Senin, 24 November 2014

Menilai

MENILAI
(Kontemplasi Peradaban)
 
"Jangan menilai seseorang berdasarkan masa silamnya, karena setiap orang mampu berubah,  malah (mungkin) jauh lebih baik dari apa yang kita sangka" (Markus Marlon).
 
Saya pernah bertanya kepada seorang pembina yang mengurusi para subyek binaannya. Pertanyaan saya itu  tentang saat-saat mana baginya yang paling rawan dalam proses pembinaan. Dengan tenang dia berkata, "Situasi yang paling rawan bagi saya adalah ketika harus mengevaluasi atau menilai para subyek bina." Dia berkata lagi, "Kadang saya melihat ada orang yang memiliki prospek yang baik, tetapi dari segi intelek  kayaknya  berat. Terpaksa dia  harus keluar!"  Dari pengakuannya sendiri, kadangkala dirinya tidak bisa tidur nyenyak ketika harus memberitahu kepada yang bersangkutan tentang penilaiannya itu,  esok hari.  

Menilai seseorang itu bagaikan "memotret individu" yang sering muncul dalam wawancara-wawancara. Pewawancara bisa saja terjebak dalam gejala-gejala  "hallo effect" yaitu terpengaruhnya pewawancara oleh kesan pertama. Dan hallo effect ini sangat memengaruhi penilaian seseorang.  Proses pembinaan pun pada hakikatnya sebuah "wawancara" yang terus-menerus.  Subyek bina seharusnya dikenali secara mendalam. Pepatah kuno mengatakan, "Don't judge a book by its cover"  – jangan menilai buku dari sampulnya. Jangan menilai seseorang atau sesuatu berdasarkan penampilannya. Penampilan kadang menyesatkan. Kenalilah lebih dalam sebelum kita memberikan penilaian.

Memang benar, menilai atau mengevaluasi seseorang itu tidak mudah. Karena yang dinilai adalah manusia yang memiliki: perasaan, pikiran, kehendak dan cita-cita.  Marilah kita ikuti kisah  "kristal labrador" untuk memudahkan memahami makna penilaian terhadap seseorang.

Sekilas pintas, kristal  labrador  itu tidak menarik. Tetapi kalau kristal tersebut diputar-putar secara pelan-pelan sambil digoyang ke sana dan ke mari, maka ia akan sampai dalam kedudukan tertentu di mana sinar  matahari masuk dan tiba-tiba kristal tersebut akan memancarkan sinar yang sangat indah dan luar biasa.

Manusia kira-kira seperti kristal itu. Mereka mungkin kelihatan tidak baik hati,  hanya karena kita tidak mengenal secara utuh dan mendalam. Di dalam setiap pribadi selalu ada sesuatu yang baik. Dalam hal ini, tugas kita bukanlah menilai atau menghakimi berdasarkan penampilannya yang mungkin tidak menarik kala itu.  Sekali lagi kukatakan, "Jangan menilai seseorang berdasarkan masa silamnya, karena setiap orang mampu berubah,  malah (mungkin) jauh lebih baik dari apa yang kita sangka."

Senin, 24 November 2014  Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 12 November 2014

Laba-laba

LABA-LABA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
"Sebuah kamar dinilai bersih kalau tidak ada sarang laba-laba" kata sebuah ungkapan.  Coba saja jika kita menginap pada sebuah "Hotel Melati"  misalnya  dan ternyata ada sarang laba-laba, tentu saja kita akan mengurungkan niat untuk menginap di sana.
          Memang, laba-laba  kadang-kadang menjijikkan untuk beberapa orang, apalagi ketika laba-laba itu menggunakan jaringnya untuk  menjerat mangsa. Sadis bener!  Melihatnya kita menjadi tidak simpati kepadanya.  Bahkan ada pepatah Latin, "plenus sacculus est aranearum" – kantong uang itu penuh laba-laba. Ungkapan yang dicetuskan oleh Catullus (84 – 54 seb. M) memiliki makna: dompetnya kosong.
  Arānea  yang dalam bahasa Latin  berarti laba-laba itu dalam Mitologi Yunani memiliki nama yang tidak harum. Tulisan Sukartini Silitonga – Djojohadikusuma dalam bukunya yang berjudul,  "Mitologi Yunani"  mengajak kita untuk menimbang asal-usul si laba-laba itu.  Pada waktu itu, hiduplah seorang wanita muda bernama Arakhne. Ia dinilai sombong, terlebih karena kepandaiannya menggunakan jarum. Bahkan dia tidak ragu-ragu mengukur kepandaiannya dengan Athena. Padahal Dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan ini luar biasa  pandai menggunakan jarum.
Athena mengajak lomba Arakhne untuk berlomba menenun dan ia kalah. Karena malu, maka Arakhne ingin lari dan menggantung diri. Namun Athena tidak ingin Arakhne secepat itu hilang dari gelanggang, maka  dengan cepat pula sang Dewi mengubahnya menjadi laba-laba. Arakhne dihukum untuk tidak henti-hentinya menenun dan  "membuat jaring".
Setelah menyimak kisah-kisah di atas, seolah-olah tidak ada kebaikan dalam diri laba-laba itu. Tetapi jangan berprasangka buruk terlebih dahulu, karena ada  laba-laba yang menjadi dewa penolong, "spider-man" contohnya. Kisah fiksi ini sudah difilmkan dengan berbagai versi.  Dan meskipun memiliki rekam jejak yang negatif, laba-laba atau sering juga disebut  tarantula itu memiliki kisah yang menarik dalam menyelamatkan nabi-nabi besar: Nabi Isa Al-Masih 'alaihissalam  dan Nabi Muhammad  Shallallahu 'alaihi wa sallam.
          Tatkala laba-laba itu melihat bayi Isa as yang digendong ibunya dan  ingin bersembunyi dari pengejaran, ia memutuskan untuk menyelamatkan-Nya. Hal yang ia lakukan adalah menenun jaring di pintu masuk gua, sehingga jaring itu menjadi semacam kain pelindung yang menghangatkan lubang di dalamnya.
          Di luar gua terdengar derap sepatu tentara-tentara yang dikirim oleh Herodes mencari bayi untuk dibunuh. Ketika rombongan tentara itu tiba di depan gua, mereka ingin segera menerobos masuk ke dalam gua dan mencari bayi Isa as. Ketika kapten melihat adanya jaring yang dibuat oleh laba-laba, ia pun berkata, "Lihat jaring laba-laba ini. Jaring ini sama sekali tidak rusak, sehingga tidak mungkin ada orang di dalamnya."  Berkat sang laba-laba, selamatlah Nabi Isa as.
          Nabi Muhammad pun berhutang nyawa kepada laba-laba. Pada saat Muhammad meninggalkan Mekkah bersama sahabat karibnya Abu Bakar, kemarahan orang-orang suku  Quraisy sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan membiarkan kedua orang yang akan berpindah tempat itu sampai di Madinah dengan tenang. Namun Allah melindungi mereka dengan mengirimkan seekor laba-laba yang menenun  jaring  melintang di mulut gua dan sepasang merpati yang membuat sarang dekat jalan masuk gua. Ketika para pencari tiba di gua, mereka dengan segera melupakannya karena tempat tersebut tidak pernah didatangi orang seperti terbukti dari  sarang  laba-laba dan merpati. Kanjeng  Nabi dan Abu Bakar pun selamat, kemudian melanjutkan perjalanan kepindahan mereka ke Medinah (Bdk.  Buku dengan judul "The Everything Koran Book" tulisan Duaa Anwar. Hlm. 35).
          Tuh khan, "Kalau tidak ada laba-laba pada waktu itu, bagaimana yang akan terjadi dunia ini?"  Jaringan yang saling ber-connect itu aslinya mirip jaring yang dibuat laba-laba. Dunia zaman sekarang ini,  manusia saling terhubung dan dari sana muncullah istilah www, World Wide Web atau JJJ, Jejaring Jagat Jembar.  Akhirnya, laba-laba, "terima kasih atas jasamu!"
 
Rabu, 12 November 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 07 November 2014

Boros

BOROS
(Kontemplasi  Peradaban)
   
"Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang mampu membatasi kebutuhan. Dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan" (Epikuros, 342 – 270 seb. M).
 
          Dalam dunia Islam kita mengenal Syaikh As Sa'di  rahimahullah  (1889 – 1956) seorang ahli bahasa Arab dan ahli fiqih serta ahli tafsir yang mengatakan bahwa orang yang boros disebut temannya setan karena setan tidaklah mengajak selain pada sesuatu yang tercela. Setan mengajak manusia untuk pelit dan hidup boros atau berlebih-lebihan. Padahal Allah memerintahkan kita untuk bersikap sederhana dan pertengahan (tidak boros dan tidak terlalu pelit).
          Dalam situasi politik yang mengerucut seperti saat ini, serta berita-berita miring tentang para pejabat yang korupsi, perlulah "dihadirkannya" sebuah  "pemerintahan yang bersih."  Konsekuensi logis dari itu adalah bahwa pemerintah harus menjadi pionir untuk hidup ugahari dan tidak boros. Tjahyo Kumolo (Mendagri) meminta supaya seluruh Pemda harus mengurangi pemborosan. Hal-hal yang tidak perlu dibelanjakan lebih baik diarahkan untuk petani, nelayan dan buruh…" (Luwuk Post, 4 November  2014).  Dana Kementrian – Presiden meminta kabinet transparan dan tidak boros (Kompas, 4 November 2014).
          Maria Antoinette (1770 – 1793) permaisuri dari Louis XVI (1754 – 1793) memiliki banyak julukan namun sayang bahwa  sebagian besar julukan itu negatif.  Ia sering merayakan pesta di istana, membelanjakan barang-barang perhiasan yang mahal-mahal, bahkan ketika negeri Prancis mengalami kesulitan keuangan, "Ia berfoya-foya di atas penderitaan rakyat."  Seneca (4 seb. M – 65 M), filsuf-negarawan-dramawan  mengatakan, "Invisa nunquam imperia retinentur diu" – pemerintahan yang dibenci tidak pernah dapat bertahan lama.  Dan akibatnya dapat kita ketahui, ia dan suaminya dihukum pancung dengan hukuman  guillotine.  Memang, "gula plures interemit quam gladius" – kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang.

          Keinginan manusia itu tidak terbatas. Mahatma Gandhi (1869 – 1948)  pernah berkata, "Seluruh isi bumi ini tidak cukup bagi orang yang serakah" dan kata-kata itu benar adanya. Tidak jarang kita melihat para ibu yang suka belanja dan kebanyakan yang dibeli itu bukan yang dibutuhkan tetapi yang diinginkan (Bdk. Buku dengan judul  "Miss Jinjing – banjir diskon").  Lantas, dalam dunia pewayangan kita kenal tokoh, Petruk yang bergelar  "kanthong bolong" – sakunya berlubang, sehingga uang terus-menerus keluar.  Ia membelanjakan – barangkali –  hal-hal yang tidak berguna, useless expenditure. Orang semacam itu dalam kitab Amsal dikatakan, "Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak tetapi orang bebal memboroskan hartanya" (Ams 21: 20). 

Kamis, 06 November 2014   Markus Marlon

__._,_.___
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 03 November 2014

Rileks

RILEKS
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Waktu saya menikmati pemandian santai di  "Relax Spa" – Cirebon beberapa tahun yang lalu, sejenak saya terkesima dengan tulisan ruangan spa  tersebut, "Santai adalah Rileks."   Spa sendiri – sejauh saya tidak salah ingat – merupakan akronim dari  "Sanitas per Aquam"  atau  "Salus per aquam"  – Kesehatan melalui Air.
          Kadangkala, orang menyamakan antara "santai" dengan "rileks," padahal kedua kata tersebut tidak sama. Kata "santai" itu berasal dari bahasa Palembang yang berarti: seenaknya atau  tidak bersungguh-sungguh. Ada juga yang mengatakan bahwa santai itu kependekan dari santap sambil melantai, makan-makan sambil duduk di lantai dan mendengarkan lagu.  "Uenak tenan" – enak sekali.  Sedangkan  "rileks" dari bahasa Latin, "relaxare" yakni: re, ke awal, lagi + laxare,  menjadi kendor. "Rileks"  yang dalam bahasa Inggris  relax berarti tidak tegang atau kendor.  Mungkin setelah berjam-jam bekerja kepala menjadi tegang, seseorang perlu untuk  refreshing,  relaxing dan itu bisa didapat dengan rekreasi.
          Pernah ada sebuah  pertanyaan yang ditujukan kepadaku, "Percayakah kamu bahwa pada saat rileks, banyak  masterpiece  – karya agung yang tercipta?"   Cicero (106 – 43 seb. M) ahli pidato, pengacara, politikus dan filsuf  Romawi pernah berkata,  "Homo relaxus"  – orang yang rileks memiliki daya cipta dan ide-ide yang tak terduga. Dalam suasana rileks, ide-ide yang terkurung menjadi "liar". Bahkan Albert Einstein (1879 – 1955) pernah berkata,  "thinking will onl get you from A to B, but imagination is able to take you from A to wherever" – nalar hanya akan membawa Anda dari A menuju B, tetapi imaginasi membawa Anda dari A ke mana pun.
          Seringkali kita mendengar  joke seperti ini, "Kantornya dipindahkan ke lapangan  golf"  Lelucon itu muncul bukan tidak tanpa alasan. Para bos dan para pemimpin tinggi dalam pemerintahan atau para direktur utama,  adalah pemegang kebijakan, stakeholder  atau pembuat   keputusan, decision maker.  Biasanya mereka tidak mengambil keputusan pada saat yang  otot dan suasana tegang. Tidak heranlah jika lobby, makan siang di restoran yang memberi suasana nyaman dan tenang acapkali dijadikan tempat pertemuan  – yang bisa jadi – menentukan nasib orang banyak.
          "Mungkin kita ingat pencipta lagu  masyur Beethoven?"  Ludwig van Beethoven (1770 – 1827)  adalah seorang komponis musik  klasik dari Jerman dan karyanya yang terkenal adalah "Simfoni ke-5"  dan "Simfoni ke-9" dan "Für Elise."  Ternyata beberapa simfoni itu dihasilkan dari kreasi mengubah yang enteng dan remeh-temah menjadi berbobot.  Yok, kita rileks jika otot tegang. Namun jangan seperti yang dinyanyikan Rhoma Irama, "Yok  kita santai agar otot tidak tegang!"

Senin, 03 November 2014   Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com