Kamis, 31 Juli 2008

Perampok dalam diri kita.

Perampok Dalam Diri Kita
Oleh : Gede Prama

Satu hal yang tidak bisa dihindari oleh sejumlah konsultan, lebih-lebih yang
berinteraksi intensif dengan pemilik dan pimpinan puncak, adalah menjadi
saksi hidup dari ketidakdewasaan sejumlah orang kaya pemilik perusahaan.

Ada yang baru tidak punya jabatan kemudian bikin kacau di mana-mana. Ada
yang memanas-manasin pemegang saham dengan surat kaleng. Ada yang mabok
pujian kemudian buta dengan informasi yang sebenarnya. Ada yang tidak
sependapat dengan orang tuanya, kemudian menganulir keputusan, dan
menimbulkan ketakutan di setiap pojokan organisasi. Ada yang tidak
memiliki alat memimpin yang lain kecuali mengancam. Dan masih banyak lagi
variasi lainnya.

Yang jelas, catatan kerja yang ditandai oleh seringnya bertemu dengan
manusia-manusia seperti di atas, membuat saya amat bersukur. Sebab,
perjalanan hidup yang bermula dari tangga yang amat bawah, plus seluruh
penderitaannya, membuat saya tahu apa-apa yang tidak diketahui
rekan-rekan yang baru lahir sudah menjadi orang kaya.

Sebagian klien yang dekat dengan saya, dan berhasil saya buat menjadi lebih
dewasa, berfikir kalau saya memperoleh semua ini dari sekolah saya di INSEAD
Prancis, atau di Universitas Lancaster Inggris. Kalau boleh jujur, kearifan
dan kematangan hidup lebih banyak saya temukan secara otodidak di
Universitas Kesulitan. Sebuah sekolah yang amat saya banggakan. Dan
memiliki kontribusi jauh lebih tinggi dari Universitas manapun di dunia.

Sebenarnya, ingin sekali saya mengulas semua ini dalam sebuah buku khusus.
Atau dalam sebuah tulisan panjang yang spesial membahas soal kedewasaan.
Sayangnya, saya punya dua pembatas. Pertama, waktu sudah habis untuk jadi
eksekutif puncak perusahaan, pembicara publik dan penulis. Kedua, sedang
mengurangi diri membuat ide, konsep dan paradigma yang serba jelas namun
memerangkap.

Akan tetapi, dengan seluruh keterbatasan ini, izinkan saya bertutur secara
ringkas mengenai sebagian kecil saja dari seluruh aspek kedewasaan. Dalam
bahasa sederhana, tubuh kita sebenarnya kemana-mana sedang membawa dua jenis 'perampok'. Perampok pertama, ia berasal dari luar namun dibawa masuk ke
dalam tubuh oleh panca indera, khususnya mata dan telinga. Perampok ke dua
bersumber dari dalam, pembawanya adalah emosi, perasaan dan opini.

Mari kita mulai dengan perampok jenis pertama. Hati-hati dengan mata dan
telinga. Melalui mata kita memasukkan banyak sekali hal ke dalam tubuh. Yang
jelas, ada beberapa hal yang amat terpengaruh oleh pandangan mata.
Keinginan, cinta, nafsu, dengki, iri, kagum, suka, benci hanyalah sebagian
hal yang dipengaruhi oleh pandangan mata. Demikian juga dengan telinga. Ia membawa masuk dan mempengaruhi sama banyaknya unsur dalam tubuh kita.

Orang-orang dengan kedewasaan kurang, membiarkan dirinya didikte oleh mata
dan telinga. Apa saja yang dibawa masuk oleh mata dan telinga, dikonsumsi
mentah-mentah. Ini yang bisa menjelaskan, kenapa ada pengusaha yang mudah
sekali marah dan meledak di depan umum. Ini juga yang bisa menerangkan,
kenapa begitu ada berita buruk, orang langsung bereaksi secara
serabutan. Proses masuknya informasi dan stimuli dari luar, tidak melalui
proses pengolahan yang matang, namun langsung menjadi sikap dan keputusan.
Saya amat dan teramat sering menjadi penasehat dan konsultan dari
manusia-manusia jenis ini.

Jenis perampok kedua lain lagi. Emosi, perasaan dan opini sudah ada di dalam
diri kita sebagai modal untuk berespons. Apapun stimuli dan informasi yang
datang dari luar, akan diperkosa untuk masuk ke dalam kerangka emosi,
perasaan dan opini yang ada, untuk kemudian diproduksi menjadi sikap dan
keputusan. Sikap dan keputusan menjadi banyak gelapnya, jika kerangka
terakhir juga gelap. Manusia-manusia yang sejak kecil sudah dibentuk jadi
orang penuh curiga, mudah meledak, tersinggung, senang dipuji, dan
sejenisnya mudah sekali dirampok oleh emosi, perasaan dan opini.

Manusia-manusia yang self management-nya kurang tertata, membiarkan saja
kedua perampok di atas hidup semena-mena di dalam tubuh.

Ada yang dibuat menjadi manusia frustrasi. Ada yang dibohongi seumur hidup.
Ada yang dibiarkan menjadi manusia kanak-kanak selamanya. Ada yang baru
sadar setelah ada dalam kebangkrutan atau masuk penjara. Ada yang terkejut
dengan perubahan lingkungan, begitu keadaan berubah. Dan masih banyak lagi
spesies lainnya.

Anda tentu bertanya, siapa yang bisa menghalangi kesewenang-wenangan dua
perampok di atas? Pengalaman saya bertutur, yang bisa menghalangi dan
mengelolanya hanya kejernihan fikiran.

Ibarat melihat bayangan bulan di air. Kita tentu saja tidak bisa menemukan
bulan dengan mengaduk-aduk airnya. Ketenangan dan kejernihan adalah syarat
utama bagi utuhnya bayangan bulan.

Bedanya, jika ketenangan air hanya butuh kesabaran untuk menunggu saja,
ketenangan tubuh memerlukan latihan yang lama dan panjang. Saya 'dilatih'
oleh banyak sekali kesulitan hidup. Ditabrak, diinjak, dibuat hampir mati
oleh banyak ketidaktahuan. Berperang amat lama dengan sejumlah hawa nafsu.
Dan proses peperangan terakhir akan terjadi sepanjang manusia masih
bernafas. Belum sempurna memang. Namun, begitu kejernihan fikiran berada
jauh di atas hawa nafsu, sukses mudah dan senang sekali datang berkunjung.

Nah, bila ada orang yang mampu meletakkan kejernihan fikirannya, di atas
semua unsur tubuh, perampok manapun akan berubah menjadi sahabat. Dari
sinilah kedewasaan akan tumbuh dan berkembang secara meyakinkan.

Tidak ada komentar: