Sabtu, 20 April 2013

KETIKA SRI PERGI

Lelaki tua itu duduk termenung di bangku baris ketiga, di sebuah aula, gedung tua di Kotabaru, Jogjakarta. Kalender di dinding menunjuk tahun 1969. Matanya menatap upacara yang tengah berlangsung, tapi angannya melayang ke suatu hari, belasan tahun yang lalu.
-----------------------
Siang itu, putri yang bersekolah di SMP Susteran Purworejo mengajukan permintaan yang membuatnya marah dan kecewa. Sri Umiyati, putri yang dikasihinya menyatakan keinginan menjadi seorang Katolik. Meledak kemarahan dan kekecewaannya.
Di kota Purworejo ini, Broto Suyitno tidak hanya dikenal sebagai pegawai kantor penerangan, namun juga seorang pejuang kemerdekaan yang sangat gigih. Berulang kali anak istrinya harus ikut ke persembunyian, menghindari penangkapan oleh tentara Belanda.
Sekarang, setelah merdeka, ternyata putrinya justru ingin menjadi seorang Katolik, memeluk agamanya penjajah! Meskipun Pak Broto bukan seorang yang khusuk dalam beragama, dia tetap tak mau anak gadisnya menjadi segolongan dengan kaum penjajah.
Rupanya gadis Sri mewarisi kegigihan semangat juang ayahnya. Dia mogok makan, protes terhadap sikap ayahnya. Akhirnya dengan berat hati Pak Broto mengijinkan, meski hatinya tetap tak ikhlas, berat untuk melepas sang putri menjadi pemeluk agama penjajah.
Namun rupanya ini bukan kejutan yang terakhir. Beberapa tahun kemudian, Sri malah mohon ijin hendak menjadi suster. Ini sungguh tak masuk akal!!!
Dari namanya saja, SRI UMIYATI, Pak Broto memiliki harapan kelak putrinya ini akan menjadi seorang umi, seorang ibu yang sri, yang cantik. Seorang ibu yang kelak akan memberikan cucu-cucu bagi pak Broto. Sekarang tiba-tiba punya keinginan aeng-aeng, ingin menjadi suster yang hidup wadat sampai mati?? Jelas Pak Broto menolak. Bujukan bahkan tangisan Sri tak meluluhkan hati Pak Broto.
Rupanya, sekali lagi, Sri memperlihatkan bahwa dia adalah putri seorang pejuang yang tak mudah menyerah. Sri pergi. Tanpa pamit. Tanpa ijin orangtuanya, dia pergi ke ke sebuah biara. Merintis hidup panggilan sebagai seorang suster.
Sedangkan Pak Broto? Dia juga teguh dengan pendiriannya. Tetap tak ada restu, tak ada ijin, pun juga tak sudi Pak Broto meminta-minta agar putrinya kembali pulang. Rupanya dia sudah terlanjur patah arang dengan sikap putrinya.
Tapi jalan Tuhan memang sering tak terduga. Karir Pak Broto semakin menanjak, hingga kemudian ditugaskan di Temanggung, meninggalkan Sri yang telah hidup bersama suster-suster di Kutoarjo. Di Temanggung, Pak Broto mendapat rumah dinas yang bertetangga dengan susteran, gereja dan sekolah Katolik. Para suster dan romo sering bertandang ke rumah Pak Broto, mula-mula ngobrol tentang hidup sehari-hari, namun kemudian menyinggung pula nila-nilai dalam ajaran Katolik.
Selang beberapa tahun, Pak Broto dimutasi ke Semarang. Lagi-lagi rumah dinasnya bertetangga dengan gereja, malah kali ini dengan katedral. Kembali terjalin hubungan dengan para Romo, bahkan dengan Uskup Semarang, Mgr. Soegija Pranata.
Tahun 1962, ketika Sri mengucapkan kaul pertama sebagai seorang suster, Pak Broto tetap tak bersedia hadir. Hatinya masih terluka. Namun Roh Kudus sungguh bekerja. Tahun 1969, Sri mengucapkan kaul kekal. Kali ini Pak Broto sudah mulai bisa menerima pilihan putrinya. Dia bersedia hadir dalam upacara itu, di Kotabaru, Jogjakarta.
Ada segurat penyesalan karena telah memutus komunikasi dengan putrinya, sepuluh tahun tak bertegur sapa. Namun ada pula rasa bangga melihat keteguhan tekad putrinya berjuang demi keyakinan dan cita-citanya.
---------------
Kilatan lampu blitz membuyarkan lamunan Pak Broto. Tampak orang-orang berbaris, mengucapkan selamat kepada para suster yang baru saja mengucapkan kaul kekal.
Dengan mata berkaca-kaca Pak Broto memeluk putrinya tersayang, Maria Magdalena Sri Umiyati yang sekarang dipanggil Suster Lidwina, ADM.
===============
Catatan Redaksi :
Beberapa waktu kemudian Pak Broto menyatakan keinginannya menerima sakramen baptis. Hingga akhir hayatnya beliau menjadi salah satu katekis di Paroki Kutoarjo. Seperti mengulang jaman perjuangan, beliau gigih berkeliling ke stasi-stasi, mengabarkan kabar gembira, sebuah langkah yang telah lebih dulu dipilih putrinya, Sr. Lidwina, ADM.
Terkabul pula doa Sri di Sendangsono belasan tahun yang lalu, dia ingin menjadi Maria Magdalena yang mengabarkan penebusan Tuhan bagi keluarganya

(Dimuat di Bulletin Gempar Paroki St. Mikael Gombong, Edisi Minggu Panggilan)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: