Jumat, 05 Juni 2015

Mencari Teman

MEMILIH TEMAN
(Sebuah Catatan Perjalanan)
 
"Secreto amicos admone, lauda palam" – Tegurlah sahabat-sahabatmu secara diam-diam, namun pujilah mereka secara terbuka (Publius Syrus).
 
       Tanggal merah, 2 Juni 2015 saya gunakan untuk makan capcay  di Jln. Gunung Lompobattang – Makassar.  Ketika masakan dihidangkan, saya complain  dan menggerutu, karena ada tambahan lauk-pauk yang tercampur dalam sayuran tersebut yang  tidak saya sukai. Lantas, teman saya itu pun berkata, "Mudah saja kalau  you tidak suka. Singkirkan saja udang-udang  kecil itu dari piringmu. Habis perkara!"
          Benar! Pada setiap kesempatan kita harus memilih. Dari memilih hal-hal  yang sederhana hingga memilih sesuatu yang rumit,  seperti apa yang dikatakan Hamlet, dalam drama tulisan Shakespeare (1564 - 1616) to be or not to be.
          Yang paling jelas-jelas adalah memilih teman. Sebagai maklhuk sosial (homo socius), kita membutuhkan teman, namun untuk mendapatkan teman itu, kadang tidak mudah. Orang-orang China mengatakan, "Seribu teman masih kurang namun satu musuh kebanyakan!"  Meskipun mencari teman itu sulit, kita tetap tidak boleh memilih sembarang teman, tetapi harus "diseleksi".  
Orang-orang Jawa memiliki ungkapan yang sering kita dengar, "Wong kang ora ngerti marang trapsila klebu wong kang ora perlu dicedhaki" – Orang yang tidak mengerti tata susila, tergolong orang yang tidak perlu didekati. Atau ungkapan lain, "Sing becik cedhakana, kang ora becik singkirono"  – orang baik dekatilah dan orang yang tidak baik hindarilah. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan, "Birds of a feather flock together" – Burung-burung berkelompok menurut jenisnya. Orang cenderung berkelompok dengan mereka yang memiliki selera dan kepentingan sama.
          Dalam pewayangan, kita kenal adanya seorang teman  sejati yakni: punakawan.  Punakawan dalam kisah pewayangan merupakan sosok rakyat jelata yang setia mengabdi dan mendampingi seorang kesatria yang menjadi tuannya. Teman kesatria yang disebut Punakawan  (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) itu dalam melayani tidak ada kepentingan apa pun (Bdk. Kompas – Jumat 5 Juni 2015). Karena tidak ada kepentingan, maka dalam menasihati tuannya  "tanpa tedheng aling-aling" – bicara terus terang, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kawan seperti itu memang tidak nyaman, lain dengan para punggawa penjilat. Mereka suka bicara yang manis-manis di depan tuannya, sebagai teman, mereka tidak tulus.
 
Jumat, 5 Juni 2015  Markus Marlon

Sent from my BlackBerry®

Tidak ada komentar: