Rabu, 15 Februari 2012

MISKIN

MISKIN*
(Sebuah Percikan Permenungan)

Akhir dari kisah klasik, "The Story of The Other Wise Man" itu melukiskan
perjumpaan antara Yesus dengan Artaban. Artaban menyesal, karena dirinya
tidak bisa mempersembahkan hadiah bagi sang Raja. Artaban adalah seorang
raja yang tertinggal atau "sengaja ditinggal" oleh ketiga raja yang
mengunjungi bayi Yesus, yakni: Melkhior, Balthasar dan Kaspar. Namun dengan
tegas, Yesus bersabda, "Yang kau perbuat bagi saudara-Ku yang paling hina,
telah kau buat bagi-Ku" (Mat. 25: 40 – 45).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), orang miskin diartikan sebagai
orang yang tidak berharta benda serta serba kekurangan (berpenghasilan
sangat rendah). Kemudian muncul lagi kata miskin absulut yaitu situasi
penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian
dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan
yang minimum. Kalimat ini hendak mengatakan bahwa de facto setiap hari kita
menemukan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita.

Dalam sejarah peradaban manusia, orang miskin sering menjadi perbincangan
yang menarik. Perbudakan yang terjadi pada zaman dahulu, seperti di Mesir,
China dan Romawi Kuno – mungkin di seantero dunia ini – hendak
memperlihatkan bahwa orang miksin itu tidak memiliki hak atas diri mereka
sendiri. Mangunwijaya dalam Tumbal menunjukkan kepada kita bahwa orang
miskin senantiasa menjadi korban. Mereka merupakan korban politik dan
korban ekonomi dan tentunya hidupnya tidak lepas dari penderitaan. Pada
zaman ini, orang-orang miskin semakin terpuruk ketika kita menyaksikan
sendiri "drama" para pejabat tinggi serta anggota Dewan yang Terhormat
mengorupsi dana yang seharusnya menjadi bagian para kaum papa. Sejak zaman
dahulu hingga hari ini, menjadi orang miskin memang tidak enak. Publius
Ovidius Naso (20 seb.M – 17 M) pernah berujar, "Pauper ubique iacet" yang
berarti: di mana-mana, orang miskin itu tidak dihargai.

Kita mengenal, ada orang miskin kemudian malah dipermiskin. Peribahasa yang
berbunyi, "Sudah jatuh tertimpa tangga lagi" mungkin tepat untuk melukiskan
situasi orang yang menderita seperti ini. Dalam dunia pewayangan, kita
mengenal dengan istilah kaum Nisada. Ini merupakan julukan dari mereka yang
diperbodoh dan ditindas serta dipermiskin. Dalam kisah Mahabaratha, kaum
Nisada adalah kaum papa yang mengorbankan diri demi kemuliaan Pandawa.
Maraknya musim kampanye dengan iming-iming yang menjanjikan kesejahteraan
rakyat akhirnya hanya merupakan isapan jempol belaka. Setelah "suara" mereka
berhasil memenangkan sang kandidat, tidak lama kemudian, janji itu pun
dilupakan. Rakyat tetap miskin, menjadi tumbal politik.

Kita juga mengenal, ada orang kaya, tetapi "batinnya miskin". Mereka
memiliki semua yang telah diimpikan. Bahkan dia merasa bahwa dunia sudah
bisa ia genggam, namun hatinya terasa kosong dan kesepian. Mereka juga bisa
kita golongkan sebagai "orang miskin". Dalam Kitab Suci, orang-orang miskin
sering disebut-sebut sebagai oang yang berbahagia, "Berbahagialah orang yang
miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Surga" (Mat.
5 – 7). Ungkapan ini adalah kalimat pembukaan dari "Sabda Bahagia" dari
khotbah Yesus di sebuah bukit di wilayah Galilea. Mahatma Gandhi (1869 –
1948) menyebutkan bahwa dia sangat sepaham dengan isi khotbah tersebut.
Bunda Maria dengan magnificat-nya berdoa, "Jiwaku memuliakan Tuhan dan
hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan
kerendahan hamba-Nya." (Luk. 1: 46 – 47). Meskipun hidup dalam kekurangan,
namun ada kegembiraan dan rasa syukur.

Eddy Kristiyanto OFM dalam Sahabat-Sahabat Tuhan, melukiskan banyak
kongregasi dan ordo didirikan karena keprihatinan terhadap kaum miskin.
Mereka hidup miskin menurut Injil untuk "mengikuti jejak Kristus".
Kisah-kisah hidup secara miskin itu telah ditulis oleh Thomas á Kempis
(1382 – 1471) dalam buku yang berjudul Imitatio Christi. Fransiskus Asisi
(1182 – 1226) meninggalkan harta kekayaan ayahnya karena dipanggil oleh
Kristus, "Ayo, pulihkanlah rumah-Ku!" Bersama dengan teman-teman yang
tertarik oleh semangat radikal yang berdasarkan Injil itu, Fransiskus
memulai hidup bersama secara miskin. Semangat kemiskinannya itu terus
mendorong murid-muridnya untuk hidup benar-benar miskin dengan rela.

Pada abad XX, Teresa dari Calcutta (1910 – 1997) adalah model pribadi yang
begitu dekat dengan kaum miskin. Pada tahun 1948, ia mendirikan "Kongregasi
Misionaris Cintakasih" dan mengorganisir sebuah tempat khusus bagi orang
yang sekarat dan supaya mereka bisa meninggal secara wajar dan ditemani dan
sekolah serta klinik untuk kaum papa. Sebuah perkampungan penderita kusta
dibangun; orang buta, orang timpang dan lumpuh, orang jompo dan orang
terlantar yang menghadapi ajal semuanya perlu dirawat. (Ensiklopedi Gereja
jilil 8). "Tuhan mengutus aku untuk mewartakan kabar gembira bagi kaum
miskin" (Luk 4: 18) atau "Evangelizare paupuperibus misit me" adalah motto
para biarawan Congregasio Missionis (CM) yang dirikan oleh Vincent de Paul
(1576 – 1660) dari Prancis. Motto ini dipakai karena pada awal pendiriannya,
serikat Katolik ini bekerja membantu kelangan petani miskin di pedesaan dan
para tahanan yang diperkerjakan pada kapal-kapal dagang di
pelabuhan-pelabuhan Prancis selatan. Dari kutipan tersebut, sabda Yesus ini
hendak mengajak kita untuk merenungkan betapa tinggi nilai marbatat manusia.

Banyak anggota umat Kristen Perdana di Yerusalem menjual seluruh milik
mereka dan membagikannya kepad arang-orang miskin. Semangat kemiskinan dan
solidaritas umat itu sangat mengesankan (Kis 4: 32). "Akan tetapi, sesudah
beberapa tahun, umat itu begitu melarat, sehingga jemaat-jemaat di Asia
Kecil dan Yunani yang didirikan oleh Paulus, diminta mengumpulkan derma (Kis
11: 29; I Kor 16: 1 – 4; Gal 2: 10). Solidaritas antarumat itu hingga kini
masih bisa kita saksikan dalam kegiatan pastoral. Tidak jarang kita melihat
sekelompok umat yang sedang mengunjungi orang yang sedang sakit. Orang yang
sakit dilukiskan sebagai "pribadi yang miskin" maka perlu mereka dikunjungi
dan diperhatikan serta dikuatkan. Kita pun sering menyaksikan ada
kelompok-kelimpok kategorial tertentu yang dengan penuh kasih serta sukarela
memberikan sebagian dari hasilnya untuk didermakan bagi orang miskin.
Berbagi rejeki kepada orang-orang yang membutuhkan sungguh merupakan
perintah injili yang luhur.

Di setiap paroki ada bantuan ekonomi bagi kaum papa (sandang, pangan dan
papan) yang dikelola oleh Komisi atau Tim Kerja Pengembangan Sosial Ekonomi
(PSE). Komisi ini berusaha agar orang yang hidupnya dalam tataran ekonomi
lemah "diberi pancing" supaya bisa menghidupi dirinya sendiri.
Pelatihan-pelatihan, Credit Union (CU) dan kegiatan-kegiatan yang dapat
memberdayakan diri mereka sendiri. Bantuan yang diberikan kepada kaum papa
dimaksudkan bukan untuk diberi dan diberi terus-menerus, melainkan supaya
membuat diri mereka mandiri (berdiri di atas kaki mereka sendiri). Quintus
Horatius Flaccus (65 – 8 M) pernah berkata, "Pauper enim non est, cui rerum
suppetit usus," yang berarti: orang yang dapat mengelola urusan dirinya
sendiri bukanlah orang miskin.

(Pernah dipublikasikan pada Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan –
Januari 2012).

Skolastikat, 13 Februari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: