Kamis, 21 Januari 2010

Kekerasan Struktural

Kekerasan Struktural

oleh JE Sahetapy (ketua Komisi Hukum Nasional)

Geen geweld is fnuikender dan het gerechtvaardig geweld. –
- Herman Bianchi -

Dari semua teori kekerasan, teori' "kekerasan struktural" dari Johann Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Dalam pengulasan dan penganalisaan lebih lanjut, saya sampai pada kesimpulan bahwa teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan "sobural". Dengan "sobural" saya maksudkan suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).

Dengan "kekerasan struktural" dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila anda berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas. 

Teori "kekerasan struktural" jika diimplementasikan secara empirik realistik, telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde Baru) melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur Jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibanding dengan Ken Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda. (Baca buku Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Hasta Mitra, Jakarta, 2002).

Untuk contoh-contoh kekerasan struktural saya akan kutip dari tulisan Asvi Warman Adam dari Kompas 04 Desember 2000:

"…Dalam periode itu (1945-1999) terjadi beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat Dalam sejarah Indonesia seperti : (a) ekses Demokrasi Terpimpin (antara lain penahanan tokoh Masyumi/PSI tanpa diadili); (b) pembantaian 1965/1966; (c) penahanan politik di kamp Pulau Buru (1969-1979); (d) kasus Timor Timur; (e) kasus Aceh; (f) kasus Irian Jaya; (g) Petrus (Penembakan Misterius); (h) kasus Tanjung Priok 1984; (1) 27 Juli 1996; (j) seputar kerusuhan Mei 1998. Dari sepuluh kategori itu, hanya satu kasus pada era Orde Lama. Sembilan kasus terjadi pada era Orde Baru..."

Di samping itu konflik di Ambon dan Lease (Maluku Tengah), di Halmahera (Maluku Utara), di Poso (Sulawesi Tengah), di Kalimantan Barat dan Tengah, serta pembakaran Gereja-Gereja di Situbondo (Jawa Timur) dan di berbagai daerah di Jawa, di Lampung, di Lombok, di Aceh, dan yang terakhir tindakan teroris di Denpasar (Bali), adalah peristiwa-peristiwa yang tampaknya seperti tidak berkaitan, tetapi sesungguhnya berasal dari sumber kekerasan struktural.

Bayangkan, selama lebih kurang dua tahun, ada 2 Panglima tertinggi di Indonesia yaitu Panglima TNI dan Panglima Laskar Jihad. Sangat sulit mengatasi Laskar Jihad ini. Tetapi begitu bom teroris secara biadab meletus di Denpasar dengan korban yang begitu banyak, tiba-tiba Laskar Jihad membubarkan diri. Reaksi Panglima TNI sudah sangat terlambat bertalian dengan masalah Panglima para-militer ini. Orang bertanya mengapa begitu terlambat : mengapa dan mengapa!

Pada dasarnya hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki dan mempraktekkan "kekerasan struktural" melalui subkultur (kekerasan) masing-masing. Jadi manusia dengan pemilikan kekuasaan tak terbatas dan tak seimbang akan selalu cenderung melakukan kekerasan struktural. Dalam konteks yang demikian, melihat nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat tertentu, teori kekerasan struktural adalah setali tiga uang dengan teori kekerasan "sobural". (Baca tulisan-tulisan J.E. Sahetapy bertalian dengan masalah "sobural" ini). Dengan melakukan stigmatisasi dan kekuasaan yang tanpa check and balances, maka kekerasan struktural akan berkembang tanpa hambatan melanggar HAM, kecuali bila dihambat oleh rule of law, demokratisasi dalam suatu civil society. Di waktu yang lalu, selain tidak ada demokrasi kecuali demo-crazy, rule by law and rule above the law, stigmatisasi PKI, maka merajalela Soeharto sebagai Ken Arok dan para Kebo-Ijo dibantai sekehendak hati.

Kekerasan struktural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan struktural terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan (perbuatan) fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian. 

Perbuatan kekerasan apalagi yang struktural tidak harus selalu dengan menggunakan secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang non-fisik, yang psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib / berkuasa secara psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Kadafi. (Untuk yang naratif lihat Turpin dan Kurtz, 1997 : 91). 

Bahkan, secara logika mungkin sulit diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut yargon awam, ujung-ujungnya adalah "kekerasan". Atau dari optik viktimologi, implikasi atau konsekuensi akhir adalah dapat berwujud pada kristalisasi (penggunaan) kekerasan yang dibanding dengan di zaman Hindia Belanda, kekerasan struktural selama merdeka jauh lebih besar.

Kekerasan struktural sudah dikenal sejak permulaan peradaban atau sejak permulaan penciptaan. Dan sebelum agama-agama besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan bersumber pada agama dengan berdalih secara "falasi", demi dan melalui serta oleh agama-agama itu sendiri, kekerasan struktural sudah dikenal dan menggunakan kekerasan atas nama agama itu sendiri. Padahal Tuhan Allah yang memiliki sifat dan hakekat serta berwujud segala "maha" serta rahmani dan rahimi, belum tentu mengizinkan atau membenarkan kekerasan untuk sang chalik serta untuk dan atas nama agama. Kini dengan berdalih kerusakan moral, orang ingin memperbaiki moral melalui berdandan dengan mewajibkan anak-anak sekolah berbusana tertentu. Suatu kekerasan struktural yang sangat "naif' dan terselubung dengan maksud-maksud yang tidak etis.

Sepanjang yang dapat ditelusuri, bentuk kekerasan struktural yang boleh dapat dikatakan untuk pertama kali, adalah kekerasan fisik oleh Kain terhadap Habel. Mengherankan betapa Kain tega membunuh Habel dalam konteks persembahan agama. Di sini tidak akan diulas motivasi kekerasan Kain terhadap Habel, adiknya sendiri. Perhatikan pernyataan (kekerasan) dari Kain terhadap Sang Pencipta sebagai Alfa dan Omega : "Apakah aku penjaga adikku" (Kejadian 4 : 9).

Menurut Turpin dan Kurtz (1997 : 2) : "Understanding human violence is one of the central tasks of our time, yet we still know very little about it" oleh karena "... we have neglected the search for fundamental causes..." Tetapi sesungguhnya, dengan mengingat apa yang telah disinggung di atas, kalau anatomi kekerasan boleh dibelah dan dianalisis, tidak selamanya bentuk atau wujud kekerasan selalu harus selalu secara fisik. Secara teoritik akademik dikenal berbagai bentuk kekerasan, antara lain : symbolic violence (Elias, 1993), workplace violence (Solomon and King, 1993), structural violence, bureaucratised violence (Turpin dan Kurtz, 1997), anarchic violence (Hobbes, 1928), juvenile violence, religious violence, cultural violence. James Gilligan (tahun tidak jelas) dengan mengutip dari James Q. Wilson menulis bahwa "... there is no such thing as `underlying causes' of crime; that we should abandon the attempt to discover and ameliorate or eradicate those so called causes, and simply continue with our customary approach to crime, namely imprisonment and punishment."

Jhering pernah menulis bahwa "law without force is an empty name". Jadi aplikasi hukum lazimnya dengan menggunakan kekerasan. Tetapi kekerasan yang bagaimana? Orang lalu sampai pada suatu kesimpulan : apakah mungkin "penanggulangan kekerasan -- yang lazimnya dikualifikasi sebagai kejahatan, apakah mungkin dilakukan tanpa kekerasan". Herman Bianchi (1980) menulis "Maar naar de theorie van het struktureel geweld vervult hij een aggresieve en gewelddadige rol". Dengan perkataan lain, melalui teori kekerasan struktural digunakan peranan agresif dan kekerasan.

Robert Elias memang benar. Setelah membahas panjang lebar tentang "A culture of Violent Solutions" yang menyangkut berbagai perspektif dan membuat masyarakat pada akhirnya menggunakan violence is the solution of choice mengakhiri tulisannya dengan menulis : "We are a culture of violent solutions, but violence will not solve our problems and is itself a problem and the root of most of our other social ills (1997 : 143).

Lalu bagaimana dengan masyarakat kita di Indonesia? Asvi Warman Adam dalam Kompas 4 Desember 2000, menulis demikian : "Menurut CR Boxer (The Achienes Attack on Malacca in 1629), Sultan yang sedang menggendong cucunya yang masih bayi, pernah mengempaskan kepala sang cucu ke dinding hingga meninggal karena sang bayi tetap menangis ketika disuruh diam. Katanya, "semasih bayi saja kamu sudah berani menentangku, sebab itu kamu tidak berhak hidup lebih lama." Pernyataan itu tentu perlu dikonfirmasi dengan sumber lain. Namun, paling tidak ada beberapa informasi yang menggambarkan citra sang Sultan tidak sebagus yang dilukiskan dalam buku pelajaran sejarah nasional di sekolah. Dan sang Sultan, ternyata tidak diminta "mundur" oleh rakyatnya." 

Masyarakat kita yang begitu pluralistik dalam hampir seluruh way of life-nya, dengan kadar penggunaan kekerasan struktural secara berbeda, yang pada dasarnya berakar juga dalam kekerasan (kultural) meskipun sudah disiram dengan ajaran agama yang pada dasarnya tidak ingin menggunakan kekerasan, sayangnya, membenarkan penggunaan kekerasan juga atas nama agama itu sendiri. 

Yang mengherankan juga, Indonesia sebagai suatu bangsa yang dijuluki ramah dan halus budi pekerti (dalam bahasa Belanda : het zachtste volk op aarde) dengan beberapa perkecualian, ternyata kini telah terperangkap dalam menawarkan upaya dengan menggunakan kekerasan dan kadang-kadang dengan mendalihkan ajaran agamanya, entah itu benar atau tidak, entah itu rasionalistik atau emosional. Bandingkan betapa naif untuk mengubah moral orang disuruh berdandan dan berbusana tertentu, meskipun itu ada haknya untuk memakai apa saja.

Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa bangsa yang katanya berbudi luhur, ramah dan entah kualifikasi apa yang hendak diberikan kepada bangsa ini menjadi semacam homo homini lupus dalam hampir seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam bidang spiritual, dari strata atas sampai pada yang di bawah. Tentu akan ada banyak jawaban yang dapat diberikan, bergantung dari sudut pandang dan pangkal tolak analisis. 

Tetapi satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa kecuali : Indonesia kini tidak memiliki seorang pemimpin yang dapat diandalkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan dalam realitas penghidupan sosio-spiritual. Lalu dengan meminjam ungkapan bahasa Belanda yang ditulis secara indah bagi mereka yang prihatin dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini : Het volk is radeloos. De regering is radeloos. Het land is reddeloos. Artinya secara bebas: Rakyat sudah tidak dapat berbicara lagi. Pemerintah sudah bingung. Negara ini (seolah-olah) tidak dapat tertolong (lagi). Semoga ini tidak akan terjadi, tetapi apakah masih ada pemimpin (kita) yang bermoral ? Apakah jawabmu?


Tidak ada komentar: