Kamis, 02 Juli 2015

Adil

ADIL
(Catatan Sebuah Perjalanan)
 
“Mea mihi conscientia
 pluris est quam omnium
sermo” – Hati nuraniku bernilai
 lebih banyak daripada semua kotbah (Cicero)
 
       Beberapa tahun yang lalu, ketika saya di-benum  di Jawa Tengah, ada seorang janda miskin yang datang kepada saya dan menceriterakan bahwa anaknya akan menerima  pemberkatan nikah di Gereja. Katanya, “Heran, anak saya akan menikah, tetapi sulitnya ngadubilah mencari hari yang tepat, karena pastor paroki sibuk terus. Padahal setahu saya,  minggu lalu umat se-lingkungan denganku waktu nikah di gereja ada lima pastor dan resepsinya malah ada puluhan pastor!”
          Lalu saya bilang, “Ibu mungkin keluarga yang punya gawe itu tokoh gereja.”  Tetapi dengan tenang ibu pun menjawab, “Iya sich dia itu donator dan para pastor yang datang dari luar kota  itu dibelikan tiket pesawat  PP, serta apa itu namanya semacam amplop yang  têbêl?” Saya berkata lagi, “Namanya  stipendium”.
          Memang, sering terdengar keluhan-keluhan dari wong cilik  yang kurang didengar oleh para pembesar. Mereka bagaikan kaum  Nisadha yang dalam Mahabaratha menjadi tumbal (Bdk. Cerita pewayangan dengan judul, “Bale Sigala-gala”).  Itulah sebabnya – kadangkala – dalam karya pastoral pun mereka kurang diperhatikan.  Di situlah, keadilan sering dipertanyakan.    
          Marilah kita renungkan  fable tentang makna rasa keadilan yang terdapat pada relief candi Mendut yang mengisahkan tentang burung Bharanda yang punya satu badan, tetapi dua kepala.  Riwayat  fable ini konon dipetik dari kitab Jataka atau Pancatantra. Kisahnya, kepala  yang menengadah ke atas karena posisinya selalu menikmati buah yang segar, ranum dan tentu banyak gizi. Sementara itu, kepala yang menjuntai ke bawah, hanya kebagian buah busuk, berulat dan tidak jarang mengandung bakteri. Permintaan kepala yang menjulai ke bawah untuk sekali-sekali menikmati buah segar itu  selalu ditolak. Alasannya buah segar itu akan masuk ke perut yang sama.  Akhirnya kepala yang menjuntai ke bawah itu frustasi dan marah, lalu dengan sadar dan sengaja makan racun. Akhirnya matilah burung Bharanda (Bdk. “Analisa Politik” tulisan J. Kristiadi, Kompas 30 Juni 2015).
          Kisah di atas mengajarkan tentang keadilan.  Jika orang sedang berada “di atas” ingat pula yang di bawah, karena manusia tidak selamanya di atas terus. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, “Cakra  manggilingan” – hidup manusia itu bagaikan roda berputar. Manusia perlu untuk merenung, kontemplasi, refleksi dan mempertajam batin agar hati lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Inilah yang terungkap dalam pepatah Jawa, “padha gulangen ing kalbu” – berpikir untuk bersikap adil terhadap sesama.  Wong cilik atau umat yang miskin perlu untuk kita perhatikan.  Ibaratnya, bagi  wong cilik, makan di  CFC atau  Pizza Hut adalah pengalaman yang hanya dalam mimpi saja.  Dalam hal ini, mereka seperti burung Bharanda yang kepalanya selalu menjuntai ke bawah.
           Mohammad Syuropati dalam bukunya yang berjudul “Kumpulan Mutiara Kearifan Jawa” menulis makna tentang  “Esêm bupati”  artinya senyum seorang bupati. Kelas selevel dengan bupati, cara mengkritiknya cukup dengan èsêm atau  senyuman. Oleh karena itu, seorang bupati harus tanggap dengan èsêman  atau senyuman  rakyatnya.   

Kamis, 2 Juli 2015  Markus Marlon

Tidak ada komentar: