MANDELA
(Komentar dan Ulasan atas Sebuah Tulisan)
WKC (Warta Keluarga Chevalier) edisi, Pater J. Mangkey MSC menulis artikel dengan judul: "Nelson Mandela: Kuasa Pegampunan dan Rekonsiliasi" (Tahun XII no. I Januari 2014). Melalui tulisan tersebut, saya sangat terkesan dengan apa yang dibuat oleh Nelson Mandela (1918 – 2013).
Membaca artikel tersebut, kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Mandela dan kita boleh berkata, "Patientia vincit omnia" – kesabaran mengalahkan segalanya. Dan ketika kita melihat sepak terjang Mandela, kita boleh berkata lagi, "Patria cara, carior libertas" – Aku cinta tanah air, tetapi aku lebih mencintai kemerdekaan.
Dalam buku otobiografi yang berjudul, "A long walk to freedom" Mandela memiliki satu tekad yakni suatu kebebasan bagi yang terbelenggu. Perjalanan yang panjang dan berliku atau meminjam syair The Beatles, "The long and winding road" dijalaninya dengan ikhlas dan penuh cinta. Amor mundum fecit – cinta itu menciptakan dunia. Mandela tidak menyerah dengan situasi dan kondisi yang membelenggu (dipenjara selama 27 tahun). Katanya, "karena cinta, yang sakit menjadi sembuh dan oleh karena cinta penjara menjadi telaga." Tulis P. J. Mangkey MSC, "Penjara tidak mampu mematikan perjuangan untuk kemerdekaan dan keseteraan bangsanya. Penjara juga tidak membentuk dia menjadi manusia pendendam, tetapi menjadikan dia seorang dewasa yang mengedepankan cinta kasih, persatuan, perdamaian, pengampunan dan rekonsiliasi." Ia juga tidak mau "terpenjara" dengan masa lalunya. Ia berpendapat kalau tetap membenci lawan-lawan politiknya, dia akan tetap tertawan dengan tahanan dalam dendam kesumatnya sekalipun sudah bebas dari penjara.
Tentang rasa dendam ini, akhirnya dia berkata, "I let it go" (Ignas Kleden dalam Mandela dan Religiositas). Pater J. Mangkey MSC menulis pengalaman Mandela ini, "There is no future without forgiveness" – tidak ada masa depan tanpa pengampunan. "Mandela telah menjadi sumber energi yang mengubah kebencian menjadi cinta, permusuhan menjadi persahabatan, balas dendam menjadi pengampunan" (Kompas, Sabtu 7 Desember 2013, hlm. 1).
Dalam arti ini, Mandela "tidak mau menoleh ke belakang." Orang yang menoleh ke masa lalu, hidupnya akan seperti istri Lot menjadi tiang garam (Kej 19: 26) tergerus oleh masalah dan sakit-penyakit. Sebagai pemimpin (leader), Mandela haruslah bersikap visioner, seperti apa yang dikatakan oleh Titus Maccius Plautus (254 – 184 seb. M), "Sapiens ipse fingit fortunam suam" – orang bijaksana ialah orang yang melihat jauh ke depan. Atau seperti yang dikatakan Joe Batter, "The first duty as a leader (to lead themselves or others) is to make hope always lies" – Tugas pertama seorang pemimpin ( untuk memimpin dirinya seorag diri) adalah membuat harapan selalu terbentang. Dalam keterpurukannya di dalam penjara, Mandela tetap tegar dan ketegarannya ini yang menyebabkan ia bisa menularkan sense of autonomy-nya bahkan ke Presiden Obama dari dalam penjara (Bdk. Kompas 14 Desember 2013). Dari dalam penjara itu Mandela, si pemberi harapan bangsanya pun – barangkali – berkata, "Apapun yang tidak membunuh kita malah menguatkan kita," seperti yang ditulis oleh Nietzsche (1844 – 1900). Sekali lagi saya mengutip P. J. Mangkey MSC, "Mencontoh Mandela memang sulit, namun bukannya mustahil!!"
Kamis, 23 Januari 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Selasa, 04 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar