MENULIS
(Sebuah Percikan Permenungan)
Sebuah tulisan kadang membingungkan – bahkan kalau tidak hati-hati –
bisa menjadi pemicu perselisihan. Seorang calon mertua kaget membaca tulisan
status Facebook dari calon menantu perempuan, "Hatiku gembira saat ini dan
seandainya mertuaku di depanku pun aku pasti tidak mau tahu. Saking
gembiranya!" Seketika itu juga, "camer" (calon mertua) mencak-mencak dan
menginformasikan ke keluarga besarnya bahwa "camen"-nya (calon menantu)
telah berbuat kurang ajar terhadapnya. Sebenarnya apa yang dibuat oleh
"camen" itu adalah sebuah iseng-iseng belaka, namun ternyata tulisan itu
ditanggapi dengan serius. Paradigma tulisan – meminjam istilah dari
Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective Pople – yang
dilontarkan sebagai status dari pihak "camen" tentunya akan membuat si
"camer" kebakaran jenggot.
Menulis sungguh tidak gampang – maaf kepada Arswendo Atmowiloto yang menulis
buku yang berjudul Mengarang itu Gampang – sebab dengan menulis kita
memusatkan segala energi untuk membesut kata demi kata sehingga tulisan
tersebut memiliki makna dan tidak bias. Kees Bertes dalam Moralitas Lentera
Peradaban Dunia, mengisahkan bagaimana ia hidup sebagai pengarang. Tulisnya,
"Mungkin tahap yang paling berat adalah permulaannya, yaitu menghadap kertas
kosong yang perlu diisi. Untuk penulis yang hanya memakai komputer,
keadaanya pasti sama: bagi mereka tahap yang paling sulit adalah menghadap
layar monitor yang kosong. Sering dikatakan, untuk bisa menulis seorang
pengarang membutuhkan inspirasi." Dan lagi, menulis tidak bisa dikerjakan
dalam hingar-bingar keramaian, namun di tempat yang tenang. Menurut Mochtar
Pabottingi, salah satu penerima gelar Lima Cendekiawan Berdedikasi (Kompas,
27 Juni 2012) mengisahkan bahwa tulisan-tulisan yang ia lahirkan itu perlu
perjuangan ketenangan yang mendalam. Ia menunjukkan sebagai suatu askese
intelektual. Untuk mencapai tulisan yang berbobot, ia bermati raga (ascetic)
dengan jalan "tapa ngrame" (bersemadi di tempat yang ramai). Pada
akhirnya, para penulis harus "mengambil jarak" dengan dunia dan ia
berhadapan dengan ide-denya sendiri.
Zaman sekarang ini orang sulit untuk berdiam diri dan mengadakan observasi
intelektual. Budaya instan telah menguasai mentalitas kaum remaja dan
pemuda. Orang tidak betah untuk berlama-lama menekuni (menulis atau membaca)
sebuah artikel ilmiah. Hal ini dikarenakan sejak Sekolah Dasar, mereka sudah
dibiasakan untuk ujian gaya multiple choice dan kurang adanya pelajaran
mengarang. Bahkan akhir-akhir ini, para dosen mengeluh dengan hasil ujian
para mahasiswa yang gaya tulisannya seperti menulis SMS. Mereka tidak bisa
lagi membedakan antara: subyek, predikat, obyek dan keterangan. Menulis
ternyata bukan perkara mudah. Maka tidak mengherankan jika pernah ramai
dibicarakan tentang plagiarism. Untuk membuat skripsi, tesis bahkan
disertasi, mereka berani menjiplak karya orang lain. Para calon sarjana,
master dan dokter enggan untuk menulis dan mengadakan penelitian. Dalam
dunia penulisan di media massa pun ada sebuah istilah ghost writer yang
berarti penulis siluman. L. Wilardjo menulis, "Ibu negara Romania, istri
diktator Caescescu yang kemudian ditembak mati oleh pengadilan rakyat,
bahkan mengupah selusin ghost writer (penulis siluman). Tugas mereka
membikinkan makalah-makalah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah dengan
nama sang ibu negara sebagai penulisnya (Kompas, 23 Juni 2012). Semua ini
hendak menunjukkan bahwa menulis itu tidak gampang.
Dalam buku yang berjudul Wedhatama karya Sri Paduka Mangkunagoro IV (1809 –
1881) – yang ditulis ulang oleh Anand Krishna – memberikan masukan tentang
motivasi orang menulis. Ada orang yang menulis karena profesinya. Kelompok
pertama ini akan selalu mencari sensasi. Ia harus menciptakan sesuatu yang
dapat diterima atau ditolak oleh massa. Kelompok kedua adalah kelompok para
sastrawan. Mereka tidak selalu mementingkan penghasilan yang dapat diraih
dari tulisan-tulisan mereka. Mereka lebih mementingkan kepuasan batin.
Kadang-kadang bahasa mereka sangat pedas dan sangat pahit. Mereka tidak
peduli. Kelompok ketiga adalah mereka yang menulis karena ingin berbagi
rasa. Mereka ingin menyampaikan sesuatu. Menurut Sri Mangkunagoro sendiri,
tulisannya ini diperuntukkan bagi para siwi – para siswa atau shishya.
Shishya berarti "ia yang telah menundukkan kepala". Menundukkan kepala
berarti melepaskah keangkuhan, mengakui ketidaktahuannya dan berkeinginan
untuk belajar.
Dari uraian Sri Mangkunagoro tersebut dapat dipahami bahwa menulis itu
berbagi pengalaman. Orang yang menulis pun hendaknya bersikap terbuka
terhadap dunia luar dan mengakui keunggulan pihak lain. Lao Tze (lahir 604
seb. M) penulis Tao Teh Ching menulis, "Ia yang dirinya terbuka seperti
lembah, ibarat ibu sejati yang melahirkan segala sesuatu dalam alam ini. Ia
tidak akan pernah gagal." Lao Tze berpikir bahwa segala sesuatu yang indah
dalam duni ini berasal dari Jiwa Feminin. Kita boleh berbadan maskulin,
namun apabila kita ingin meninggalkan suatu kenangan yang indah dalam dunia,
kita harus berjiwa wanita. Para penyair dan para penulis semuanya berjiwa
wanita. Seorang wanita itu bisa melahirkan karena dirinya bersikap
reseptif, sehingga mengandung dan pada gilirannya ia melahirkan. Seorang
penulis itu bagaikan lembah yang pikirannya terbuka bagi perkembangan dunia
luar. Tidak seperti gunung yang berdiri kokoh dan "angkuh".
Permenungan ini akan diakhiri dengan sebuah kisah tentang penyair yang
ditulis oleh Kahlil Gibran (1922 – 2008). Seorang penyair menulis sebuah
syair cinta yang indah sekali. Lalu ia memperbanyak syair itu dan
dikirimkannya kepada para kawan, kerabat dan kenalan. Ia juga
mengirimkannya kepada seorang wanita yang tinggal di daeah pegunungan.
Wanita ini pernah ia temui, beberapa tahun yang lalu.
Begitu membaca syair cinta itu, hati wanita pun tersentuh. Ia mengirimkan
dua orang utusan kepada sang penyair, dengan pesan tertulis, "Aku tersentuh
sekali dengan syairmu dengan ungkapan kasihmu, rasa hatimu, Aku siap menjadi
pendampingmu. Datanglah ke sini untuk melamar diriku. Orang tuaku siap
menerimamu."
Sang penyair membalas, "Temanku, yang kutulis ini hanyalah sebuah syair.
Sesuatu yang aku kirimkan kepada sekian banyak kawan, kerabat dan kenalan.
Tidak ada maksud lain di baik itu."
Membaca tulisan sang penyair, wanita itu sedih sekali dan menulis kembali,
"Wahai penyair, kau sang munafik. Tulisanmu lain, maksudmu lain. Sampai
akhir hayat, aku tidak akan pernah meyakini kata-kata seorang penyair lagi"
(04 Juli 2012).
Markus Marlon msc
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361
Rabu, 11 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar