Senin, 18 Mei 2009

Buku harian ayah

*BUKU HARIAN AYAH*

*Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak
pernah melihat mereka bertengkar.*

*Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi
saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang pria
yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya. Namun harapan
tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit.*

*Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya
akibat hal-hal kecil dalam rumah tangga. Malam minggu saya pulang ke kampung
halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan
tersebut pada ayah.*

*Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya,
dan setelah beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ayah
mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan
saya. Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya
buku-buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun.

Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku
harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari
buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan
sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan
ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas. Saya segera
tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca dengan seksama halaman demi
halaman isi buku itu..

Semuanya merupakan catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi
dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya."

"Anak-anak terlalu berisik, untung ada dia."

Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai
macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap
anak-anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis
beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang
air mata. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada
ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."

Ayah menggelengkan kepalanyadan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga
bisa."

Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak
mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan?

Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran.
Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal,
juga suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel.
Waktu itu saya bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan saya
tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering
kali dalam hati saya penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya sobek
akibat tembus oleh pena. Tapi saya masih saja terus menulis satu demi satu
kebaikannya, saya renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya juga tidak ada
lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah,
apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"

Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam
buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang kala
di malam hari, menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan
saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."

Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang
berada di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan
:*

*

**"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana…ingat dan catat kebaikan dari orang
lain…Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."*



Tidak ada komentar: