September 20, 2010 by admin
Filed under Artikel Terbaru
Pelajaran bersyukur adalah pelajaran pertama yang saya anggap penting dalam
setumpuk mata pelajaran di sekolah kehidupan Indonesia. Dalam "mata
pelajaran" yang satu ini, guru saya yang pertama dan terutama adalah
almarhumah ibu saya sendiri. Ia mengajarkan kepada saya agar mendisiplin
diri untuk belajar bersyukur dalam segala situasi, baik di kala suka maupun
di kala duka.
Bersyukur di kala suka, yakni saat hidup berjalan sebagaimana saya
harapkan, tidaklah sulit. Saya dengan mudah mengucapkan syukur atas segala
macam hadiah yang saya peroleh, prestasi yang saya raih, penghargaan yang
saya terima, dan berbagai rejeki serta kemudahan dalam kehidupan
sehari-hari. Dan setiap kali saya mengingat-ingat kemurahan Tuhan, saya
dengan mudah dapat mengucapkan syukur dalam hidup saya.
Namun, bersyukur di kala duka acap kali tidak mudah saya lakukan. Bagaimana
saya harus bersyukur ketika hidup berjalan tidak seperti yang saya
inginkan? Ketika saya kecewa karena tidak mendapatkan apa yang saya
harapkan, atau ketika beban kehidupan terasa berat karena harus menunaikan
sejumlah kewajiban dalam keluarga atau dalam pekerjaan, maka mengucap
syukur menjadi soal yang tidak mudah. Apalagi ketika saya berulang kali
harus menerima kenyataan sejumlah usaha yang saya rintis untuk meningkatkan
tarap hidup, justru berakhir dengan kegagalan dan kebangkrutan. Bukan hanya
tidak memberikan hasil seperti yang saya harapkan, saya terkadang harus
menanggung beban hutang yang harus dicicil selama beberapa tahun. Hal-hal
semacam itu membuat saya kecewa, frustasi, sedih, dan hampir putus asa.
Biasanya pada saat-saat semacam itu, gelombang kekhawatiran mengenai masa
depan muncul silih berganti. Masa depan nampak sebagai sesuatu yang
menyeramkan, dan semangat hidup turun pada tingkat terendah.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa bersyukur di kala suka itu mudah, tetapi
bersyukur di kala duka memerlukan latihan dan disiplin. Bersyukur atas
berkat yang Tuhan limpahkan itu gampang, tetapi bersyukur atas penderitaan
yang Tuhan ijinkan menimpa hidup saya, jelas tidak mudah. Dan karena yang
terakhir ini tidak mudah, saya perlu mempelajarinya dengan lebih seksama.
"Sekurang-kurangnya ada dua pilihan yang bisa kamu ambil ketika hidupmu
sedang dilanda kesusahan. Pertama, kamu bisa mengeluh atau bahkan mengutuk
hidup sendiri; Kedua, kamu bisa tetap bersyukur karena kamu yakin bahwa
tidak ada kesusahan yang di ijinkanTuhan melampaui kekuatan yang telah
diberikannya kepada kamu. Bahkan acapkali kesusahan yang di ijinkan Tuhan
itu sesungguhnya merupakan sebuah proses persiapan untuk kamu menikmati
suka cita yang lebih besar dari yang pernah kamu alami sebelumnya," kata
Ibu saya. Dan dalam praktik hidup yang nyata, Ibu saya selalu memilih yang
kedua. Sepanjang hidupnya saya tidak pernah mendengar Ibu saya berkeluh
kesah. Ia selalu bersyukur. Selalu. Ini membuat saya kagum dan menghormati
ajarannya.
Bagi Ibu saya, bersyukur adalah soal pilihan pikiran dan hati. Kita bebas
menentukan pilihan, namun kita terikat pada dampak yang ditimbulkan oleh
setiap pilihan. Entah sadar atau tidak, bagi Ibu saya jelas bahwa mengeluh
dan mengutuki kegagalan dan kesusahan hidup tidak pernah membuat hidup
menjadi lebih baik. Keluhan bahkan membuat kita makin kehilangan semangat
hidup dan terperosok lebih dalam kejurang keputusasaan. Sebaliknya, dengan
tetap mengucap syukur kita kemudian ditolong untuk menemukan kembali
kegairahan hidup, mendapatkan semacam kekuatan untuk menghadapi kenyataan
sepahit apapun. Bersyukur membuat mata pikiran [eye of mind] dan mata batin
[eye of spirit] kita terbuka lebih lebar, sehingga dapat melihat berbagai
kemurahan tuhan yang nyata-nyata telah [bukan] akan Ia berikan dalam hidup
kita. Atas kemurahan Tuhanlah kita masih hidup, masih bisa bernafas, masih
bisa makan dan minum, masih memiliki pakaian, tempat tinggal, di beri
kesehatan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, bersyukur menolong kita
untuk tetap menjaga perspektif hidup secara keseluruhan, tidak terjebak
hanya melihat sisi gelap kehidupan kita saat menderita.
Bagaimana caranya agar kita tetap mampu bersyukur dalam segala situasi,
terutama ketika situasi kita tidak menyenangkan? Bagi Ibu saya caranya
amatlah sederhana. Ia mempraktikkan syair lagu berikut:
Bila hidupmu dilanda topan b'rat
Engkau putus asa hatimu penat
Berkatmu kau hitung satu persatu
K'lak kau tercengang melihat jumlahnya
.
Itulah caranya. Dan itulah yang saya coba praktikkan selama berpuluh tahun.
Bila kesusahan hidup mendera, saya mengambil selembar kertas dan memaksa
pikiran saya untuk menemukan sejumlah hal yang pantas saya syukuri dalam
hidup. Saya mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang pernah saya
raih; menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki; menuliskan semua
tempat rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi; mencatat satu per
satu anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat saya baca;
nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah saya tolong;
bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui; dan seterusnya. Dan
sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering tercengang melihat
jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya mencapai angka
seratus. Bila saya lanjutkan, maka jumlahnya pasti bisa ditambah sepuluh
atau dua puluh kali lipat, atau bahkan lebih. Lalu saya merenung dan
bertanya pada diri saya sendiri: tidak cukup banyakkah berkat Tuhan yang
telah nyata-nyata saya terima dan saya alami dalam hidup saya? Lalu adilkah
saya bila karena sebuah penderitaan saja, semua berkat Tuhan itu saya
anggap tidak bernilai? Bukankah pada kenyataannya saya telah menerima
begitu banyak berkat yang melampaui apa yang sesungguhnya saya butuhkan
untuk hidup?
Lambat laun, setelah latihan bersyukur dalam segala situasi selama puluhan
tahun, saya kemudian menyadari ada perbedaan antara orang yang bisa
bersyukur dengan orang yang mahir bersyukur. Sama seperti orang yang bisa
berenang harus dibedakan dengan mereka yang mahir berenang, orang yang bisa
naik sepeda harus dibedakan dengan pembalap sepeda, dan seterusnya. Bisa
belum tentu mahir, tetapi mahir pasti bisa.
Orang yang bisa bersyukur adalah mereka yang bersyukur ketika hidupnya
berjalan sesuai keinginannya, tetapi mengeluh ketika kesusahan datang.
Sementara orang yang mahir bersyukur tetap bisa mengucap syukur bahkan
ketika hidup berjalan tidak seperti yang diharapkan. Kesadaran ini membuat
saya menetapkan dalam hati saya akan menempa diri agar menjadi orang yang
mahir bersyukur, bukan sekadar bisa bersyukur. Bahkan lebih dari itu, saya
berharap bisa "mewariskan" kecakapan mengucap syukur dalam segala situasi
ini kepada anak-anak saya dan kepada setiap orang yang bisa saya sentuh
hidupnya dengan berbagai cara, termasuk dengan cara menuliskan artikel
sederhana ini.
Tentang kemahiran bersyukur ini saya pernah melakukan sebuah eksperimentasi
selama sepuluh bulan dengan melibatkan 500 peserta program pelatihan dari
20-an angkatan/kelas yang saya fasilitasi. Dalam salah satu materi
pelatihan, saya meminta semua peserta berlomba mebuat daftar "25 hal yang
saya syukuri dalam hidup". Hasilnya menunjukkan bahwa untuk setiap angkatan
hanya 1-2 orang saja yang mampu menyelesaikan daftar syukur tersebut dalam
waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah 2,5 menit]. Lebih dari 95%
peserta memerlukan waktu yang lebih lama. Karena itu secara hipotetis saya
menganggap bahwa jumlah yang banyak itu termasuk kategori orang bisa
bersyukur, sementara jumlah yang 5 persen itu bisa dikelompokkan sebagai
orang yang mahir bersyukur.
Belajar mengucap syukur dalam segala situasi, itulah salah satu pelajaran
penting yang saya pelajari di sekolah kehidupan Indonesia. Dan saya sungguh
bersyukur bahwa untuk pelajaran yang sepenting itu, Tuhan memberi saya
seorang guru terbaik yang pernah saya kenal: Ibu saya sendiri.
Tabik!
*) Andrias Harefa; Mindset Therapist, Penulis 37 Buku Best-seller,
Trainer/Speaker Coach Berpengalaman 20 Tahun, founder www.pembelajar.com.
Dapat dihubungi langsung di www.andriasharefa.com atau FB:
http://facebook.andriasharefa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar