Rabu, 27 Oktober 2010

Mencintai anak

Mencintai Anak
July 13, 2009 by admin
Filed under Kolom Bersama


Oleh: Radinal Mukhtar

Di suatu daerah, tinggallah sebuah keluarga nan harmonis dan rukun.
Sepasang suami istri, dua anak, dan seorang ibu dari suami yang juga nenek
dari dua anak tersebut. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana. Tidak ada
perkelahian antara dua anak tersebut. Begitu pula dengan kedua pasang suami
istri. Sementara sang ibu, menikmati masa tua dengan bahagia bersama
cucu-cucunya.

Dan di suatu hari pula, dua anak tersebut berlari menentang tas rangsel
mereka, pulang dari sekolah dengan wajah gembira. Di tangan mereka ada dua
kertas yang dipegang erat-erat seakan tidak ada yang boleh mengambilnya.
Setelah sampai dirumah, mereka berlari menemui ibu untuk menunjukkan isi
yang ada dalam kertas tersebut.

"Ibu.! Nilai ulangan Asmira dapat 100!" anak pertama melapor.

"Nilai Dina juga 100, Bu!" anak kedua juga melapor.

Si ibu, dengan segenap kebahagiaan yang ada dalam hatinya, mengembangkan
tangannya memanggil dua anaknya kepelukannya. Dan dengan berlari, sang anak
memeluk ibunya yang langsung menciumi kedua anak tersebut.

Walhasil, berita suka cita tersebut terdegar oleh sang bapak di malam hari
ketika baru pulang dari kantornya. Dengan perasaan senang, sang bapak
menjanjikan liburan keluar kota untuk merayakan keberhasilan dua anak
tercintanya. Semua anggota keluarga setuju, tidak terkecuali nenek dua anak
tersebut yang semakin memasuki usia renta.

Tanggal untuk berlibur telah ditetapkan. Tujuan pun telah ditentukan.
Namun, apa asa, sang nenek yang telah tua renta tiba-tiba mendadak sakit.
Penyakitnya kambuh dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Si Bapak bingung.
Di satu sisi, ia berposisi sebagai anak yang harus membahagiakan Ibunya
dengan menjaganya ketika sakit. Dan di sisi lain, ia bertindak sebagai
bapak yang harus membahagiakan anak-anaknya dengan liburan. Namun, hidup
adalah pilihan. Dan dia harus memilih akibat biaya yang tidak memungkinkan
untuk melaksanakan keduanya.

Akhirnya di suatu malam. Dengan perasaan yang sedih. Ia mengajak kedua
anaknya untuk membicarakan masalah penundaan liburan. Ada perasaan tidak
enak dihatinya ketika, di awal janji liburan dahulu, ia mengetahui bahwa
anak-anaknya sangat berbahagia ketika ia mengajak mereka berlibur. Tapi apa
daya, perawatan ibu harus didahulukan. Dan tentunya akan berakibat pada
liburan yang harus ditunda bahkan dibatalkan.

"Nak! Nenek sedang sakit dan membutuhkan biaya yang besar untuk
perawatannya. Sementara, bapak tidak punya uang lebih. Liburan yang telah
kita rencanakan itu dibatalkan dulu ya? Nanti ketika bapak sudah punya
uang, kita akan liburan. Ok?" Ujar sang bapak dengan perasaan sedih di
hatinya karena ia tahu perasaan anak-anaknya.

Tidak ada jawaban dari kedua bibir anaknya beberapa saat. Si Bapak pun
tidak berani memaksakan kehendaknya hingga akhirnya kedua anak tersebut
berlari kekamar mereka masing-masing. Bertambahlah kesedihan yang ada dalam
diri sang Bapak terhadap apa yang dirasakan oleh dua buah hatinya yang
tersayang.

Belum hilang rasa sedih yang ada dalam benak sanubari sang bapak ketika
kedua buah hatinya keluar dari kamarnya. Namun yang terlihat adalah, di
kedua tangan kedua anaknya tersebut, celengan tabungan berbentuk ayam.
Kedua anak tersebut mendekati sang bapak seraya berkata.

"Pake aja uang Asmira untuk kesembuhan nenek, Pak!"

"Uang Dina juga!"

***

Membaca kisah di atas mungkin akan membuat kita bersedih bahkan menangis.
Bagaimana tidak, seorang anak yang disangka akan menolak mentah-mentah
pembatalan liburan, melakukan sesuatu yang sangat mulia dengan mengeluarkan
tabungannya. Liburan, yang pada hakikatnya adalah hak anak, akhirnya
dibatalkan.

Namun, kenyataan seperti diatas sangat berbanding terbalik dengan
berita-berita aborsi yang menghiasi media cetak akhir-akhir ini. Begitu
pula dengan pemberitaan mengenai sosok bayi yang di buang ke selokan dan
tong-tong sampah. Penelantaran anak dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, kenapa hal ini dapat terjadi? Bukankah keberadaan anak atau
generasi penerus adalah harapan yang akan meneruskan perjuangan mereka?
Sebagaimana pernyataan yang di lontarkan presiden pertama republik
Indonesia, Soekarno, yang mampu mengubah keadaan dunia dengan hanya
menggunakan sepuluh pemuda saja?

Cintailah anak atau generasi penerus, setidaknya, itu yang harus di pahami
bersama. Karena merekalah yang kelak akan membacakan sejarah-sejarah
perjuangan generasi masa kini ataupun generasi terdahulu. Merekalah yang
melanjutkan perjuangan-perjuangan dan pekerjaan-pekerjaan yang generasi
sebelumnya.

* Radinal Mukhtar Harahap. Alumnus PP. Ar-Raudhatul Hasanah ini dilahirkan
pada tanggal 25 Juli 1988 di kota Pekan Baru, Riau. Setelah menempuh
pendidikan dasar, pindah ke Kota Medan untuk menyelesaikan pendidikan
menengah pertama dan atas. Kini, sedang menempuh pendidikan strata-1 (S1)
di IAIN Sunan Ampel Surabaya sambil "nyantri di Pesantren kampus tersebut.
Dapat dihubungi di email radinal88@gmail.com atau di blog pribadi
http://kumpulan-q.blogspot.com. Dapat juga di hubungi di nomor 081331185527

Tidak ada komentar: