LONGSOR
(Kontemplasi Peradaban)
Minggu (02 Februari 2014), saya berjalan-jalan ke desa Kembes dan Rumengkor (Kec. Tombulu – Minahasa – Sulawesi Utara). Dalam perjalanan itu, saya melihat beberapa tanah longsor. Longsor memang datangnya selalu dari atas dan yang di bawahlah yang jadi korban. Dikabarkan bahwa bencana alam: longsor ini memakan korban nyawa.
Kalau longsor untuk tanah, maka lèngsèr untuk seorang petinggi yang mau turun ke bawah. Kata lèngsèr ini mulai dikenal sejak tahun 1998 melalui istilah, "Lèngsèr keprabon, madeg pandhito" yang berarti turun tahta menjadi bagawan atau orang suci. Istilah ini diungkapkan oleh Presiden Suharto (1921 – 2008) yang merasa bahwa dirinya menjadi Begawan atau menjadi tempat minta nasihat atau menjai negarawan seperti Mahatma Gandhi misalnya (1869 – 1948). Dalam Mahabaratha, istilah lèngsèr keprabon sudah diucapkan oleh Sentanu yang melihat putranya (Bisma) sudah dewasa maka ia meninggalkan kehidupan yang biasa atau menjadi resi serta tidak akan mengurusi perkara-perkara kerajaan – duniawi. Lèngsèr juga memiliki makna senja hari. Senja berasal dari Sansekerta, "Samdhya" yang berarti saat pertemuan siang dan malam. Kisah Senjakalaning Majapahit memang menceriterakan sebuah ke-lèngsèr-an dari kerajaan Majapahit.
Kalau lèngsèr untuk tahta maka lungsur untuk pakaian bekas. Kalau seseorang yang – mungkin – lebih tinggi dan kaya akan memberikan pakaiannya yang masih layak pakai kepada orang yang di bawah atau lebih rendah derajatnya dinamakan lungsur. Orang yang menerima lungsuran itu tidak merasa sakit karena kejatuhan tetapi barangkali malah mendapatkan rejeki nomplok.
Dalam tradisi kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada juga istilah – maaf – lungsuran istri dari sang Raja misalnya. Selain garwa padmi (permaisuri), sang raja juga memiliki beberapa garwa ampil yang dalam tradisi kraton Ngayogyakarto Hadiningrat adalah sebutan dari para wanita yang dijadikan "istri" sementara . Nah, seandainya Raja ingin menghadiahkan garwa ampil itu kepada adipati, maka "lungsuran" itu sebagai triman (bahasa Jawa artinya: pemberian atau anugerah). Atau lebih jelasnya kita bisa mengunjungi Museum seni dan Budaya yang lokasinya di Kaliurang – Yogyakarta. Museum ini namanya Ullen Sentalu yang mengisahkan sejarah kraton Yogyakarta dan Surakarta dan sebagian besar tentang kehidupan garwa ampil.
Dalam budaya Jawa juga, kita bisa sejenak melihat kehidupan para petani sawah. Dalam bukunya yang berjudul, "Kepribadian Indonesia Modern – Suatu penelitian antropologi Budaya," Dr. Boelaars meneliti tentang mentalitas manusia: peramu, petani ladang, petani sawah dan pesisir. Petani sawah hidupnya bergantung dari air yang di atas. Yang memiliki sawah di bawah hanya menerima lungsuran air dari atas. Hidup matinya petani sawah terbawah tergantung kemurahan hati dari petani sawah yang di atas. Bayangkan jika pemilik sawah yang di atas (di sini disimbolkan sebagai "Raja") menutup aliran air, maka matilah rejeki yang di bawah. Di sini ia berharap sekali mendapatkan lungsuran.
Kalau lungsuran itu untuk pakaian – maaf – istri dan air, maka lingsér menunjuk suasana malam yang tenang bahkan mencekam bagaikan hidup di dalam bawah bumi (sapta pratala). Kata Lingsér senantiasa digabungkan dengan wêngi yang berarti malam. Lagu Lingsér Wêngi (larut malam) itu sangat terkenal. Syairnya demikian:
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno.
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro.
Aku lagi bang wingo wingo.
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang.
Wojo lelayu sebet.
Terjemahannya: Larut malam, dirimu akan lenyap. Jangan bangun dari tempat tidurmu. Awas jangan menampakkan diri. Aku sedang dalam kemarahan besar. Jin dan setan yang kuperintah. Menjadi perantara untuk mencabut nyawamu.
Lagu itu ditulis oleh Sunan Kali Jaga (diperkirakan lahir pada 1450). Ia menggunakan budaya Jawa untuk syiar agama Islam. Syair yang syiar itu supaya di waktu malam, lingsér wêngi kita tetap waspada dengan godaan.
Senin, 03 Februari 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Rabu, 12 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar