KORUPSI
(Kontemplasi Peradaban)
“Manungsa: menus-menus
kakean dosa” – manusia kelihatannya
bersih tetapi banyak dosa (Mutiara Kearifan Jawa).
Ada sebuah kisah tentang seorang budak yang diangkat menjadi bendaharawan kerajaan. Tentu saja pengangkatan ini membuat iri hati para punggawa istana.
Setiap menjelang malam, bendaharawan itu masuk ruang bawah tanah tempat menyimpan harta karun. Kelakuan ini yang dicurigai oleh para menteri, sehingga menteri terdekat melapor kepada sang raja, “Yang mulia, setiap menjelang malam, bendaharawan itu senantiasa masuk ke ruang harta karun. Baik kalau sang raja mengikutinya!”
Sang raja pun heran dan mulai menguntit bendaharawan itu. Sang raja mengulik dari lubang kunci pintu dan terkejutlah ia terhadap apa yang dibuat orang kepercayaannya. Bendaharawan itu mulai duduk dan mengganti baju mewahnya dengan pakaian budak yang disimpannya dekat brangkas, “Tuhan, aku adalah budak dan sekarang diangkat raja menjadi orang kepercayaannya. Setiap menjelang istirahat aku datang kepada-Mu sebagai budak memohon supaya aku tidak gegabah dalam melangkah serta bertindak dengan jujur!” Sang raja pun akhirnya berkata dalam hati, “Engkaulah pilihanku dan aku bersyukur memiliki orang kepercayaan yang tahu siapa dirinya.”
Godaan harta memang sungguh nyata. Mungkin ketika seseorang masih muda, jiwanya masih idealis, ia memiliki cita-cita yang luhur. Tetapi setelah memegang jabatan birokrasi dan mengendalikan proyek, idealismenya itu pun mulai luntur. Radix omnium malorum est cupiditas – akar dari segala kejahatan ialah keserakahan ( 1 Tim 6: 10). Kalau dalam peribahasa Inggris sehari-hari kita mengenalnya dengan ungkapan, “Money is the root of all evil” – Uang adalah akar segala kejahatan. Sebenarnya bukan uang itu sendiri yang jahat, melainkan kecintaan yang berlebihan pada uang dan nafsu untuk mendapatkannya yang dapat mendorong manusia melakukan tindak kejahatan.
Memang benar bahwa kebutuhan manusia itu tidak ada batasnya. Gaji sebesar apa pun masih kurang dan kurang. Dari sana lah mereka mudah untuk disuap. Erasmus (1466 – 1635) memandang orang yang mudah disuap dengan istilah, “Bos in lingua” – ada sapi dalam mulutnya. Ungkapan ini berasal dari bahasa Yunani. Pada zaman dulu, pada setiap uang logam selalu ada gambar sapi.
Penyuapan dan korupsi sungguh marak di Indonesia, bahkan sudah dinamakan sebagai patologi sosial (penyakit sosial). Yang jelek lagi ada ungkapan bahwa korupsi itu sudah membudaya dan sangat sulit untuk diberantas. Kebobrokan dari mental para penguasa itu akhirnya yang menanggung rakyat. Ungkapan Latin yang dicetuskan oleh Horatius (65 – 8 seb.M), “Quidquid delirant reges plectuntur Achivi” – Apa saja perbuatan gila dari para penguasa, maka rakyat Yunani-lah yang tertimpa hukumannya, artinya rakyatlah yang akan selalu menanggung akibat buruk dari kegilaan penguasa.
Ketika kita mendengar berita tragis tentang penangkapan para koruptor, di sana diberitakan, “Negara mengalami kerugian uang sekian miliar rupiah atau sekian triliun rupiah…” Tentu saja rakyat menjadi geram katas perbuatan para penguasa tersebut. Itulah sebabnya, pembangunan infrastruktur atau dana-dana yang seharusnya diberikan kepada rakyat di-tilep oleh para koruptor. Para koruptor itu berfoya-foya di atas penderitaan orang miskin. Namun seorang sastrawan yang bernama Juvenalis (60 – 140) berkata, “Nemo malus felix – tidak ada orang jahat yang bahagia. Kita bisa membayangkan bagaimana sang koruptor dan keluarganya ketika menyaksikan pemberitaan tentang dirinya yang mengenakan rompi orange dengan tulisan, “Tahanan KPK”. Tentu saja dirinya dan keluarganya menjadi sedih dan malu.
Korupsi sudah menjadi patologi sosial yang sudah kronis, istilahnya sulit untuk diberantas. Tugas KPK amat sangat berat, bahkan ada indikasi untuk “melemahkan power KPK” misalnya dengan menghilangkan “penyadapan” yang merupakan jantung KPK. Pemberantas korupsi diperlukan “orang-orang yang kuat”, tahan godaan bahkan berani mati. Ovidius (43 seb.M – 17 M) mengatakan bahwa orang-orang yang memerangi kejahatan seyogianya memiliki jiwa yang berani, “Mens interrita leti” – jiwa yang tidak gentar akan kematian.
Saat ini peran media sangat bagus untuk menjadi kontrol sosial. Tertangkapnya para koruptor dan yang diberitakan di media massa maupun media elektronik bertutujuan untuk membuat para koruptor jera (efek jera). Para koruptor ini memiliki mental “selalu kurang” yang oleh Horatius (65 – 8 seb.M) dipandang dengan ungkapan, “Multa petentibus desunt multa” – mereka yang banyak menuntut adalah mereka yang kekurangan banyak. Mungkin baik, jika para koruptor itu bersikap seperti kisah budak yang menjadi bendaharawan tadi, “Nihil habendi nihil deest” – yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan kekurangan sesuatu.
Sabtu, 27 Juni 2015 Markus Marlon
+ Sudah dipublikasikan di Sinar Harapan – Sabtu, 27 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar