(Sebuah Percikan Permenungan)
Kata sumpêk barangkali belum familiar dengan bahasa harian kita. Kata
"Sumpêk" yang dimaksud di sini bukan tokoh dalam kisah China klasik yang
berjudul San Pek-Eng Tay tulisan Okt (terbitan Yayasan Obor Indonesia).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (cet. ke-3 tahun 1990), kata sumpêk ini
memiliki beberapa arti: resah, risau, sesak, merasa tidak enak dan pengap.
Ada orang yang merasa sumpêk karena memiliki beban pikiran dan hanya bisa
plong jika curhat kepada orang lain. Ada orang yang sumpek tinggal di
perumahan kumuh yang padat penduduknya, sehingga tidak bisa leluasa
bergerak. Juga ada orang yang merasa sumpek jika melihat tumpukan pakaian
kotor di ruang tamu. Dia ingin lari dari kesumpekan tersebut. Sumpêk juga
bisa diartikan sebagai tempat yang pengap. Orang yang tinggal di kamar
kosnya yang sempit dan tidak berjendela. Dan masih banyak lagi
pengalaman-pengalaman pahit tentang sumpêk ini. Tentu saja pengalaman
sumpêk ini masing-masing kita pernah mengalaminya.
Novel berjudul Pompii yang ditulis oleh Robbert Harris, penulis
nggris – lahir tahun 1957 di Nottingham ini menggambarkan situasi sumpek
yang luar biasa. Novel ini juga telah diangkat dalam layar lebar.
Meletusnya gunung Vesuvius pada tahun 79 membuat udara kota Pompii panas
dan orang-orang pun tersiram lahar panas dan tewas dalam sekejap. Dalam
novel tersebut dilukiskan bagaimana kematian yang belum siap menimpa
penduduk Pompii. Ada yang sedang memasak, ada yang sedang beraktivitas, ada
yang sedang berlutut. Suatu pemandangan yang mengerikan. Kita bisa
membayangkan, betapa panasnya udara pada saat itu. Kota besar itu pun
bagaikan bilik yang sempit karena debu bercampur deru suara gunung yang
menyembur-nyemburkan lahar panas. Orang-orang kaya yang terperangkap dalam
rumah mewahnya pun diwarnai rasa sumpêk yang mendalam. Dalam rumah tidak ada
udara, lilin-lilin pun mati, sehingga yang muncul hanyalah bisik-bisik doa
yang ditujukan kepada patung Jupiter, king of the kings dan Vulcanus,
penguasa Gunung Api.
Pada zaman kita ini, dengan adanya anomali cuaca dan global warming
effect, udara di sekitar kita semakin panas, bahkan panas membara. Belum
lagi ketika kita mengendarai mobil dan menyaksikan bertaburan baliho dan
spanduk serta poster yang menyuguhkan tampang para tokoh yang siap bertarung
dalam ajang pemilu atau pilkada. Jalan-jalan pun menjadi sumpêk rasanya.
Inilah yang oleh Eko Budihardjo dipandang sebagai polusi visual (Kompas, 21
Januari 2012). Belum lagi hiruk-pikuk para komentar di media elektronik
(infotainment maupun berita-berita di Televisi) yang banyak memberi
kesaksian sana-sini berkenaan dengan Nazaruddin dan Angelina. Semua ingin
berbicara. Mereka lupa dengan sebuah ungkapan dari pepatah Latin, "qui
nimium probat, nihil probat" yang artinya: yang memberi kesaksikan terlalu
berlebihan, sesungguhnya dia itu tidak memberi kesaksian apa-apa.
Komentar-komentar para politisi itu membuat pikiran menjadi sumpêk. Kita
hendak jalan-jalan sore menikmati alam kota dan mau ngadhem di ruang publik,
tetapi ternyata udara panas. Udara menjadi sumpêk, akhirnya kita jalan-jalan
ke mall untuk ngadhem. Tidak beli apa-apa, hanya sekedar window shopping.
Inilah trend hidup zaman modern. Banyak orang yang menghilangkan rasa
sumpêk-nya dengan pergi ke mall-mall.
Ada seseorang yang merasa tidak at home di rumahnya sendiri, padahal
rumahnya bagus, indah dan megah. Kemudian saya bertanya kepada ibu itu.
Katanya, "Aduh saya sangat sumpêk di rumah. Setiap pulang dari kantor suami
pulang dan langsung lihat TV sambil merokok sehingga baunya ampek. Kemudian,
saya melihat ada pakaian kotor yang belum dicuri. Tiba-tiba, anak-anak
datang hanya sibuk dengan FB-nya tidak mau membersihkan tempat tidur.
Sementara mau seterika listrik mati. Belum lagi, anak saya yang bungsu
bertengkar rebutan mainan. Hiiiiiih sumpêk sekali dan kepala rasanya mau
pecah." Memang benar bahwa rasa sumpêk itu perlu dihadapi dengan arif dan
bijaksana dan salah satunya adalah refreshing. Refreshing bisa membuat
pikiran segar kembali dan untuk sementara waktu boleh menjadi obat rasa
sumpêk. Tatkala berjalan-jalan di Venesia - Italia, saya melihat banyak
orang duduk-duduk di kafetaria sembari minum kopi maupun ngobrol.
Barangkali ini merupakan pemandangan yang lazim (Bdk. film berjudul The
Tourist yang dibintangi Angelina Jolie dan Johnny Depp). Suasana hati yang
relax sambil memandang dari kejauhan Gondola yang lalu-lalang membuat hati
cerah dan rasa sumpêk pun hilang. Atau ketika saya berkaraoke di "Happy
Puppy – Karaoke Keluarga" yang terletak Jl. Kapt. Tendean – Manado,
beberapa datang memang untuk melepaskan "beban" hidupnya yakni
kesumpekannya. Mereka bernyanyi keras-keras – biarpun kadang fals – namun
setelah keluar dari studio, dapat dilihat wajah-wajah yang ceria. Rasa
sumpêk pun hilanglah. Mark Twain (1835 – 1910) dalam Prince and Pauper
menceriterakan seorang pangeran yang "merasa iri" terhadap anak
gelandangan. Sang pangeran membayangkan betapa bahagianya hidup dan tinggal
di alam bebas. Tidak ada aturan protokoler atau resmi yang membosankan,
kaku dan ini membuatnya sumpek. Tinggal di istana ternyata tidak selamanya
menemukan enjoy (Bdk. Kisah Sidharta Budha Gautama ). Kebetulan sang
pangeran berwajah mirip dengan gelandangan tersebut, sehingga ia bertukar
peran. Pangeran menjadi pengemis dan sebaliknya. Sang pangeran untuk
sementara waktu bisa merasakan kebebasan tinggal di daerah kumuh dan bisa
merasakan kebahagiaan.
Rasa sumpêk juga bisa kita alami di kantor tempat kita bekerja. Setengah
hidup kita berada di tempat kerja. Kalau kita sering merasa sumpêk dengan
"kantor" kita itu, maka betapa menderitanya kita ini. Belum lama ini,
tatkala saya makan siang di Restoran "Sop Rusuk Babi" di Boulevard –
Manado, ada seorang karyawan yang berbicara kerasa-keras tentang
ke-sumpêk-an kerjanya di kantor. Ia mulai bercerita dengan teman kantornya
di meja makan no. 3, "Aduh sumpêk sekali deh bekerja dengan bos yang
otoriter dan mau menangnya sendiri, suasana kantor yang kurang adil, ruang
kerja yang penuh dengan arsip-arsip yang tidak teratur serta teman kerja
yang tidak bersahabat." Pasti bekerja di kantor tidak bahagia, sehingga
dirinya terkena penyakit Monday syndrome , ketakutan menghadapi hari Senin.
Orang ini paling sedih jika harus bekerja dan berjumpa dengan orang-orang
dan pekerjaanya setiap hari baru.
Untuk menyikapi situasi tersebut, baiklah jika karyawan tersebut mengambil
waktu cuti untuk refreshing sejenak. Dengan menghirup udara yang segar di
tempat lain, tentunya nantinya ketika kembali akan menjadi lain. Tidak akan
merasa sumpêk lagi.
Sekarang bagaimana dengan ke-sumpêk-an yang terjadi dalam batin orang. Ada
kalanya kita tidak ada semangat sama sekali dalam mengerjakan sesuatu atau
bad mood. Suasana batin seperti itu, kita menjadi sensitif. Kita menjadi
sumpêk dengan diri sendiri. Namun ada orang yang melarikan diri supaya bisa
"melupakan" rasa sumpek tersebut. Whitney Houston (1963 - 2012) dalam
wawancara dengan Oprah Winfrey di Metro TV 12 Februari 2012 mengatakan bahwa
dengan kokain dan marijuana dirinya merasa tenang dan damai. Tetapi setelah
menggunakan obat itu, ke-sumpêk-an dihadapi lagi dan ingin lagi menggunakan
obat tersebut. Seperti minum air laut. Semakin minum air laut, semakin
hauslah dirinya.
Skolastikat MSC, 27 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon, KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar