Sabtu, 01 September 2012

MA'AF

MA'AF
(Sebuah Percikan Permenungan)

Di kampung halamanku, Gunung Kidul (Yogyakarta), ada ritual yang tidak
pernah tergantikan dari generasi ke generasi yakni mudik. Setiap tahun,
menjelang Idul Fitri, ratusan bus dari Jakarta ber-mudik. Kepulangan mereka
tidak tanpa perjuangan. Mereka harus membeli tiket (bus, KA dan pesawat)
dengan harga yang melambung tinggi dan sesampainya di air-port, stasiun dan
stamplat para pemudik harus berdesak-desakan mencari tempat duduk. Banyak
dari mereka menggunakan kendaraan bermotor untuk mudik. Tetapi semuanya itu
dipandang sebagai ibadah yang akhirnya bisa berjumpa dengan kerabat di
kampung halaman.

Meminta dan memberi maaf itu bukan perkara yang gampang. Mohandas
Karamchand Gandhi atau yang dikenal sebagai Mahatma Gandhi (1869 – 1948)
berkata, "Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf
tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh."
Ritual tahunan untuk kembali ke kampung halaman merupakan niat yang tulus
untuk menuju sebagai manusia yang fitrah.
Minta maaf saja tidak cukup, tetapi harus dilakukan dalam tindakan nyata.
Kata maaf (dari bahasa Arab, ma' fuw) itu memiliki arti: dibebaskan dari
dosa. Rabindranath Tagore (1861-1941), penulis dari Calcutta dalam buku
yang berjudul, "Kisah-Kisah Tagore" membeberkan seorang pembantu, yang
bernama Raicharan yang menghilang anak kesayangan majikannya, ketika
mengasuhnya di sekitar sungai Padma. Ia sangat menyesal dan kembali ke
rumah. Di rumahnya sendiri ia tinggal bersama istrinya dan lahirlah seorang
bayi untuknya. Dengan kesungguhan hati, Raicharan menjadikan anaknya
sendiri dididik, dibentuk seperti anak majikannya. Setelah menjelang remaja,
anak itu pun diberikan kepada majikannya. Dalam dirinya ada usaha untuk
"mengembalikan" yang sudah retak dan kembali menjadi silaturahim. Inilah
cerpen yang berjudul, "Kembalinya seorang anak".

Dalam memberi maaf pun kita harus tulus dan akhirnya tidak ada dendam lagi.
Saya jadi ingat wasiat Rosulullaoh Muhammad S.A.W. kepada Sayyidina Ali
bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Dalam suatu peperangan Ali bin Abi
Thalib Karomallahu Wajhah berhasil menjatuhkan musuhnya. Dengan sigap beliau
langsung menindih dengan tubuhnya siap dengan pedang terhunus untuk
memenggal. Dalam kondisi terjepit musuh Allah tersebut meludahi wajah Ali
Karomallahu Wajhah. Seketika itu juga pedang yang sudah siap dihunus
diturunkan untuk membatalkan niatnya menghabisi musuh Allah tersebut.
Ketika ditanya, " Mengapa engkau tidak melanjutkan niatmu untuk memenggal
kepalaku?" Ali bin Abi Thalib menjawab,"Ketika aku menjatuhkanmu aku ingin
membunuhmu karena Allah akan tetapi ketika engkau meludahiku maka niatku
membunuhku karena amarahku kepadamu"

Orang-orang Jawa memiliki banyak tradisi tentang saling memaafkan (Di pulau
Jawa itu pula muncullah Walisongo yang berarti sembilan orang wali).
Ketika lebaran, mereka berjumpa saling berkata, "njaluk pangapura" artinya
meminta maaf atau pengampunan. Setelah ditelusuri ternyata kata itu berasal
dari "ghafura" (bahasa Arab) yang berarti tempat pengampunan. Kemudian kita
kenal juga tradisi makan ketupat. Konon, menurut orang tua tua ketupat
berasal dari kata pat atau lepat (bahasa Jawa) yang berarti kesalahan.
Orang yang makan ketupat akan kembali diingatkan bahwa mereka sudah terlepas
dan terbebas dari kesalahan. Kita diharapkan akan saling mema'afkan dan
saling melebur dosa dengan simbol tradisi kupatan. Untuk itu, pada bulan
Ramadhan yang penuh berkah ini, kami sampaikan, "Minaladin walfaizin,
semoga Anda termasuk golongan orang yang kembali kepada fitrah dan
memperoleh kemenangan" (13 Agustus 2012).

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361

Tidak ada komentar: