ADIL
(Catatan Sebuah Perjalanan)
“Mea mihi conscientia
pluris est quam omnium
sermo” – Hati nuraniku bernilai
lebih banyak daripada semua kotbah (Cicero)
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya di-benum di Jawa Tengah, ada seorang janda miskin yang datang kepada saya dan menceriterakan bahwa anaknya akan menerima pemberkatan nikah di Gereja. Katanya, “Heran, anak saya akan menikah, tetapi sulitnya ngadubilah mencari hari yang tepat, karena pastor paroki sibuk terus. Padahal setahu saya, minggu lalu umat se-lingkungan denganku waktu nikah di gereja ada lima pastor dan resepsinya malah ada puluhan pastor!”
Lalu saya bilang, “Ibu mungkin keluarga yang punya gawe itu tokoh gereja.” Tetapi dengan tenang ibu pun menjawab, “Iya sich dia itu donator dan para pastor yang datang dari luar kota itu dibelikan tiket pesawat PP, serta apa itu namanya semacam amplop yang têbêl?” Saya berkata lagi, “Namanya stipendium”.
Memang, sering terdengar keluhan-keluhan dari wong cilik yang kurang didengar oleh para pembesar. Mereka bagaikan kaum Nisadha yang dalam Mahabaratha menjadi tumbal (Bdk. Cerita pewayangan dengan judul, “Bale Sigala-gala”). Itulah sebabnya – kadangkala – dalam karya pastoral pun mereka kurang diperhatikan. Di situlah, keadilan sering dipertanyakan.
Marilah kita renungkan fable tentang makna rasa keadilan yang terdapat pada relief candi Mendut yang mengisahkan tentang burung Bharanda yang punya satu badan, tetapi dua kepala. Riwayat fable ini konon dipetik dari kitab Jataka atau Pancatantra. Kisahnya, kepala yang menengadah ke atas karena posisinya selalu menikmati buah yang segar, ranum dan tentu banyak gizi. Sementara itu, kepala yang menjuntai ke bawah, hanya kebagian buah busuk, berulat dan tidak jarang mengandung bakteri. Permintaan kepala yang menjulai ke bawah untuk sekali-sekali menikmati buah segar itu selalu ditolak. Alasannya buah segar itu akan masuk ke perut yang sama. Akhirnya kepala yang menjuntai ke bawah itu frustasi dan marah, lalu dengan sadar dan sengaja makan racun. Akhirnya matilah burung Bharanda (Bdk. “Analisa Politik” tulisan J. Kristiadi, Kompas 30 Juni 2015).
Kisah di atas mengajarkan tentang keadilan. Jika orang sedang berada “di atas” ingat pula yang di bawah, karena manusia tidak selamanya di atas terus. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan, “Cakra manggilingan” – hidup manusia itu bagaikan roda berputar. Manusia perlu untuk merenung, kontemplasi, refleksi dan mempertajam batin agar hati lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Inilah yang terungkap dalam pepatah Jawa, “padha gulangen ing kalbu” – berpikir untuk bersikap adil terhadap sesama. Wong cilik atau umat yang miskin perlu untuk kita perhatikan. Ibaratnya, bagi wong cilik, makan di CFC atau Pizza Hut adalah pengalaman yang hanya dalam mimpi saja. Dalam hal ini, mereka seperti burung Bharanda yang kepalanya selalu menjuntai ke bawah.
Mohammad Syuropati dalam bukunya yang berjudul “Kumpulan Mutiara Kearifan Jawa” menulis makna tentang “Esêm bupati” artinya senyum seorang bupati. Kelas selevel dengan bupati, cara mengkritiknya cukup dengan èsêm atau senyuman. Oleh karena itu, seorang bupati harus tanggap dengan èsêman atau senyuman rakyatnya.
Kamis, 2 Juli 2015 Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar