Kamis, 21 Februari 2013

JENGKEL
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Suatu hari pada suatu masa, saya berjumpa dengan ibu tengah umur yang tidak menikah dan mengeluh demikian, "Mengapa ponakan-ponakan saya ini koq tidak ada yang datang ke rumah pada HUT-ku. Padahal, mereka semua saya biayai kuliahnya. Bahkan saya membantu yang sulung waktu pernikahan. Saya juga menolong si bungsu waktu tour  ke luar negeri. Mereka tidak tahu rasa terima kasih".
 
          Kadang kita pun berpikiran demikian. Dalam diri ada keinginan untuk mendapatkan ucapan terima kasih. Jika tidak mendapatkannya, maka muncul rasa jengkel yang membuat sesak di hati. Kita lupa bahwa apa yang dirasakan oleh umat manusia zaman sekarang ini, ternyata sudah ditulis oleh Marcus Aurelius, orang paling bijak yang pernah memerintah Kekaisaran Romawi. Ia  menulis dalam diary-nya – yang sering disebut juga buku Meditations. Tulisnya,   "Hari ini saya akan bertemu dengan orang-orang yang bicara terlalu banyak – orang-orang yang egois yang mementingkan diri sendiri dan tidak tahu berterima kasih. Tetapi saya tidak akan merasa terkejut atau terganggu, sebab saya tidak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa orang-orang seperti itu."   
 
          Keluhan ibu yang tidak menikah terhadap ponakan-ponakannya tersebut di atas, sungguh merupakan hal yang amat wajar. Banyak di antara orang-orang yang kita jumpai "sulit" mengucapkan terima kasih. Suatu kali, saya pernah menghadiri pemberkatan sebuah rumah keluarga baru. Rumah tersebut adalah hadiah dari ayah pihak wanita. Rumah yang indah-megah-mewah ini dikagumi oleh para undangan. Tetapi tiba-tiba sang menantu berkata, "Sayang bahwa kran yang di dapur itu rusak!"  Tentu saja suasana pesta menjadi kacau, gara-gara  ungkapan "yang tidak tahu terima kasih itu."  Tetapi syukurlah bahwa pendeta membuka Kitab Suci dan membaca nas, "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?" (Luk 17: 17 – 18). Dan untuk membesarkan hati mertua yang memberi hadiah rumah itu, sang pendeta mengutip kata-kata dari Winston Churchill ( 1874 – 1964), "We make a living by what we get, we make a life by what we give" – Kita hidup dari apa yang kita peroleh, kita menciptakan kehidupan dari apa yang kita beri. Orang menjadi ikhlas,  legawa  dalam memberikan sesuatu karena sadar bahwa dirinya tidak minta imbalan apa pun. Jika kita bersikap "do ut des" – memberi supaya diberi atau "ada udang di balik batu",  maka hati menjadi jengkel seandainya  harapan tersebut ternyata tidak terwujud. 
 
          Pernah juga, saya mendengar seorang owner perusahaan yang mengeluh demikian, "Luar biasa para karyawan ini, saya sudah memberi THR (Tunjungan Hari Raya) dan hadiah, tetapi waktu mereka mudik, tidak satupun yang mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepada saya!"  Pemilik perusahaan yang sudah tua ini bagaikan King Lear, dalam sebuah drama tragedy karya William Shakespeare (1564 – 1616). King Lear pun berteriak-teriak, "Betapa lebih tajam dari gigitan ular berbisa, jika memiliki seorang anak yang tidak tahu berterima kasih."  Orang usia lanjut yang mendekati  post power syndrome, sungguh mengharapkan ucapan terima kasih, entah dari para bawahan maupun anak-anaknya.
 
          "Itulah hidup!" kata seorang bijak, "Ketika mengalami peristiwa yang tidak diharapkan kita menjadi jengkel". Dia menambahkan, "Hidup ini penuh misteri. Orang yang kita harapkan mengucapkan terima kasih karena kebaikan kita, ternyata malah membuat susah kita." Kemudian saya menimpali kata-kata orang tersebut, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam" (Pkh.  3: 1-2). Orang bijak itu berkata lagi, "Ada waktu orang  berterima kasih dengan pemberian kita, ada waktu untuk tidak berterima kasih dengan apa yang kita beri. Mengapa harus jengkel?" Santai aja lah!!(210213) Markus-Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 10 Februari 2013

MENGHINA
(Kontemplasi Peradaban)

Natal tahun lalu, yakni tahun 2012, saya diajak makan di salah satu Rumah Makan di Tinoor, Jl. Manado – Tomohon. Menu favorit "tikus ekor putih" yang memang tiada duanya nikmatnya itu, habis
kami santap. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata demikian, "Ini ada orang Gunungkidul yang setiap hari makan ungkrung (kepompong) dan belalang. Jijik ah!" Tentu saja kata-kata itu ditujukan kepada saya dan saya pun merasa terhina. Kemudian dalam hati saya berkata, "Obtrectare alteri quid habet utilitatis?" – mengecilkan orang lain apa sih faedahnya?

Pelbagai cara orang menghina sesamanya. Ada yang menghina bentuk fisik, keluarga besar, masa lalu, kemampuan, keyakinan dan masih banyak lagi. Dan jika pihak yang dihina tidak terima bisa melapor ke polisi dengan alasan pencemaran nama baik. Penghinaan yang dilakukan seseorang juga bisa berujung dendam seperti yang
dilakukan Drona terhadap Drupada atau
Dursasana terhadap Drupadi dalam Mahabaratha. Perasaan terhina itu bisa dibawa sampai mati dan akibatnya Drona menghalalkan segala cara untuk membalas dendam. Orang bisa terhina karena dimaki-maki di muka umum, yang dalam pepatah Latin berbunyi: argumentum ad hominem dan pihak korban berkata, "Mau ditaruh di mana
mukaku?"

Belum lagi pencemaran agama, misalnya pencemaran hosti. Ini penghinaan bagi orang yang memiliki keyakinan Kristen Katolik dan ini mengakibatkan, orang-orang yang tidak pernah masuk Gereja pun bisa membabi buta hendak menghabisi pelaku
penghinaan keyakinannya. Mereka lupa bahwa para pengikut Kristus itu sudah biasa untuk dihina. Cyrus Shahrad dalam Rahasia-Rahasia
Vatikan menulis, "Pada tahun 65, Nero (37 – 68) – lengkapnya Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus – dilaporkan duduk di atas bukit Quirinal sambil memainkan lira dan bernyanyi, sementara kota terbakar selama enam hari nun jauh di bawah bukit. Ia kemudian menyalahkan pengikut Kristus sebagai penyebab kebakaran itu. Umat Kristen kemudian dibantai secara massal oleh Nero. Sejumlah orang dilumuri lilin disulakan pada tiang-tiang dan dibakar untuk menjadi obor dalam pesta-pesta kebun. Kemudian Nero berkata, Sekarang kau sungguh-sungguh menjadi terang dunia, lux mundi!" Dalam khotbah di bukit, Yesus sendiri bersabda, "Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu
difitnahkan segala yang jahat" (Mat. 5: 11).

Kehidupan Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226) penuh dengan hinaan karena pilihan hidupnya. Buku berjudul St. Fransiskus dari Asisia yang ditulis oleh
seorang saudara dina, melukiskan bagaimana sejak dirinya memutuskan untuk hidup miskin, dirinya dicerca dan dihina, termasuk oleh bapanya sendiri yang bernama Pietro Bernardone. Dalam kisahnya, Fransiskus sering dikutuki oleh ayahnya. Suatu kali, ia minta ditemani oleh pengemis tua yang disuruh memberkatinya setiap kali dikutuki oleh bapaknya yang bengis itu, "Lihat!" kata
Fransiskus kepada bapaknya, "Tuhan menganugerahi saya seorang bapak yang
memberkati saya bila saya dikutuki." Dalam sejarah Islam, kita tersentak dengan
perjuangan kaum Muhajirin. Penghinaan dan penganiyaan yang dilakukan oleh kaum
kafir Quraisy tidak saja ditujukan kepada pengikut Nabi Muhammad SAW, namun juga ditujukan kepada para sahabat terkemuka yang dahulunya memiliki pengaruh di kalangan kaum Quarisy. Lemparan batu, kotoran unta bahkan kotoran manusia sudah tidak aneh lagi dirasakan oleh umat Islam saat itu. Meskipun begitu, Rasulullah SAW selalu menasihati untuk selalu bersabar, "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." Demikian sabda sang Nabi (Bdk. Pendidikan Agama Islam untuk SD kelas VI). Kutukan, hinaan, cercaan tidak membuat Fransiskus mundur. Hinaan itu, ibarat orang yang melemparkan batu bata kepada seseorang. Batu bata-batu bata itu tidak dilemparkan kembali sebagai balas dendam, tetapi malah dijadikan tembok. BJ Habibie menulis, "Ketika seseorang menghina kamu, itu adalah sebuah pujian bahwa selama ini mereka menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kamu, bahkan ketika kamu tidak memikirkan mereka." Hinaan dan kritik
negatif yang ditujukan kepada seseorang selayaknya diolah, sehingga tidak mematahkan semangat. Lihatlah apa yang telah dibuat oleh Fransiskus Asisi.

Olok-olok dan hinaan rupanya tidak mempan bagi pribadi-pribadi yang kuat. Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam Tears and Laughter menulis, "Olok-olok adalah lebih pahit daripada pembunuhan" dan imbuhnya, "Yerusalem tidak dapat membunuh Yesus dari Nazaret itu atau Socrates dari Atena itu; mereka masih hidup dan akan hidup kekal. Olok-olok takkan menang atas para pengikut Ilahi. Mereka hidup dan tumbuh selamanya!" (100113) Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 08 Februari 2013

ANGGAP ENTENG
(Kontemplasi Peradaban)

Lima bulan yang lalu(10 s/d 14 September 2012), saya menginap di salah satu rumah di Woloan, sebuah kampung bilangan Kota Madya Tomohon, yang sudah beberapa kali menyelenggarakan Tomohon International Flower Festival. Sayabertanya kepada salah seorang bapak muda, "Apakah di kampung ini ada warung yang jual obat nyamuk ?" Dengan sedikit tersinggung dia
menjawab, "Saudara jangan anggap enteng kampung kami ya, masak obat nyamuk
saja tidak ada. Ini penghinaan!" Dialog yang tidak simpatik pun berakhir, karena memang kampung tersebut tidak bisa dianggap sebagai udik.

Berelasi dengan orang lain, memang susah-susah gampang. Gampangnya adalah komunikasi merupakan aktivitas yang mutlak yang harus dibuat oleh manusia (Bdk. "Bangga menggunakan bahasa sendiri" Kompas 8
November 2011). Sedangkan susahnya adalah jika orang yang kita ajak bicara itu tersinggung karena merasa dianggap enteng. Abraham Maslow (1908 – 1970) dalam Mezhab Ketiga, manusia itu pada dasarnya memiliki kebutuhan ingin dihargai dan diakui. Dianggap enteng berarti dirinya tidak dihargai dan tidak diakui keberadaannya.

Terkadang, seseorang dinilai dari penampilannya. Bob Sadino (lahir: 1939) pebisnis dalam bidang livestock senantiasa
menggunakan kemaja kotak-kotak lengan pendek dan celana pendek butut. Setiap orang yang belum kenal dirinya akan
memandangnya dengan mata sebelah. Pelukis Affandy (1907 – 1990) – dalam sebuah cerita – ia hendak membeli sebuah kendaraan di sebuah toko. Sebagai seniman, ia hanya
mengenakan kaos oblong dan sarung. Para pramuria penjaga showroom tidak menyambut selayaknya pembeli. Merasa dianggap enteng oleh mereka, mendadak sontak Affandy mengeluarkan segepok uang senilai jutaan rupiah. Tentu saja orang-orang di situ langsung melayani sang pembeli tersebut.

Banyak di antaraorang-orang dewasa yang mengganggap enteng kebolehan dari anak-anak kecil. Mereka dianggap "masih bau kencur". Anak-anak kecil yang kreatif malah dianggap bodoh seperti yang dialami oleh Thomas Alva Edison kecil (1847 – 1931). Sewaktu sekolah tingkat dasar, ia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran.
Untunglah sang ibu mau "menjadi guru
privat" – kalau zaman sekarang mungkin istilahnya adalah home schooling – bagi Thomas yang akhirnya dikenal sebagai penemu Amerika. Lain lagi dengan astronot kita ini. Neil Armstrong (1930 – 2012) ketika baru berusia 10 tahun, berkata kepada ibunya, "Bu, suatu ketika saya akan berada di bulan." Ibunya tentu tidak percaya. Ia pikir ini cuma khayalan anaknya. Namun kekuatan mental Neil Armstrong membuat ia mendarat di bulan pada tahun 1969. Bahkan Yesus sempat menegur para murid ketika mereka mengusir anak-anak yang hendak
mengerumuni-Nya. Katanya, "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan
menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya
Kerajaan Allah" (Mrk. 10: 14).

Membaca buku Fabel dari India, terdapat kisah tentang Ular Bambu. Ada seorang Bodhisattva memelihara ular dan menyayanginya seperti anaknya
sendiri. Lama-kelamaan, ular itu pun
menjadi besar. Suatu kali, ia hendak memberi makan kepada ular tersebut. Dibukanya sangkar bambu dan diulurkannya tangan ke dalam katanya, "Ayo nak, pasti kamu lapar sekarang." Karena sudah kelaparan selama beberapa hari, dengan marahnya ular menggigit tangan yang terulur. Penganut Buddha pun mati seketika di samping sangkar bambu. Ketidakwaspadaan terhadap binatang maupun orang lain bisa menjerumuskan kepada kematian.

Merasa diri berkuasa dan hebat amat berbahaya. Orang menjadi tidak waspada. Robert Greene dalam 48 Hukum Kekuasaan,
menulis, "Jangan pernah terlalu memercayai
teman, tetapi pelajarilah cara memanfaatkan musuh." Pada abad ke-9, seorang pemuda bernama Michael III (842 – 867) adalah anak dari kaisar wanita: Theodora) dan naik tahta Kekaisaran Byzantium atas jasa baik pamannya yang bernama Bardas. Sebagai penguasa muda, ia berteman baik dengan Basilius (830 – 886) yang dulunya adalah seorang penjaga kuda (Bdk. From Peasant to Emperor). Karena ia diselamatkan oleh Basilius, maka sekarang ia dipercaya oleh kaisar muda. Sang pegawai rendahan istana itu pun dipercaya penuh. Michael III mengganggap enteng sahabatnya itu. Ia mengira bahwa dia akan membantunya di saat
sulit. Pada akhir hidup sang kaisar, ternyata mantan tukang kuda itu memiliki lebih banyak uang darinya, lebih banyak sekutu dalam pasukan tentara dan senat dan pada akhirnya lebih berkuasa daripada sang kaisar sendiri.

Tidak jarang pula, kita mengalami
sendiri ada orang yang merasa diri sudah banyak makan garam atau jam terbang
sudah tinggi. Karena superioritasnya
itu, seseorang menganggap enteng dengan apa yang telah ia kuasai. Francis Drake
(1540 – 1596), penjelajah Inggris yang mengelilingi dunia antara tahun 1577 –
1580, malah mendapat celaka di sungai Thames dan tewas. Sungai itu adalah
sebuah sungai yang mengalir di selatan Inggris dan menghubungkan kota London
dengan laut. Bagi Drake, sungai tersebut bagaikan panci yang berisi air saja.
Kesalahannya adalah bahwa dirinya
mengganggap enteng sungai itu dan mengakibatkan kesalahan fatal
(020213) Markus-Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 07 Februari 2013

Prihatin

PRIHATIN
(Kontemplasi Peradaban)

Di Merauke – Papua, ada daerah yang dihuni oleh para transmigran. Salah satu
lokasi itu namanya Semangga dan penduduknya mayoritas suku Jawa. Saya
singgah di sana berbincang-bincang dengan keluarga tersebut. Bapak keluarga berkata bahwa dalam minggu ini semestinya keluarga mengadakan pesta Perak Perkawinan. Namun
berhubung salah satu anaknya yang bernama Sri Suprihatini sedang menderita sakit yang serius, maka keluarga itu prihatin. Rencananya Pesta Perak akan dibuat meriah di Balai Desa dengan disuguhi kerawitan – yang gamelannya sudah nyaris rusak, karena di Merauke tidak ada bengkel gamelan. Namun karena rasa prihatinnya, keluarga hendak merayakan pesta itu hanya dengan mengundang tetangga untuk berdoa bersama dipimpin oleh ustad.

Secara etimologi, saya tidak memahami makna prihatin. Tetapi dari othak-athik gathuk, barangkali dari kata perih dan ati, yang berarti: hatinya pedih. Hatinya sedang pedih karena pengalaman hidup ekonomi yang berat. Orang-orang Jawa
mempunyai kebiasaan puasa Sênèn-Kêmés untuk prihatin atau olah rohani (askese)
supaya kuat menghadapi hidup yang tidak mudah. Nenek moyang kita telah mengalami sendiri (Zaman Belanda-Jepang-Revolusi-Orde Lama) bagaimana hidup prihatin. Hidup mereka "serba terbatas" bahkan harus mengikat pinggang supaya mampu
bertahan hidup.

Para founding father mengalami hidup yang sangat prihatin. Majalah Tempo
menerbitkan buku yang pantas kita apresiasi
yakni 4 sekawan (Sukarno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka) pendiri bangsa Indonesia. Melalui mereka itu, kita bisa berrefleksi tentang keprihatinan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jembatan Emas Kemerdekaan yang digagas oleh Bung Karno tidak
dibangun tanpa pengorbanan jiwa dan raga. Mereka hidup amat prihatin dan tidak
jarang diasingkan dalam penjara. Bung Karno (1901 – 1970), misalnya diasingkan di
Soekamiskin (29 September 1929). Namun dalam keprihatinan tersebut, meski 1929). Di pintu penjara itu ada tulisan, Incipit vita nova –– mulai sekarang saya
akan merubah penghidupan saya. Tetapi Bung Karno menimpalinya, "Tidak baik, buat apa saya itu kalimat tidak bisa dipakai. Bagi saya masuk penjara sebagai pemimpin, keluar penjara harus sebagai pemimpin, bahkan harus lebih hebat lagi!" Bahkan selama di penjara tersebut, ia malah menjadi kreatif dan terbitlah buku monumental dengan judul: Indonesia Menggugat. Kemudian 31 Desember 1931, Bung Karno keluar dari Soekamiskin dan dipindah ke Ende. Di sana
menulis risalah yang berjudul Menggali Api Islam (Notosoetardjo dalam Bung Karno Mentjari dan menemukan Tuhan).
Setelah 4 tahun di Ende itu, Bung Karno dipindah oleh Belanda ke tempat
pembuangannya yang baru pada 14 Februari 1938 di Bengkulu. Tan Malaka (1897 – 1949 ) yang berjuang demi kemerdekaan tertuang dalam buku yang berjudul Dari Penjara ke Penjara. Sastrawan dan pengamat film, Arswendo Atmowiloto menulis Menghitung Hari ketika dalam bui dan Hitler (1889
– 1945) menulis buku Main Kampf atau
My Struggle dalam tahanan. Dalam
pengasingan dan penderitaan serta keprihatinan tersebut, orang-orang menjadi
sehati-seperasaan dengan orang-orang yang "terbelenggu". Dari sanalah master-piece tercipta. Diktum Ovidius, "Dulcia non meruit, qui non gustavit amara" yang berarti: yang
tidak pernah mencecap kepahitan tidak akan dapat pula menikmati kemanisan – memang sungguh terbukti. Penderitaan dan keprihatinan yang diterima dengan ikhlas membuahkan hasil yang memuaskan.

Masa pengasingan dan pembuangan serta keprihatinan merupakan moment yang tepat untuk mengenali potensi diri. Masa-masa seperti ini dalam tradisi Gereja
Katolik disebut sebagai Masa Retret Agung (Bdk. Penanggalan Liturgi dalam setiap
masa Prapaskah). Wiracerita dari Ramayana dan Mahabaratha memberikan gambaran yang jelas bahwa dalam masa pembuangan di hutan Dandaka dan hutan Kamyaka itu tidak ada yang hilang, nothing to lose. Dalam Mahabaratha misalnya, putra-putra
Kunthi menemukan "kekuatan" dalam
keprihatinan. Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang
sakti, pengalaman Bhima bertemu dengan Hanoman dan Dewa Ruci dan pengalaman
Yudhistira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan
batin serta kemuliaan rohani para Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma. Apa yang dialami oleh para Pandawa itu menurut bahasanya Stephen Covey (1932 – 2012) dalam Tujuh Kebiasaan Yang Efektif sebagai mengasah gergaji. Gergaji yang dipakai terus-menerus akan menjadi tidak tajam, kethul. Inilah
yang disebut dengan Retreat (bhs. Latin: Re-trahere, yang berarti menarik diri dari keramaian). Orang-orang besar dalam sejarah, sebelum melaksanakan tugas besar terlebih dahulu menyepi. Nabi Muhammad menyepi di Gua Hira, Nabi Isa berpuasa di gunung dan Sidharta Buda Gautama
mengadakan meditasi di bawah pohon Bodi.

Pengalaman hidup prihatin dan
menderita-sengsara bagi orang yang berjiwa besar, bukan sebagai aib atau nista, melainkan memiliki makna rohani. Tulisan Ir. Sukarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi, mengajak para orang-orang optimis. Tulisnya,
"....Muting, Digoel,... Banda! Dan kawan kita Tjipto Mangunkusuma (1886 – 1943 berangkat membawa keluarganya, diiringi oleh isterinya yang berani dan berbesar hati – meninggalkan kita." Dalam artikel itu,
Sukarno menyebut "sampai ketemu
lagi" kepada Tjipto dan bukan "selamat berpisah". Bagi para pendiri bangsa ini, pembuangan dan diasingkan malah bisa menjadi tempat kawah condrodimuka (tempat untuk mengasah dan menguji
kemampuan). Di tempat pembuangan, penggemblengan dan penjara tentu
manusia mengalami penderitaan. Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Inggris mengalami tekanan yang berkepanjangan.
Dalam keadaan yang tertekan itu, Lloyd George – Perdana Menteri Inggris – ditanya
oleh temannya, "Bagaimana kau menjaga dirimu agar tetap sehat dengan semua
tekanan pekerjaan dan kekuatiranmu?" Kata sang Menteri itu, " Oh, Aku menganggap kesulitan sama baiknya seperti hiburan" (020113) Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 05 Februari 2013

Waktu

WAKTU
(Kontemplasi Peradaban)

Kabupaten Merauke, adalah sebuah kota yang termasuk cepat sekali perkembangannya. Kota Merauke itu datar, tidak ada bukit dan uniknya tidak ada batu. Investor menanamkan modal dengan aman dan yang pasti, penduduk kota Merauke semakin membludag. Hotel-hotel dan pusat-pusat pembelajaan sedang dibangun. Di pusat pusat
kota terdapat bangunan dengan papan nama yang asing, "Cito". Saya segera kembali ke biara dan buka Kamus Kedokteran dan ternyata cito itu berarti "segera", "dalam waktu singkat". Cito adalah laboratorium klinik untuk pemeriksaan darah. Disana juga ada dokter praktek dan Apotek. Lengkap sudah. Orang yang sedang sakit supaya
selamat harus ditangani dengan segera
dan dalam waktu singkat, cito.

Waktu memiliki dimensi yang berbeda bagi pelari 100 meter yang sedang bertanding dan mereka yang sedang pacaran. Bagi para pebisnis, waktu dianggap sebagai uang, "Time is money". Maka, para pebisnis itu selalu sibuk, busy dan dan penuh kesibukan, bussiness sebab berkejar-kejaran dengan waktu. Maka tidak heranlah jika ada pepatah Latin yang berbunyi, "Tempus fugit" yang berarti waktu berlari. Kadang orang lupa untuk refreshing atau kumpul dengan keluarga dan mereka hanya sibuk dengan bisnisnya. Orang-orang juga lupa dengan apa yang telah ditulis oleh Pengkotbah, "Untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya" (Pkh. 3: 17).

Dalam menyikapi waktu, sering muncul angan-angan seseorang, "Nanti kalau aku sudah.....". Misalnya, nanti kalau aku sudah menikah, aku akan rajin bekerja. Kalau aku sudah lulus S2, aku akan giat belajar. Nanti kalau aku sudah memiliki rumah mewah, aku akan rajin bersih-bersih rumah bla-bla-bla. Apa artinya sudah menikah? Apa artinya S2 dan apa artinya memiliki rumah mewah? Kita lupa bahwa tempus fugit. Karena itu, Plautus (251 – 183 seb.M) yang dikenal sebagai penyair termasyur pada zamannya – dramanya yang paling terkenal: Amphitryon tentang kelahiran Hercules –memiliki moto yang sangat memikat, Age si quid agis – "Jika melakukan sesuatu, lakukan segera." Pepatah Inggris juga mempunyai pepatah yang indah Don't put off till tomorrow what you can do today – "Jangan tunda sampai besok apa yang bisa Anda dapat kerjakan hari ini". Kita memiliki budaya suka menunda dan untuk pembenaran diri kita berkata, "Esok khan masih ada. Untuk apa tergesa-gesa, santai saja-lah!" Orang Romawi dalam setiap pekerjaannya selalu berkata, "hic et nunc" – kini dan di sini. Sebuah tindakan yang terjadi dalam ruang dan waktu. Orang yang sudah terbiasa menghargai waktu akan mengerjakan dengan segera dengan apa yang sudah diprogramkan.

Benar kata Eckhart Tolle, "Authentic human power is found by surrending to the now" – kekuatan autentik manusia bisa ditemukan ketika manusia ikhlas total pada masa kini. Mental hic et nunc di sini untuk meretas budaya instant – orang ingin segera cepat selesai atau ingin cepat ahli tanpa adanya belajar yang membutuhkan waktu. Kualitas dari karya seseorang diukur dari keseriusan "menikmati" waktu demi waktu secara terus-menerus. Mengontemplasikan makna waktu tersebut, kita bisa merujuk pada Pepatah Latin,"Gutta cavat lapidem, non vi sed saepe cadendo" – Tetesan air melubangi batu bukan karena kekuatannya, tetapi karena menetes terus-menerus.

Tempus fugit! Dan sebagai manusia kita tidak boleh ketinggalan waktu tersebut, ibaratnya hidup kita selalu di-update atau upgrade. Ovidius (43 – 17 seb.M) berkata, "Tempora mutantur, et nos mutamur in illis" – waktu berubah dan kita pun berubah karenanya. Ovidius mengajak kita untuk menyadari pentingnya melakukan perubahan pola pikir, mindset ataupun bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Suatu keharusan agar kita tidak ketinggalan zaman harus berani berubah. Orang bijak berkata, "Tidak ada yang abadi dalam hidup ini kecuali perubahan itu sendiri."

Kita tidak dapat menyangkal bahwa kasih, perasaan, pekerjaan dan hidup itu sendiri selalu berubah. Tempus fugit! Kehidupan manusia berlalu dengan cepatnya.

Markus Marlon dalam Pisah menulis:
Banyak sekali yang telah dilalui.
Ada yang lancar.
Ada yang penuh rintangan.
Ada yang penuh kegembiraan.
Ada pula yang penuh kegetiran.
Semua pasti mengalaminya.
Itulah kehidupan manusia.

Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita tampan atau cantik.

Saat kita 30 tahun merasa sungguh enak andaikan kita kembali muda lagi.

Saat kita 40 tahun merasa sungguh enak andai kita punya banyak uang.

Saat kita 50 tahun merasa ada kesehatan sungguh enak sekali.

Saat kita 60 tahun merasa untuk dapat hidup saja sudah sangat bagus.

Saat kita 70/80 tahun merasa kenapa hidup ini serasa sangat singkat sekali. Tempus fugit!! (301212)

Markus Marlon
Selamat Tinggal 2012 dan Selamat Datang 2013
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com