Kamis, 21 Februari 2013

JENGKEL
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Suatu hari pada suatu masa, saya berjumpa dengan ibu tengah umur yang tidak menikah dan mengeluh demikian, "Mengapa ponakan-ponakan saya ini koq tidak ada yang datang ke rumah pada HUT-ku. Padahal, mereka semua saya biayai kuliahnya. Bahkan saya membantu yang sulung waktu pernikahan. Saya juga menolong si bungsu waktu tour  ke luar negeri. Mereka tidak tahu rasa terima kasih".
 
          Kadang kita pun berpikiran demikian. Dalam diri ada keinginan untuk mendapatkan ucapan terima kasih. Jika tidak mendapatkannya, maka muncul rasa jengkel yang membuat sesak di hati. Kita lupa bahwa apa yang dirasakan oleh umat manusia zaman sekarang ini, ternyata sudah ditulis oleh Marcus Aurelius, orang paling bijak yang pernah memerintah Kekaisaran Romawi. Ia  menulis dalam diary-nya – yang sering disebut juga buku Meditations. Tulisnya,   "Hari ini saya akan bertemu dengan orang-orang yang bicara terlalu banyak – orang-orang yang egois yang mementingkan diri sendiri dan tidak tahu berterima kasih. Tetapi saya tidak akan merasa terkejut atau terganggu, sebab saya tidak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa orang-orang seperti itu."   
 
          Keluhan ibu yang tidak menikah terhadap ponakan-ponakannya tersebut di atas, sungguh merupakan hal yang amat wajar. Banyak di antara orang-orang yang kita jumpai "sulit" mengucapkan terima kasih. Suatu kali, saya pernah menghadiri pemberkatan sebuah rumah keluarga baru. Rumah tersebut adalah hadiah dari ayah pihak wanita. Rumah yang indah-megah-mewah ini dikagumi oleh para undangan. Tetapi tiba-tiba sang menantu berkata, "Sayang bahwa kran yang di dapur itu rusak!"  Tentu saja suasana pesta menjadi kacau, gara-gara  ungkapan "yang tidak tahu terima kasih itu."  Tetapi syukurlah bahwa pendeta membuka Kitab Suci dan membaca nas, "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?" (Luk 17: 17 – 18). Dan untuk membesarkan hati mertua yang memberi hadiah rumah itu, sang pendeta mengutip kata-kata dari Winston Churchill ( 1874 – 1964), "We make a living by what we get, we make a life by what we give" – Kita hidup dari apa yang kita peroleh, kita menciptakan kehidupan dari apa yang kita beri. Orang menjadi ikhlas,  legawa  dalam memberikan sesuatu karena sadar bahwa dirinya tidak minta imbalan apa pun. Jika kita bersikap "do ut des" – memberi supaya diberi atau "ada udang di balik batu",  maka hati menjadi jengkel seandainya  harapan tersebut ternyata tidak terwujud. 
 
          Pernah juga, saya mendengar seorang owner perusahaan yang mengeluh demikian, "Luar biasa para karyawan ini, saya sudah memberi THR (Tunjungan Hari Raya) dan hadiah, tetapi waktu mereka mudik, tidak satupun yang mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepada saya!"  Pemilik perusahaan yang sudah tua ini bagaikan King Lear, dalam sebuah drama tragedy karya William Shakespeare (1564 – 1616). King Lear pun berteriak-teriak, "Betapa lebih tajam dari gigitan ular berbisa, jika memiliki seorang anak yang tidak tahu berterima kasih."  Orang usia lanjut yang mendekati  post power syndrome, sungguh mengharapkan ucapan terima kasih, entah dari para bawahan maupun anak-anaknya.
 
          "Itulah hidup!" kata seorang bijak, "Ketika mengalami peristiwa yang tidak diharapkan kita menjadi jengkel". Dia menambahkan, "Hidup ini penuh misteri. Orang yang kita harapkan mengucapkan terima kasih karena kebaikan kita, ternyata malah membuat susah kita." Kemudian saya menimpali kata-kata orang tersebut, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam" (Pkh.  3: 1-2). Orang bijak itu berkata lagi, "Ada waktu orang  berterima kasih dengan pemberian kita, ada waktu untuk tidak berterima kasih dengan apa yang kita beri. Mengapa harus jengkel?" Santai aja lah!!(210213) Markus-Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: