Kamis, 07 Februari 2013

Prihatin

PRIHATIN
(Kontemplasi Peradaban)

Di Merauke – Papua, ada daerah yang dihuni oleh para transmigran. Salah satu
lokasi itu namanya Semangga dan penduduknya mayoritas suku Jawa. Saya
singgah di sana berbincang-bincang dengan keluarga tersebut. Bapak keluarga berkata bahwa dalam minggu ini semestinya keluarga mengadakan pesta Perak Perkawinan. Namun
berhubung salah satu anaknya yang bernama Sri Suprihatini sedang menderita sakit yang serius, maka keluarga itu prihatin. Rencananya Pesta Perak akan dibuat meriah di Balai Desa dengan disuguhi kerawitan – yang gamelannya sudah nyaris rusak, karena di Merauke tidak ada bengkel gamelan. Namun karena rasa prihatinnya, keluarga hendak merayakan pesta itu hanya dengan mengundang tetangga untuk berdoa bersama dipimpin oleh ustad.

Secara etimologi, saya tidak memahami makna prihatin. Tetapi dari othak-athik gathuk, barangkali dari kata perih dan ati, yang berarti: hatinya pedih. Hatinya sedang pedih karena pengalaman hidup ekonomi yang berat. Orang-orang Jawa
mempunyai kebiasaan puasa Sênèn-Kêmés untuk prihatin atau olah rohani (askese)
supaya kuat menghadapi hidup yang tidak mudah. Nenek moyang kita telah mengalami sendiri (Zaman Belanda-Jepang-Revolusi-Orde Lama) bagaimana hidup prihatin. Hidup mereka "serba terbatas" bahkan harus mengikat pinggang supaya mampu
bertahan hidup.

Para founding father mengalami hidup yang sangat prihatin. Majalah Tempo
menerbitkan buku yang pantas kita apresiasi
yakni 4 sekawan (Sukarno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka) pendiri bangsa Indonesia. Melalui mereka itu, kita bisa berrefleksi tentang keprihatinan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jembatan Emas Kemerdekaan yang digagas oleh Bung Karno tidak
dibangun tanpa pengorbanan jiwa dan raga. Mereka hidup amat prihatin dan tidak
jarang diasingkan dalam penjara. Bung Karno (1901 – 1970), misalnya diasingkan di
Soekamiskin (29 September 1929). Namun dalam keprihatinan tersebut, meski 1929). Di pintu penjara itu ada tulisan, Incipit vita nova –– mulai sekarang saya
akan merubah penghidupan saya. Tetapi Bung Karno menimpalinya, "Tidak baik, buat apa saya itu kalimat tidak bisa dipakai. Bagi saya masuk penjara sebagai pemimpin, keluar penjara harus sebagai pemimpin, bahkan harus lebih hebat lagi!" Bahkan selama di penjara tersebut, ia malah menjadi kreatif dan terbitlah buku monumental dengan judul: Indonesia Menggugat. Kemudian 31 Desember 1931, Bung Karno keluar dari Soekamiskin dan dipindah ke Ende. Di sana
menulis risalah yang berjudul Menggali Api Islam (Notosoetardjo dalam Bung Karno Mentjari dan menemukan Tuhan).
Setelah 4 tahun di Ende itu, Bung Karno dipindah oleh Belanda ke tempat
pembuangannya yang baru pada 14 Februari 1938 di Bengkulu. Tan Malaka (1897 – 1949 ) yang berjuang demi kemerdekaan tertuang dalam buku yang berjudul Dari Penjara ke Penjara. Sastrawan dan pengamat film, Arswendo Atmowiloto menulis Menghitung Hari ketika dalam bui dan Hitler (1889
– 1945) menulis buku Main Kampf atau
My Struggle dalam tahanan. Dalam
pengasingan dan penderitaan serta keprihatinan tersebut, orang-orang menjadi
sehati-seperasaan dengan orang-orang yang "terbelenggu". Dari sanalah master-piece tercipta. Diktum Ovidius, "Dulcia non meruit, qui non gustavit amara" yang berarti: yang
tidak pernah mencecap kepahitan tidak akan dapat pula menikmati kemanisan – memang sungguh terbukti. Penderitaan dan keprihatinan yang diterima dengan ikhlas membuahkan hasil yang memuaskan.

Masa pengasingan dan pembuangan serta keprihatinan merupakan moment yang tepat untuk mengenali potensi diri. Masa-masa seperti ini dalam tradisi Gereja
Katolik disebut sebagai Masa Retret Agung (Bdk. Penanggalan Liturgi dalam setiap
masa Prapaskah). Wiracerita dari Ramayana dan Mahabaratha memberikan gambaran yang jelas bahwa dalam masa pembuangan di hutan Dandaka dan hutan Kamyaka itu tidak ada yang hilang, nothing to lose. Dalam Mahabaratha misalnya, putra-putra
Kunthi menemukan "kekuatan" dalam
keprihatinan. Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang
sakti, pengalaman Bhima bertemu dengan Hanoman dan Dewa Ruci dan pengalaman
Yudhistira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan
batin serta kemuliaan rohani para Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma. Apa yang dialami oleh para Pandawa itu menurut bahasanya Stephen Covey (1932 – 2012) dalam Tujuh Kebiasaan Yang Efektif sebagai mengasah gergaji. Gergaji yang dipakai terus-menerus akan menjadi tidak tajam, kethul. Inilah
yang disebut dengan Retreat (bhs. Latin: Re-trahere, yang berarti menarik diri dari keramaian). Orang-orang besar dalam sejarah, sebelum melaksanakan tugas besar terlebih dahulu menyepi. Nabi Muhammad menyepi di Gua Hira, Nabi Isa berpuasa di gunung dan Sidharta Buda Gautama
mengadakan meditasi di bawah pohon Bodi.

Pengalaman hidup prihatin dan
menderita-sengsara bagi orang yang berjiwa besar, bukan sebagai aib atau nista, melainkan memiliki makna rohani. Tulisan Ir. Sukarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi, mengajak para orang-orang optimis. Tulisnya,
"....Muting, Digoel,... Banda! Dan kawan kita Tjipto Mangunkusuma (1886 – 1943 berangkat membawa keluarganya, diiringi oleh isterinya yang berani dan berbesar hati – meninggalkan kita." Dalam artikel itu,
Sukarno menyebut "sampai ketemu
lagi" kepada Tjipto dan bukan "selamat berpisah". Bagi para pendiri bangsa ini, pembuangan dan diasingkan malah bisa menjadi tempat kawah condrodimuka (tempat untuk mengasah dan menguji
kemampuan). Di tempat pembuangan, penggemblengan dan penjara tentu
manusia mengalami penderitaan. Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Inggris mengalami tekanan yang berkepanjangan.
Dalam keadaan yang tertekan itu, Lloyd George – Perdana Menteri Inggris – ditanya
oleh temannya, "Bagaimana kau menjaga dirimu agar tetap sehat dengan semua
tekanan pekerjaan dan kekuatiranmu?" Kata sang Menteri itu, " Oh, Aku menganggap kesulitan sama baiknya seperti hiburan" (020113) Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: