(Sebuah Percikan Permenungan)
Kemandegan adalah kata yang amat ditakuti bahkan bisa menjadi momok dalam
diri manusia yang ingin maju. Dalam buku yang berjudul, "Bhagavad Gita bagi
orang Modern" dikatakan bahwa Arjuna itu berarti "ia yang tidak lurus."
Dalam arti kata lain, ia yang bengkok. Begitulah sifat manusia, tidak
mandeg dan tidak bisa mapan. Kemandegan akan membuat manusia tumpul,
padahal ia harus berkembang terus. Atau dalam istilahnya Driyarkara dalam
filsafat manusia, manusia sebagai pribadi yang "menyebelum". Kemandegan
berarti pemberhentian. Seorang manusia dipanggil untuk maju dan berkembang
serta tidak cepat merasa puas diri. Tulisan ini, merupakan permenungan saya
pribadi, bagaimana peziarahan hidup sebagai religius mengalami jatuh bangun
untuk menemukan jati diri. Dan dari sana, saya meyakini bahwa sepanjang
hidup ini kita harus belajar atau istilah kerennya "on going formation",
atau "non scholae sed vitae discimus"
Awal Pembinaan di Seminari : Apresiasi Seni
Tidak dapat disangkal bahwa pembinaan di Seminari membawa kenangan indah.
Dan yang amat mengesankan bahwa pembinaan watak amat ditekankan. Saya masih
ingat, bagaimana harus menghafal kamus bahasa Inggris 6000 kata, ketika di
toilet. Dan ketika sore hari sementara bacaan rohani (lectio divina),
diperdengarkan musik klasik karya Johann Sebastian Bach (1685-1750), musisi
berkebangsaan Jerman, Ludwig van Beethoven (1770-1827) composer lagu klasik
dari Jerman, Joseph Haydn pemusik handal dari Austria dan Frans Peter
Schubert (1797-1828) seniman asal Austria pula. Peristiwa besar seperti MK
(Malam Kreativitas) dan Mamuri (Malam Musik Seminari), kiranya mengajak
para siswa untuk berani bebas mencipta. Dari sana pula, saya teringat
istilah creatio ex nihilo (dari tidak ada menjadi ada). Maka yang terjadi,
para seminaris ditantang untuk menjadi manusia yang kuat dalam memajukan
diri gaya Spartan. Menjelang Malam Kreativitas, para siswa rela wayangan
hanya demi satu artikel. Di ambang acara Mamuri, para siswa didorong
melototi not-not yang menghasilkan sebuah lagu. Last but not least, adalah
belajar bahasa Latin. Masih terngiang dalam benak saya bagaimana
mempelajari kisah legendaris Remus dan Romulus dalam cerita Historia Populi
Romani, dan Julius Caesar, seorang negarawan dan sastrawan Romawi. Selama
empat tahun dibina dalam tempat pendidikan itu amat membantu saya dalam
study Filsafat-Teologi dan terutama dalam karya pastoral di tengah umat.
Romo Dick Hartoko SJ (alm) pernah menuangkan gagasannya bahwa seorang
pastor haruslah menjadi seniman. Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini benar
atau salah, tetapi saya sendiri menyadari betapa pentingnya sastra, dan
penghargaan terhadap seni bagi tugas perutusan. Apakah tradisi bacaan
rohani masih dimiliki para religis zaman sekarang? Kalau saya berjumpa para
frater, lalu saya bercerita tentang "Perang Troya", "Dua belas tantangan
Herkules", "Odysseus"-nya Homerus dan "Raja Oidipus" serta "Eneas"-nya
Virgilius, mereka seolah-olah mlongo seperti mendengar barang asing.
Rupanya kisah-kisah klasik yang membentuk watak (humaniora) mulai pudar di
kalangan para seminaris.
Padahal, pengetahuan klasik semacam itu, amat berperan bagi cara berpikir
di kemudian hari. Ketika study di seminari Tinggi, dasar-dasar pengetahuan
sudah dicicipi ketika belajar bahasa Latin. Dalam buku yang berjudul, "The
Complete Texts of Great Dialoguse of Plato", di sana begitu banyak
kutipan-kutipan lengkap tentang mitologi Yunani. Orang besar seperti
Sokrates, ( 470–399 s.M.) Plato ( 428–348/347 s.M.) dan Aristoteles
(384–322 s.M.), tidak mungkin terlepas di dalam seluruh study di Seminari.
Dan dari segala buku-buku yang kita baca sering ditemukan kata-kata seperti
"gadis itu cantik seperti Venus", "panah amor", "tumit Akhiles" dan masih
banyak lagi serta terlalu banyak untuk disebutkan semuanya. Sungguh, betapa
seninya belajar sastra kuno pada waktu itu. Dan kini, setelah menjadi
religius yunior, saya dapat memetik hasilnya.
Belajar Tiada henti sebagai suatu Seni.
Sabda sang Nabi Muhammad (570-632) yang berbunyi, "Kejarlah ilmu sampai di
negeri Cina" rupanya amat tepat bagi kehidupan religius. Hidup religius
yang sebagai saksi Kristus di tengah-tengah dunia nyata, hendaklah memiliki
sikap hidup yang mau belajar tiada henti. Dalam Mahabharata, ketika
menjelang perang dimulai, Doryudana dan Arjuna menghadap Krishna untuk
minta bantuan. Krishna berkata, "Dalam keadaan seperti ini, aku terpaksa
harus membagi rata bantuan yang dapat kuberikan. Kepada satu pihak, akan
kuberikan seluruh bala-tentara Dwarkawati, kepada pihak yang kedua, aku
serahkan diriku, seorang diri tanpa senjata apa pun." Doryudana ditunjuk
untuk menjatuhkan pilihan, tentu memilih bala-tentara Dwarkawati, sedangkan
Arjuna memilih Krishna. Arjuna berkata kepada Doryudana, "Terima kasih Kak,
sebenarnya yang pihak kami kehendaki hanya keberadaan serta nasihat-nasihat
Sri Krishna dan itu pula yang kami peroleh; terima kasih sekali lagi."
Kekuatan fisik dan kekuasaan materi semuanya itu tidak begitu penting.
Kemampuan untuk berpikir secara jernih, itulah yang penting. Kemampuan
berpikir secara jernih itu, salah satunya dengan banyak belajar. "Catatan
Harian Anne Frank" adalah sebuah buku yang menghebohkan dunia dan ditulis
sejak tanggal 12 Juni 1942. Kisah buku itu diawali oleh seorang remaja
putri, Anne Frank yang suka membaca buku. Dia mengatakan bahwa buku adalah
sahabat yang paling setia, yang tidak mungkin berkianat. Dari sana pula,
sebenarnya kita belajar banyak, betapa pentingnya memperbaharui hidup
dengan cara membaca. Dalam buku yang berjudul, "To have and to be", Erich
Fromm (1900-1980), penulis, psikoanalis dan kritikus sosial membedakan
makna "to have" dan "to be". Dalam diri seorang religius yang bermental "to
have", ia membanggakan diri pada pencapaian atau perolehan (achievement)
atau gelar. Gelar sarjana yang didapatkan sebagai titik akhir dari
hidupnya. Setelah selesai kuliah, selesai sudah belajarnya. Sedangkan
religius yang bermental "to be" ialah mereka yang manjadikan gelar sebagai
titik awal dari hidupnya. Dengan demikian, seorang religius diharapkan
senantiasa memperbaharui diri terus-menerus dengan belajar. Ia sebagai
orang yang "menjadi" menurut Erich Fromm.
Penutup
Arjuna dalam pedalangan sering diucapkan dengan predikat lelananging jagad,
yang artinya lelakinya dunia. Justru karena predikat tersebut, maka Arjuna
dilukiskan sebagai seorang play boy. Kemudian muncul pameo bahwa istri
Arjuna itu "sekethi kurang siji" yang artinya seratus ribu kurang satu. Di
samping Sumbadra dan Srikandhi, terdapat pula Larasati, Ulupi, Suryawati,
Srimendang, Citragada. Semua wanita itu adalah putri para pendeta tempat
Arjuna berguru. Dalam buku "Mahabharata" tulisan P. Lal ini, perkawinan
Arjuna dengan banyak wanita itu merupakan simbol, bahwa ia kawin dengan
pengetahuan yang didapatkan dari para guru. Arjuna adalah tipe pribadi yang
suka belajar. Selamat belajar untuk hidup!!!!
Merauke, 22 Maret 2011
Markus Marlon msc