Minggu, 31 Agustus 2014

Pujian

PUJIAN
(Kontemplasi Peradaban)
                  Beberapa minggu yang lalu, saya ikut upacara wisuda lulusan D3. Di sebelah saya duduk seorang bapak yang dengan bangganya berkata sendiri, "Duh  anakku, aku bangga denganmu, sebab engkau lulus dengan nilai   kemlaut"  Sementara menyaksikan upacara wisuda yang bertele-tele, saya berpikir dalam hati, "Apa itu  kemlaut?" Tetapi akhirnya setelah saya pikir-pikir  sendiri, ternyata bapak itu sebenarnya berbicara dalam bahasa Latin, "cum laude" yang berarti dengan pujian.
          Pujian dalam bidang akademik memang sangat penting. Bahkan Stevie Wonder (Lahir, 13 Mei 1950) menjadi tersohor karena pujian dari gurunya yang bernama Beneduci. Kisah ini ditulis oleh Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam bukunya yang berjudul "How  to  Win  Friends And  Influence People." Pada waktu itu, sang guru memuji Wonder yang berhasil menemukan seekor tikus dengan menggunakan pendengarannya. Wonder menganggap tindakan gurunya untuk menghargai dirinya itu sebagai titik balik di dalam hidupnya.  Maka benarlah apa yang dikatakan John Dewey (1859 – 1952), filsuf Amerika, "Dorongan terdalam dari sifat dasar manusia adalah dorongan untuk menjadi orang penting."
          Mungkin kita pernah mendengar ungkapan, "Hati-hati dengan hadiah dari orang Yunani" maka saya pun boleh berkata, "Hati-hati dengan pujian!"
          Winston Churchill (1874 – 1965), mantan Perdana Mentri Inggris, pernah ditanya, "Tidakkah Anda merasa tersanjung, setiap Anda berpidato,  orang-orang  datang berbondong-bondong sampai tidak kebagian tempat. Mereka sangat memuji dan menyanjung Anda!"  Sang Perdana Mentri itu pun berkata "Tiap kali ingin berbangga, saya ingat satu hal ini. Seandainya saya kelak dihukum gantung, maka jumlah orang yang hadir pasti melonjak dua kali lipat."  Dari perkataan Churchill tersebut di atas, kita bisa membayangkan bagaimana orang-orang yang akan  nyalon sebagai anggota  caleg atau kepala daerah bahkan presiden yang dikelilingi oleh  timses (Team Sukses). Barangkali para timses itu memberikan banyak pujian kepada "jago"nya dan dielus-elus. Jika, sang "jago" menang, maka  timses dan sang calon akan berpesta pora, tetapi jika sang "jago" menjadi pecundang, maka  – kata orang, konon  – sudah disediakan "kamar" di Rumah Sakit Jiwa. Tentu saja, timses tidak  stress bahkan mendapatkan dana, biar pun "jago"nya kalah. Ini yang tidak adil!!
          Sebenarnya, bahaya pujian itu sudah diprediksi oleh Aesop (620 – 560 seb. M) pendongeng binatang (fable story) Yunani kuno. Dalam kisahnya yang berjudul, "Rubah dan Gagak" ia memberikan pesan moral,  supaya kita hati-hati terhadap pujian.
          Gagak – seperti yang kita tahu – adalah binatang yang paling jelek suaranya. Suatu hari ia mendapatkan sepotong keju dan terbang ke pucuk pohon yang tinggi. Seekor rubah melihat burung gagak yang tengah menikmati keju tersebut dan berkata, "Kurasa aku tahu cara untuk mendapatkan keju itu."
          Rubah berdiri di bawah pohon dan berteriak ke arah burung gagak, "Hari yang indah, gagak sahabatku. Kamu tampak sehat hari ini. Sayap-sayapmu berkilauan, bulu-bulumu halus sehalus bulu elang dan cakar-cakarmu tampak setajam silet. Aku belum pernah mendengar suaramu bernyanyi, tapi aku yakin suaramu sangat merdu."
          Burung gagak memercayai dan menyukai setiap kata yang diucapkan rubah. Ia memutuskan untuk membuktikan kepada rubah bahwa kata-katanya memang benar. Tetapi begitu ia membuka paruhnya untuk bernyanyi, keju yang tengah di makannya terjatuh.

Senin, 01 September 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: