan-kebijakan yang diberikan  magister  tidak sama dengan  socius!  Kami,  para  novis  menjadi bingung."  Kalau demikian yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah subyek bina itu sendiri (Bdk. Metro TV dalam  Just  Alvin  tgl. 7 April 2013: Perbedaan pendapat yang mengerucut  dalam keluarga yang menjadi korban adalah anak-anak).  

          Para anak didik atau seminaris atau santri atau  brahmacary  adalah mereka yang sedang berguru.  Maka dalam  seminarium, pondok pesantren, padhepokan  maupun  vihara, anak didik  digodhok  di  kawah condrodimuko.  Guru di sini tidak saya artikan sebagai  teacher, melainkan educator atau  formator.  Dalam tempat persemaian (seminarium) itu mereka dilatih menjadi manusia yang memiliki sikap hidup 3 S  (Sanctitas, kesucian  Scientia, pengetahuan  dan  Sanitas, kesehatan). Para pamong  membentuk (mengolah, menggodhok, mem-format) di tempat  penggemblengan  "kawah condrodimuka"  yang tentunya panas.  Para pendidik  –  (sekali lagi ) yang  bukan teacher,  melainkaneducator  atau  formator  itu –  mendidik (bhs Latin,  educare  yang berarti ex = keluar, ducere = menuntun) para seminaris (orang-orang yang disemai) itu  bertumbuh-berbunga-berbuah.  Para seminaris akhirnya mampu keluar dari diri sendiri untuk menjadi pribadi yang mandiri. Ini yang dikatakan oleh Seneca (4 – 65) nama lengkapnya Lucius Annaeus  Seneca, "vivere militare" – hidup itu adalah berjuang.

          Demikian pula yang terjadi dalam pondok pesantren. Mereka hidup dalam kebersamaan sederhana yang berfilosofi: asah  (saling mengasah otak dan ketrampilan) asih (saling mengasihi)  asuh (saling mendidik).  Sejak masuk sebagai santri  (para murid yang sungguh-sungguh mendalami ajaran Islam) mereka hidup penuh disiplin. Sebelum terbitnya matahari, subuh  sampai petang hari, isya  bahkan  tahajud  para santri menaati regula yang telah digariskan.  Yang paling mencolok adalah  kesederhaan hidup sang  kiai  dan para santri. Apa yang dimakan oleh santri juga dimakan oleh kiai  (Bdk. Ahmad Fuadi  dalam  Negeri 5  Menara  yang sudah dilayarlebarkan).  Para santri mengabdikan  diri sebagai murid (bhs.  Latin, discipulus artinya murid) yang taat. Memang benar bahwa kemuridan  tidak mungkin lepas dari kedisiplinan.  Saya menjadi ingat akan praktek  disciplinary  yang dilakukan oleh biara-biara abad  XVIII di Eropa, misalnya biara yang pernah didiami oleh  Teresa Avila (1515 – 1582) di Avila – Spanyol. Menjelang malam para biarawati masuk kamar masing-masing menyesah diri dengan suara  "plak-plak-plak"  sambil mendesah kesakitan. Piranti untuk menyiksa diri itu namanya  disciplinary.  Hidup yang disiplin memang harus sakit. Para murid pun ketika dibentuk menjadi pribadi yang utuh, harus mengalami penderitaan. Thomas à Kempis (1380 – 1471) dalam  Imitatio Christi  memberi istilah  mati raga,  mortificatio.  Peribahasa Indonesia menulis, "Berarkit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian."  Disiplin memang pahit, tetapi buahnya manis.

          Para putra Raja sebelum memangku tahta mulia, harus hidup sebagai  brahmacari. Ia hidup dalam pertapaan. Sang  Resi  mulai memberikan  lectio brevis, wejangannya, "Kalian datang kemari untuk menimba ilmu, ngangsu kawruh.  Sebelum mulai menerima pelajaran tentang berbagai ilmu, kalian harus memelajari cara-cara menjaga raga agar tetap sehat. Jika kalian jatuh sakit, raga menjadi lemah dan akan sulit bagi kalian untuk belajar memahami  dharma  kehidupan."  Dalam pembinaan, mareka diajak untuk berani "meninggalkan dunia ramai"  dan bertarak (pengendalian diri terhadap hawa nafsu) yakni nawa sanga yang berarti menutupi sembilan lubang tubuh (dua lubang mata, dua lubang  telinga, dua  lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang  anus).  Sebagai  pangeran maupun putra mahkota, mereka tetap berpedoman pada  ungkapan  orator fit, poeta nascitur  –  ahli pidato diciptakan, ahli puisi dilahirkan.   

          Dari kisah  Ramayana  tulisan Nyoman Pendit maupun  Anak Bajang Menggiring Angin  karya Sindhunata, kita bisa memahami kualitas dan kekompakan  dari para pembina, yakni para resi di  vihara  ataupun  padhepokan.  Putra-putra raja diajar (learning), dilatih (coaching) dididik (education) dan  dibentuk (formation) menjadi satria-satria utama.  Dari sana kita bisa memahami kebijaksanaan Rama, ketulusan Laksmana dan kejujuran Bharatha serta keberanian Satruguna.

          Para pengajar, pelatih, pendidik dan pembentuk adalah mereka yang diberi kepercayaan membentuk pribadi-pribadi  menjadi  mandiri. Namun mereka tidak berjalan sendiri, karena Pembentuk utama adalah Tuhan sendiri,  "Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu  (Yes 64: 8). Meminjam puisi Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam  Sang Nabi, "Mereka adalah anak-anak  yang memiliki mimpinya sendiri-sendiri."

          Namun sebagai subyek bina dalam masa-masa pembelajaran mereka perlu hati-hati dalam  "membawa diri."  Dalam perjalanan menuntut ilmu,  mereka membawa "harta." Seperti yang ditulis oleh Paulus, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah bukan dari diri kami" (2 Kor 4: 7) –   17 April 2013 –  Markus Marlon

__._,_.___
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: