Senin, 04 Mei 2009

Merenung sampai mati

Merenung sampai mati

Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. Kadang dari dekat, kadang dari
kejauhan. Bukan untuk menganggumi keindahannya, karena rumahku kecil saja,
berantakan pula. Tapi semua tentang rumahku, aku menyukainya.

Karena memandang rumahku, aku jadi memandang diriku sendiri dan kekayaanku.
Sebagai diriku, ia menggambarkan betul watakku, kebaikanku dan keburukanku.
Rumah itu serba gelap, tak pernah kucat, tak pernah kurampungkan secara
semestinya, dan banyak ketidaksempurnaan di sana-sini.

Ada lantai yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca, ada tembok yang
tidak simetris, ada tanaman-tanaman yang tidak rapi, dan penuh kesalahan
tata ruang di sana-sini. Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tapi
hasil spekulasi. Spekulasi dari realitas hidup yang cuma bisa kujalankan
dengan cara merambat. Setindak demi setindak. Dan rumahku adalah dari tindak
demi tindak itu. Bukan sebuah kesatuan. Makanya di banyak sudut cuma berisi
kesalahan.

Tapi begitulah hidupku, lengkap dengan keslahan yang kuperbuat, adalah
kenyataan yang menggembirakan hatiku. Hidup, lengkap dengan kesalahan,
sungguh merupakan kesempurnaan. Maka memandangi keslahan itu setiap kali,
sungguh sebuah kegembiraan.

Padahal di dalam rumahku, tidak cuma ada kesalahan-kesalahan hidupku, tapi
juga ada anak istriku. Di dalam rumah itulah aku dan keluarga tumbuh,
menyejarah dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan
berkah-berkahnya. Memandang anak-anak tertidur, sering melelehkan air
mataku. Mulia sekali rasanya kualitasku saat itu, saat terharu seperti itu.
Tapi begitu anak-anak itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat
kegaduhan, menjadi anak-anak yang menjengkelkan, betapa terlihat kualitas
kelakuanku. Aku ternyata tak lebih bapak-bapak kebanyakan, yang gampang
didikte oleh kemarahan jika kenyamanan dirinya terganggu.

Aku jelas bukan orang kaya. Tapi semua simbol-simbol orang kaya telah
kulengkapi hampir secara keseluruhan. Butuh apa saja, di rumahku ada,
sepanjang kebutuhan itu seperti kebutuhanku. Mau makan apa saja yang menjadi
kesukaanku tersedia: pisang goreng, kacang rebus hingga jadah bakar. Istriku
telah pintar membuatnya.

Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah mangkir tanpa henti
jajanan kelilingan. Ada yang generik model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada
pula yang baru dan aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis
makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena anehnya. Ada pula
jajanan kuno yang masih sesekali bisa ditemui seperti arum manis dan gulali.

Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk manusia,
melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan louhan dan arwana tapi
cukup jenis spat dan mujahir yang tak perlu dirawat pun lama hidupnya. Mau
mendengar semua aksi kicau burung piaraan juga ada sepanjang ia adalah jenis
tekukur, kutilang dan puter. Aku juga memelihara burung gereja di sela-sela
atap rumahku.

Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku,
meskipun kecil dan kuno, masih kuat menyala sehari-semalaman. Mau nonton
konser apa saja, film apa saja, dialog apa saja, semua ada. Mau sekadar
mendengar musik, malah cukup mendengarkan tetangga yang biasa menyetel tape
dengan kerasnya.

Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata kaya sekali aku
karena kekayaan itu ada di kepalaku sendiri. Jika kamu memiliki tingkat
kebutuhan sepertiku, dan memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa
menjadi orang kaya bersama-sama.- Prie GS -

Tidak ada komentar: