--Anwar Holid
Suatu hari, aku pernah tanya seorang kawan: apa yang paling penting
dalam perkawinan ? Dia jawab: kebersamaan. Entah kenapa, aku langsung
tertawa mendengar jawaban itu.
"Memang, menurut kamu apa ?" balas dia.
"Menurutku, penghasilan, mendapatkan nafkah"
Entah kenapa aku cukup yakin dengan jawaban itu. Boleh jadi dalam
bayanganku waktu itu ialah aku teringat acara fauna di televisi. Acara
itu menayangkan seekor serigala jantan membawa mangsa untuk keluarganya.
Mangsa itu dia cengkeram kuat-kuat dengan mulutnya, lantas dia
persembahkan pada anak-anak dan pasangannya. Setelah itu dia
memperhatikan mereka berebut makanan yang dia bawa. Terdengar narasi:
Pasangan dan anak-anak serigala itu senang bahwa dia pulang dengan
selamat; tapi ia tahu mereka jauh lebih mengharapkan makanan yang dia
bawa daripada kehadiran dirinya sendiri.
Terdengar ironik ?
Meskipun cukup yakin bahwa yang paling penting dalam perkawinan ialah
penghasilan, aku pada dasarnya sulit memutlakkan jawaban itu. Boleh jadi
sebagian orang akan bilang bahwa yang paling penting dalam perkawinan
itu ialah cinta, kasih sayang. Ha.. ha.., dalam rumah tangga kasih sayang
menurutku sudah jadi terlalu basi. Cinta dan kasih sayang sudah harus
selesai sejak jauh-jauh hari sebelum pasangan menikah dan membangun
rumah tangga. Tanpa itu, rumah tangga dan perkawinan berarti sia-sia.
Dulu, rasanya heroik dan menakjubkan kalau kita mendengar bahwa ada
orang yang bisa hidup dengan cinta. Bisakah orang hidup dengan cinta ?
Nggak. Orang hanya bisa hidup dengan makanan. Tapi entah kenapa kita kok
merasa agak yakin bahwa cinta bisa menyelesaikan segala-galanya. Boleh
jadi memang begitu, sebenarnya, terutama orang yang terbutakan oleh
cinta. Perhatikanlah perceraian suami-istri atau perpisahan sepasang
kekasih, terlebih bila perpisahan itu disertai keributan, termasuk
sekalian dengan kekerasan dan kemarahan yang kadang-kadang terlalu sulit
dipadamkan. Kalau kita menyaksikan hal seperti itu, entahlah ada di mana
cinta yang pernah tumbuh di dalam diri mereka berdua itu. Cinta jadi
terasa sebagai omong kosong. Dari perceraian, ribut-ribut, cekcok, dan
pertengkaran, kita tahu bahwa cinta adakalanya gagal berfungsi untuk
menyelesaikan segala-galanya, dan yang tersisa hanyalah rasa sebal,
jengkel, atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.
Di dalam perkawinan, cinta melebur ke dalam segala sesuatu, hingga ia
menyelimuti atau membentengi kehidupan pasangan; tapi karena itu pula ia
menjadi gaib, dan kadang kala bila sedang diperlukan ternyata ia tak
segera menampakkan diri. Akibatnya, pasangan jadi kehilangan kesabaran
dan menuduh dia tak lagi punya cinta. Perhatikanlah konsultasi
perkawinan di media massa. Dari sana kita belajar bahwa persoalan
perkawinan bisa diakibatkan hal yang sangat sederhana (misalnya
kebiasaan pasangan yang ternyata lama-lama sulit diterima) maupun hal
yang berat (misalnya pasangan melakukan tindak kriminal, selingkuh,
berbohong, berubah orientasi seksual, atau sakit jiwa.) Kita tahu dalam
perkawinan bobot masalah "sederhana" dan "berat" ternyata sama saja.
Masalah adalah masalah, dan ia harus diperhatikan, sebab kalau tidak
akibatnya bisa fatal.
Begitu juga dengan penghasilan. Bisakah Anda mencari contoh pasangan
yang kehidupan perkawinannya baik-baik saja meski tanpa penghasilan atau
tak punya nafkah ? Mungkin itu akan bisa mematahkan pendapat awal. Tapi
mungkin sedikit lain soalnya bila pasangan itu punya warisan atau diberi
kekayaan yang terus tersedia cukup meskipun dia sekadar menghabiskan dan
tak perlu kerja. Tapi dengan perilaku begitu pun bisa jadi pasangannya
mengeluh, sebab kerjanya hanya "menghabiskan harta orangtua" dan
terkesan malas-malasan. Boleh jadi pasangan tanpa mata pencaharian itu
merupakan aib. Bayangkanlah Anda melamar seorang gadis dalam keadaan
nganggur atau bila suatu hari yang akan datang anak gadis Anda dipinang
pemuda pengangguran. Beranikah Anda mengizinkan anak gadis Anda kepada
pemuda itu ? Sehina apa pun pekerjaan Anda, Anda menolak bila mereka
meremehkan pekerjaan Anda. Pekerjaan itu sesuatu yang mulia.
Demi penghasilan, sepasang suami-istri rela berpisah, mau menjalani jadi
weekend husband/wife, atau bahkan merantau ke luar negeri. Dulu, aku
sendiri pernah menjadi seorang weekend husband. Bila weekend
husband/wife sudah dianggap lazim dalam kehidupan modern, kini tanyalah
pasangan yang hanya ketemu sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau
bahkan setahun sekali. Jelas karena tidak mengalami, rasanya aku sulit
berempati kepada pasangan yang hanya ketemu sebulan, tiga bulan, atau
setahun sekali. Buat apa dong mereka dulu memutuskan menikah ? Bukankah
mereka menikah untuk "bersatu", berdekat-dekatan ? Wajarkah pasangan
mengorbankan kebersamaan demi mendapat nafkah, meskipun aku menyatakan
penghasilan merupakan hal paling penting dalam perkawinan? Rasanya
absurd. Tapi sekali lagi, bayangkanlah bila tanpa itu semua mereka tak
punya penghasilan, atau itulah satu-satunya cara mereka mendapat nafkah.
Kalau sudah begitu, apa boleh buat. Kita hanya bisa maklum dan
ikut berdoa supaya mereka selamat. Daripada bersatu tanpa penghasilan ?
Orang menempuh berbagai mode untuk mendapat nafkah. Ada yang normal dan
abnormal. Ada kalanya seseorang tak tahu persis apa pekerjaan
pasangannya; tapi selama ada penghasilan, aku berani bertaruh itu akan
baik-baik saja. Tanyalah pada istri para kriminal, koruptor, atau
pembunuh bayaran. Mereka tentu bakal terkejut bila dibenturkan pada
fakta bahwa nafkah yang selama ini mereka terima ternyata hasil dari
kejahatan atau uang haram, lantas mereka bersikap tak mau tahu atau
malah ingin cuci tangan secepatnya. Tapi selama tak tahu, mereka akan
baik-baik saja, dan yakin sebagaimana pasangan normal lain, nafkah itu
berasal dari cara yang baik.
Bila menyangkut penghasilan, orang bisa begitu emosional dan irasional.
Kita sulit mengira-ngira sampai sejauh apa orang merasa bangga,
baik-baik saja, terpaksa, atau rela menjalani profesinya. Boleh jadi
orang bangga dengan profesi sebagai pembunuh bayaran. Siapa tahu.
Bintang porno di AS bangga kok dengan profesinya. Apa sebab ? Karena
mereka juga bayar pajak, berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Itu
mulia. Kita yang tak mengalami mungkin bisa menertawakan atau menganggap
hina kerja sebagai bandar judi, pembuat narkoba, direktur klub malam,
tukang sampah, mucikari, atau bandar narkoba. Tapi kalau penghasilannya
melimpah ruah, Anda mau apa ? Pendapatan itu nyata. Lihatlah di jalanan,
lihatlah di tempat kerja, di lapangan. Begitu menyangkut pendapatan,
nyawa taruhannya. Kadang-kadang orang masih merasa kurang dengan sekadar
mengandalkan kekuatan fisik. Perhatikanlah cara kerja debt collector
atau tukang sita.
Pasangan pengangguran tentu sulit diterima. Jangankan penganggur,
pasangan dengan penghasilan setara, tampak kurang motivasi, atau kurang
berkenan saja bisa bermasalah. Dunia adalah tempat yang sulit dan keras.
Nggak ada tempat buat pemalas, atau kalau tidak berubahlah jadi orang
ikhlas, yang bisa bersyukur dan menerima segala keadaan. Kita dituntut
menghasilkan nafkah dengan memanfaatkan segala kemampuan dan kesempatan
yang memungkinkan. Dengan itulah kita memelihara perkawinan,
kebersamaan, menjalankan roda kehidupan, memastikan bahwa dua puluh
empat ke depan---atau beberapa tahun ke depan---keadaan cukup bisa
dipastikan kesejahteraannya.
Tapi kenapa pasangan dengan nafkah berkecukupan pun kehidupan perkawinan
mereka bisa hancur-hancuran ? Tentu ada faktor lain entah apa lagi. Aku
juga bukan ahli perkawinan. Itu menunjukkan walaubagaimanapun
penghasilan ternyata bukan satu-satunya faktor paling penting dalam
perkawinan. Jadi apa dong ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar