Rabu, 08 Februari 2012

NON-JOB

NON-JOB
(Sebuah Percikan Permenungan)

Tahun 2003, bulan Februari SK bapak Uskup Purwokerto tentang benuming saya
di paroki St. Yohanes Rasul – Kutoarjo berakhir dan saya akan mutasi ke
Merauke. Tidak lama berselang saya pun berangkat ke Merauke. Tetapi
ternyata SK dari Mgr. J. Duivenvoorde MSC ( wafat tahun 2011) belum juga
muncul dan saya harus menunggu SK itu kira-kira hampir satu bulan. Selama
satu bulan, saya tidak tahu mau buat apa. Padahal, waktu berkarya di
Keuskupan Purwokerto, selama tujuh tahun saya sudah biasa berpastoral: siap
khotbah, kunjungan umat, rapat-rapat, memberikan kursus-kursus dan kegiatan
lainnya, kini semuanya sudah berlalu. Kemudian dalam hati saya berkata,
"Apakah ini yang dinamakan dengan post power syndrom dini?" Saya juga tidak
tahu.

Sebelum ada SK yang baru, saya di Biara MSC Merauke hanya makan, tidur –
bangun dan tidur lagi, seperti yang dilantunkan oleh Mbah Surip (1949 –
2009). Bahkan ketika makan bersama di refectorium, nasi dan sagu tidak bisa
tertelan, karena saya ingat kata-kata Paulus, "Seorang yang tidak mau
bekerja, janganlah ia makan" (2 Tes 3: 10). Dalam perasaanku, setiap
pandangan mata dari teman-temanku berkata kepadaku, "Marlon, si non-job!"
Kemudian saya termenung dan tercenung, "Barangkali seperti ini rasanya
mendapat julukan non-job. Sedih dan malu serta merasa meaningless
bercampur-aduk menjadi satu.
Orang merasa malu kalau tidak bekerja, karena akan mendapat julukan yang
tidak enak didengar: pengangguran. Oleh karena itu, job adalah
segala-galanya dan jika tidak memiliki pekerjaan atau non-job, dirinya
merasa diri tidak berharga.

Dalam setiap program, kita kenal dengan yang namanya job-discription
(gambaran tugas). Orang yang memegang suatu pekerjaan harus melakukan
tugas-pekerjaannya sesuai dengan gambaran yang telah digariskan. Jika dalam
pelaksanaan tugas tersebut menyimpang, maka akan ditegur oleh pimpinannya.
Selama menjalankan tugas, dirinya akan berjumpa dengan masalah dan evaluasi.
Imbalan dari menjalankan tugas adalah honor atau gaji. Dalam melakukan
tugasnya, orang yang mendapatkan job tersebut dikendalikan oleh orang lain.
Ia menjalankan skenario orang lain. Edith Hamilton dalam Mitologi Yunani,
muncul dalam tokoh yang bernama Sisiphus. Ia dihukum oleh raja dan hukumanya
itu adalah membawa batu naik ke atas bukit. Setelah batu itu sampai di atas
bukit oleh raja di-gelinding-kan lagi dan Sisiphus bekerja lagi untuk
membawanya ke atas. Ini dilakukan berkali-kali sampai tidak tahu, kapan
berakhir. Tentu saja pekerjaan rutinitas itu sangat membosankan. Dewa
Atlas juga mendapat tugas yang sangat berat yakni memanggul bumi di bahunya.
Pekerjaan yang sangat membosankan, karena tidak ada variasi dalam hidupnya.
Ia melakukan pekerjaan dengan skenario orang lain. Erich Fromm (1900 –
1980) dalam To have or To Be, mengingatkan kepada kita bahwa pekerjaan yang
kita miliki (having) seharusnya membuat diri kita berkembang, menjadi
(being), pribadi yang lebih bahagia.
Menyaksikan film dokumentar yang berjudul Auschwitz, di sana ada slogan di
gerbang monumen kamp konsetrasi Nazi Auschwitz , "Arbeit macht Frei" yang
berarti: Kerja akan membuatmu bebas. Dalam Kamp Pembantian tersebut (1940 –
1945), para tawanan dipaksa untuk bekerja. Ada kisah yang menarik berkenaan
dengan tugas pekerjaan yang dilakukan oleh para tawanan. Ada seorang bapak
yang diminta untuk memindahkan batu-batu di se berang jalan. Setelah sekian
lama, batu-batu itu sudah dipindahkan. Bapak itu pun merasa puas dan
bahagia. Tetapi tidak lama kemudian, bapak itu disuruh mengembalikan
batu-batu tersebut ke tempat semula. Bapak ini akhirnya bunuh diri, karena
apa yang dikerjakan itu tidak memiliki tujuan.

Kalau melaksanakan pekerjaan atau job itu skenarionya orang lain, maka
karier itu skenarionya adalah diri sendiri. Arvan Pradiansyah dalam The 7
Law of Happiness, menulis bahwa orang yang berani meninggalkan job-nya dan
membuka usaha sendiri adalah orang yang menjalankan kariernya, ia menemukan
satisfaction. Ia telah menemukan "jalur-nya" menurut Romo St. Sumpono MSC,
animator PRH. Pria atau wanita karier itu hidupnya terfokus pada apa yang
sedang dikerjakan. Maka tidak mengherankan kalau ada wanita tidak mau
menikah demi karier. Dalam dirinya ada hasrat dan semangat serta tujuannya
adalah kesuksesan. Pria atau wanita karier membutuhkan suatu pengakuan dari
pihak luar. Keahlian dan penguasaan bidang tersebut diakui (professio:
pernyataan di hadapan umum), sehingga dianggap professional. Ia ahli dalam
bidangnya.

Kalau karier, skenarionya diri sendiri, lantas saya bertanya,"Bagaimana
dengan orang yang berkerja tetapi karena panggilan jiwa? Ia bekerja semangat
karena merasa bahwa dirinya ada paggilan, calling atau vocation?" René
Suhardono dalam Your job is not your carier, menulis bahwa orang yang
mengerjakan dengan penuh semangat dan tidak pernah lelah, dirinya telah
menemukan passion. Ia bekerja karena ada dorongan yang terdalam dari
hatinya. Kong Fu Tzu (551 – 479) pernah berkata bahwa orang yang mencintai
pekerjaannya, seolah-olah tidak pernah bekerja. Yansen Sinamo dalam Morning
Ethos pada Radio Smart FM (3/2/2012) mengatakan bahwa hidup kita di dunia
ini diarahkan untuk kebaikan, seperti dalam kisah "Tukaram, seorang
Brahmin di India". Pekerjaan kita di dunia ini mempunyai tujuan, yaitu
kepenuhan hidup. Orang yang "terpanggil" itu pekerjaannya merupakan
pelayanan, pengabdian yang tanpa pamrih, amanah. Dengan demikian, motivasi
yang terdalam bukanlah: gaji dan pujian serta penghargaan, melainkan rasa
syukur boleh melayani, seperti yang dikatakan Paulus, "Upahku ialah ini
bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah" (1 Kor 9: 17).

Orang yang sudah terpikat dan terpesona kepada Allah ada rasa bahagia yang
tidak terkatakan. Maka, tidak mengherankan jika ada orang-orang yang rela
meninggalkan kemapanan hidup demi tugas pelayanan dengan tanpa upah
sedikitpun. Ia mengalami kebahagiaan. Ada rasa anthusias. Kata anthusias
berasal dari bahasa Yunani: En= dalam Theos = Tuhan. Orang yang hidup dalam
pelayanan akan senantiasa bahagia, Gaudete in Domino semper, yang artinya:
Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! (Flp 4: 4).

Saya adalah pribadi yang kalau bekerja tidak anthusias dan penuh
perhitungan. Bahkan kadang-kadang, rugi waktu kalau harus menolong orang.
Yang kupikirkan bahwa pekerjaanku itu harus ada imbalannya. Tetapi ada puisi
yang dimasukkan kamar kerjaku lewat bawah pintu. Puisi ini yang sedikit
mengubahkanku, hanya sedikit saja. Ini isi puisi tersebut:
Marlon, pentingkan dulu pelayananmu
Bila kita melakukannya selama ada waktu luang. Itulah Pekerjaan.
Bila kita melakukannya meskipun mengganggu aktivitas kita. Itulah
Pelayanan
Bila kita berhenti karena tidak ada yang berterima kasih kepada
kita. Itulah Pekerjaan.
Bila kita terus bekerja walaupun tidak pernah dikenal siapapun.
Itulah Pelayanan
Bila kita melakukannya untuk diri sendiri. Itulah Pekerjaan
Bila kita melakukannya untuk Tuhan. Itulah Pelayanan
Bila kita melakukannya demi kehormatan diri. Itulah pekerjaan.
Bila kita melakukannya demi kemuliaan Tuhan. Itulah Pelayanan
Bila kita merasa telah banyak berkorban dan layak mendapatkan
upah. Itulah Pekerjaan.
Bila kita terus merasa belum cukup melakukan apa-apa dan terus
ingin melakukan lebih. Itulah Pelayanan.

Setelah membaca puisi tersebut, saya berkata dalam hati, "Capek
dech!!"

Skolastikat MSC, 06 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: