TUHAN, MAKACIH NEH
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)
Ini adalah sebuah kisah pengalaman perjalanan menuju Wamena (Papua) tahun
2011. Pada waktu itu saya transit di Bandara "Sentani" Jayapura untuk
beberapa saat. Di sana saya membaca sebuah himbauan terpampang di dinding
ruang tunggu yang bertuliskan, "Terima kasih Anda tidak meludah pinang di
tempat ini." Dan di dinding sebelah bertuliskan, "Terima kasih Anda tidak
merokok." Bagi saya tulisan dan ucapan Terima kasih tersebut tidak berarti
apa-apa, karena saya tidak menghisap rokok dan menikmati sirih-pinang.
Namun, barangkali ucapan terima kasih itu amat berati bagi mereka yang
ketagihan merokok dan penikmat sirih-pinang untuk sementara waktu tidak
menikmatinya.
Sebelum boarding menuju pesawat Trigana Air, saya makan papeda, masakan
khas wilayah timur Indonesia dan minum teh tawar panas di sebuah cafetaria.
Setelah itu saya datang ke cashier dan membayarnya. Pramusaji berkata
kepada saya, "Terima kasih ya pak!" Bagi saya ucapan sang pramusaji ini
boleh saya jawab, "Terima kasih kembali nona" atau saya diam saja bahkan
acuh tak acuh pun tidak jadi masalah." Sebagai pembeli saya adalah "raja".
James Gwee pembicara kondang Bussines marketing & Sasles Promotion
mengatakan, "customer is king dan buatlah sang pembeli atau pelanggan itu
merasa nyaman." Ini juga sama sewaktu kita hendak turun dari pesawat.
Beberapa menit sebelum landing, para pramugari berhias dan mematut diri dan
berdiri di depan pintu keluar untuk mengucapkan, "Terima kasih!" Biasanya
para penumpang dengan membawa koper-tas-kardus yang berat-berat itu tidak
akan menjawab ucapan terima kasih yang diucapkan oleh mereka. Sang
pramugari diajak untuk profesional. Meskipun barangkali mereka sedang
bermasalah dengan pacarnya, tetapi harus senyum simpul melayani para
penumpang. Ucapan terima kasih yang dibuat-buat (barangkali).
Panggilan untuk boarding di pesawat sudah berkumandang dan saya cepat-cepat
naik. Penerbangan saya menuju ke Wamena dilalui dengan singkat – lebih
sedikit lama dari Manado ke Ternate – dan orang bilang satu puntung rokok
dihisap habis sampailah pada tujuan. Pada waktu itu cuaca tidak baik,
sehingga kami para "pelanggan" (sebutan untuk Maskapai Merpati Airlines)
atau "penumpang" (sebutan untuk Maskapai Lion Air) merasa ketakutan. Jarak
pandang kami terhalangai oleh kabut yang pekat. Cuaca sungguh mengerikan dan
ada badai. Pramugari secara samar-samar memberi informasi kepada kami,
"turbulent weather". Saya heran, mengapa pramugari tidak memakai bahasa
Indonesia saja, karena pada saat itu tidak ada orang bule, orang asing
maupun londo. Kemungkinan dia panik, sehingga lupa bahasa Indonesia, padahal
setahu saya dia itu orang Flores (entah itu orang Larantuka, Adonara maupun
Bajawa). Doa-doa dipanjatkan dan keringat dingin mulai keluar, ketakutan
begitu mengusai kami para penumpang atau pelanggan. Saya berdoa "Salam
Maria" dan "Bapa Kami" entah sampai berapa kali.
Tetapi untunglah, kami bisa landing dengan selamat. Kami pucat pasi keluar
dari pesawat dan pramugari tidak sempat mengucapkan kata terima kasih. Saya
secara pribadi sengaja ketemu dengan pilot dan mengucap terima kasih, karena
telah selamat. Bagiku ini adalah ucapan terima kasih yang tulus. Ini keluar
dari ungkapan hati yang terdalam. Barangkali ungkapan "terima kasih" ini
bisa dipersandingkan dengan ucapan terima kasih yang disampaikan oleh
seorang pasien yang sakit parah dan kemudian sembuh total. Ia mengucap
terima kasih kepada dokter dengan tulus. Ucapan terima kasih yang sarat
makna.
Di sana saya sudah dijemput oleh sahabat dan tibalah di Hotel Nayak, Jl.
Gatot Subroto no. 63. Sahabat saya berkata, "Sob! (itu artinya
sobat-sahabat-kerabat), sore ini keluarga kami akan mengucap syukur. Sob
yang pimpin ya? Kami sudah siapkan peralatan misa-nya dan pastor paroki
sudah oke!"
Sejenak saya tenggelam dalam "diam". Mengapa tidak mengucap terima kasih
dan mengapa mengucap syukur. Saya baru sadar bahwa mengucap syukur itu
sebuah ungkapan yang tertinggi dan terdalam. Ucapan terima kasih ditujukan
kepada manusia dan ucapan syukur ditujukan kepada Tuhan, pemilik kehidupan.
Maka tidak heranlah jika keluarga tersebut mengucap syukur dengan mengadakan
Ekaristi. Ekaristi sendiri dari bahasa Yunani, eucharist yang berarti
syukur. Kata yang dipakai untuk menyebut seluruh upacara misa, khususnya
bagian kedua (sesudah perayaan Sabda) yang mencapai puncaknya pada
konsekrasi roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dan berakhir
dengan komuni.
Di Minahasa, saya sering mengikuti acara "pengucapan". Di sana
keluarga-keluarga menyiapkan hidangan yang disajikan untuk sahabat-kerabat
yang datang di rumahnya. Keluarga mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat,
rejeki yang melimpah dan tentunya itu juga dibagikan kepada sesama. Mereka
mengucap syukur kepada Tuhan.
Kembali ke Wamena, setelah selesai merayakan Ekaristi atau mengucap syukur,
seorang anak kecil berdoa demikian, "Tuhan, makacih neh, saya akan makan
sagu bakar!" Dalam hati saya berkata , "Lho, koq tidak mengucap syukur
kepada Tuhan, tetapi terima kasih ya." Namun saya maklum karena dia masih
anak-anak. Tetapi tiba-tiba bapaknya berkata kepada saya, "Sob, syukur bisa
datang ke rumah kami, jadi bisa mengucap terima kasih kepada Tuhan." Saya
bingung, "Mana yang benar: Syukur atau terima kasih?" Wallahualam !! (14
Mei 2012).
Markus Marlon msc
Skolastikat MSC,
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9 PINELENG
Jaga IV – Kecamatan Pineleng
MANADO – 95361
Jumat, 29 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar