BADAI
(Sebuah Catatan Perjalanan)
God doesn’t allow
trials in our lives to defeat us,
but to develop us – Tuhan
tidak membiarkan ujian dalam hidup
mengalahkan kita, tetapi untuk
mengembangkan kita (Charles Stanley).
Ketika saya nongkrong di “Kampoeng Popsa” yang letaknya di depan benteng Fort Rotterdam – Makassar, terdengar orang menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan Chrisye:
Kini semua bukan milikku,
musim itu telah berlalu
matahari segera berganti
Badai pasti berlalu….
Lantas pikiran saya tertuju pada novel tulisan Marga, T dengan judul, “Badai Pasti Berlalu”. Membaca novel tersebut dijamin air mata yang membacanya akan berlinang. Memang, setiap orang memiliki “badai”. Ada yang kencang seperti tornado atau puting beliung namun juga ada yang bagaikan angin semilir saja. Namun jika kita membaca tulisan Rick Waren (Lahir 28 Januari 1954) dalam bukunya yang berjudul, ”Purpose Driven Life”, Every storm is school, each trial is a teacher, every experience is education, every difficulty is for our development” – Setiap badai adalah pelajaran, setiap ujian adalah guru, setiap pengalaman adalah didikan dan setiap kesukaran adalah untuk mengembangkan kita”, maka kita akan mensyukuri “badai tersebut”.
Bahkan -tidak tanggung-tanggung- ada orang yang mengatakan bahwa “badai” dalam hidup malah menjadi titik-tolak akan hidup yang makin kuat. Kisah James Cook (1728 – 1779) yang legendaris, misalnya. Cook menulis dalam pelayarannya yang mengerikan karena kapalnya menghantam batu karang dan hampir tenggelam. Peristiwa itu dinamakan Cape Tribulation (Tanjung Pencobaan) yang malah membuat Cook makin berani mengarungi samodra.
Memang setiap orang memiliki badainya masing-masing. Bila kita terlanjur kecewa dan frustasi atas kegagalan yang kita alami, maka yang ada hanyalah keluhan dan gerutuan. Dan ini malah akan mengerdilkan diri kita. Padahal dengan badai itu – seperti yang tadi kita baca di atas – malah akan membuat kita kuat. Mari kita simak Film yang berjudul, “Nada untuk Asa” yang bercerita tentang dua wanita positif HIV untuk tetap hidup di tengah-tengah keluarga dan masyarakat yang tidak menerima penyakit itu. Hidup mereka terasa sangat berat. Dalam episode terakhir, anaknya Asa berkata kepada ibunya, Nada, “Ma, mengapa badai yang keras ini diberikan Tuhan kepada kita?” Ibunya berkata, “Karena kita kuat, nak!”
Rabu, 10 Juni 2015 Markus Marlon
Sent from my Sony Xperia™ smartphone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar