Jumat, 15 Januari 2010

Saat Nurani Publik Terlukai

Saat Nurani Publik Terlukai

Sabtu, 7 November 2009 | 05.33 WIB

Oleh Gede Prama

Pada tahun 1920-an, peneliti Belanda datang ke Bali dan menemukan, dalam
kamus hidup orang Bali saat itu, tidak dikenal istilah kesenian sebagai
pertunjukan komersial.

Semua gerak kehidupan (bertani, mengukir, menari) dilakukan sebagai
rangkaian persembahan. Maka, salah satu arti Bali adalah persembahan.

Tidak ada yang sempurna di bawah langit kendati Bali pernah digoda bom
teroris. Amat terasa penderitaan setelah itu. Namun, Bali tidak saja
bangkit, bahkan kemudian dinobatkan sebagai pulau tujuan wisata terbaik
dunia oleh media global.

Bila boleh jujur, ada roh yang bersemayam di balik karisma Bali yang kerap
disebut surga terakhir oleh masyarakat internasional. Roh itu tumbuh ribuan
tahun sebagai percampuran agama dan seni. Perpaduan keduanya lalu
dipersembahkan sebagai rangkaian pelayanan.

Bali menjadi sumber inspirasi Indonesia yang masih menyimpan banyak lubang
pelayanan, terlebih saat nurani publik terlukai skandal korupsi. Bila Bali
bisa berkarisma dengan pelayanan sebagai penggabungan agama dengan seni,
mengapa Indonesia tidak bisa? Dalam agama dan seni, Indonesia kaya nilai
yang menjunjung tinggi pelayanan.

Pelayanan

Dulu, hanya pedagang yang tekun mencari keberuntungan. Kini, ia merambah ke
mana-mana. Rumah, tempat kerja, taman, semua ditata sehingga keberuntungan
datang dari segala penjuru. Dan ukuran keberuntungan, apalagi kalau bukan
kekayaan. Ini layak dihormati. Masyarakat Barat sudah berjalan jauh di
depan dalam hal kekayaan.

Namun, kemajuan ala Barat ini memakan biaya mahal. Baru di zaman ini
terjadi banyak rumah sakit jiwa penuh, sebagian pasien yang belum
sepenuhnya sembuh terpaksa dipulangkan karena ada pasien baru yang lebih
parah dan lebih membutuhkan. Lembaga pemasyarakatan kehabisan ruang untuk
menampung narapidana, sebagian remisi terpaksa diberikan karena ruang yang
ada sudah tidak manusiawi. Angka perceraian naik tajam. Keadaban manusia
tidak mampu mengerem perang dan terorisme. Seorang guru dari Timur pernah
menginap di salah satu rumah orang superkaya di Amerika Serikat. Rumahnya
supermewah, tetapi yang mengejutkan, di kamar mandi tersedia banyak pil
tidur.

Contoh termutakhir di negeri ini adalah dibukanya rekaman percakapan
sejumlah pihak yang mau membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlihat,
bagaimana nafsu berlebihan akan kekayaan bahkan bisa menghancurkan seluruh
tatanan hukum sebuah negara. Dalam totalitas, tidak ada yang melarang
mengejar kekayaan. Namun, karena demikian besarnya ongkos nafsu berlebihan
akan kekayaan, mungkin layak merenung ulang pengertian keberuntungan.

Tetua di Timur telah lama mengenal kearifan tentang kucing yang mengejar
ekornya. Semakin dikejar semakin lari. Saat tidak dikejar, ia berhenti.
Dalam bahasa Franz Kafka: makna kehidupan baru terbuka ketika manusia
belajar berhenti.

Anehnya, saat berhenti bukan kehilangan makna, malah menemukan. Ini yang
bisa menjelaskan mengapa ada guru meditasi menyarankan, kehidupan serupa
air di gelas. Setenang apa pun tangannya, bila air di gelas dicoba
ditenangkan dengan cara memegangnya, ia tetap bergerak, maka letakkan saja.

Saran meletakkan tentu bukan berarti semua harus meninggalkan kota untuk
pergi ke hutan, atau semua orang duniawi harus meninggalkan keseharian
untuk bermeditasi. Sekali lagi bukan. Meletakkan keinginan berlebihan,
bahwa hidup harus sesuai tuntutan ideal, untuk kemudian mendalami ternyata
keberuntungan, tidak saja ada dalam tujuan-tujuan ideal, tetapi juga dalam
tiap langkah pelayanan. Pertumbuhan tidak saja memerlukan kehebatan hasil,
juga merindukan kelembutan proses.

Siapa pun yang diberi berkah spiritual untuk bisa melihat Nusantara,
lebih-lebih di putaran waktu saat negeri ini akan runtuh oleh skandal
korupsi, akan menitikkan air mata saat mengetahui bahwa Mohammad Hatta,
salah satu proklamator, ternyata mengisi hidupnya di jalan pelayanan. Di
sebuah Jumat, istrinya mengatakan kalau tabungan baru cukup untuk membeli
mesin jahit. Dan karena kesibukan, akan ke toko hari Senin. Pak Hatta tahu
kalau Senin berikutnya tabungan itu tidak akan cukup karena beliau sendiri
yang akan mengumumkan kebijakan pemotongan uang pada hari Senin. Namun,
karena meletakkan kepentingan publik di kepala, kepentingan pribadi di
kaki, Pak Hatta diam seribu bahasa. Serupa dengan Mahatma Gandhi dan Bunda
Theresa, mereka mengisi hidup dengan pelayanan, semakin lama bukannya
semakin redup, malah semakin bercahaya.

Becermin dari sini, seorang guru menulis, dalam kehidupan para bijaksana,
sukacita datang dari ketulusan untuk terus memberi. Persis seperti burung
putih di salju. Menyediakan tangan bantuan tetapi tidak kelihatan.

Dalam perspektif ini, bisa dimengerti bila salah seorang penekun meditasi
di Barat setelah mengalami pencerahan kemudian bukannya mengenakan baju
suci, tetapi menjadi sopir taksi. Inilah keberuntungan sejati: tercerahkan,
melakukan tugas pelayanan dan tidak kelihatan.

Mungkin itu sebabnya di negara maju pekerja birokrasi tidak disebut pegawai
negeri, tetapi pelayan publik. Melayani, itu dan hanya itu alasan birokrasi
dan profesi dibentuk. Melayani, itu dan hanya itu tugas manusia yang
tercerahkan. Dan tugas pelayanan menjadi menggetarkan bila ada yang bisa
membaca pesan suci di balik kisah burung putih di salju.

Andaikan banyak pemimpin, pendidik, penyembuh, praktisi hukum negeri ini
yang tergetar hatinya dengan kisah burung putih di salju, terterangi
batinnya oleh roh pelayanan Pulau Bali, tidak terhitung banyaknya
kemiskinan yang bisa diusir dari Nusantara. Tidak terhitung banyaknya bunuh
diri, depresi, kriminalitas, perceraian, dan penyakit sosial lain yang bisa
dihindarkan. Sekaligus berhenti menyebarkan virus negatif yang membuat alam
terus menggoda dengan bencana.

Dan yang paling penting, hanya dengan melayani kejujuran, maka luka publik
mungkin terobati.

Gede Prama Penulis Buku Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan: Mengolah
Bencana Menjadi Vitaminnya Jiwa

Tidak ada komentar: