Senin, 18 Agustus 2014

Diinjak-injak

MENGINJAK-INJAK
(Mencari Makna Sebuah Peristiwa)
 
          Ketika saya melihat TIFF (Tomohon International Flower Festival) di Tomohon – Sulawesi Utara  (Jumat, 8 Agustus 2014), saya dikejutkan oleh kata-kata seorang pemuda, "Lihat  tuh!  pejabat yang berdiri di sana itu saya junjung tinggi, tetapi pribadinya ada di bawah telapak kaki saya, bahkan saya injak-injak."
          Kata-kata tersebut mengandung suatu "pelecehan" tetapi memang begitulah yang pemuda  alami dan rasakan. Barangkali orang  – yang dikata-katai itu – memiliki jabatan yang tinggi, tetapi sikapnya atau kelakuannya yang tidak terpuji, sehingga pantas untuk diinjak-injak. Menginjak-injak memiliki makna "merendahkan, meremehkan dan menghina" seperti asal-usul katanya yang dari bahasa Sansekerta, inyak.
          Telapak kaki  dalam beberapa cerita, legenda atau dongeng,  memiliki makna yang beraneka ragam. Adagium  mengatakan, "Surga terletak di telapak kaki ibu."  Orang India kalau menghormati seseorang  memegang kakinya dan dalam "Kisah Mahabharata" versi Wayang Purwa Yogyakarta – bukan India – bisa kita dengar  sesumbar (berjanji sambil berkoar-koar dan biasanya ingkar janji) dari Dursasana yang mengatakan, "Kakang mbok  Banowati, kalau Astina kalah dalam perang baratayuda jayabinangun  akan saya sembah dlamakan kakang mbok!"  artinya: telapak kaki Banowati. Ini berarti Dursasana rela dan mau dianggap hina dan diinjak-injak oleh iparnya sendiri. Kita menjadi ingat akan abdi dalem atau rakyat jelata yang jika berhadapan dengan sang Raja akan berkata, "Duli Tuanku!" Duli adalah setitip debu yang menempel di kaki sang Raja.
          Orang yang kalah perang kalau tidak menjadi tawanan, budak juga pantas untuk diinjak-injak. Bukti ini dapat kita baca dalam buku yang berjudul, "Kristus" tulisan Fulton Sheen(1895 – 1979). Ia menulis demikian, "Pada piring-piring marmer kuno dari orang Asyria dan Babilonia, pada ukiran-ukiran tembok orang Mesir, pada batu-batu nisan orang Persia dan pada tugu-tugu Romawi, orang dapat melihat lukisan arak-arakan kemenangan  raja-raja dan orang tercengang akan kemahamuliaan raja-raja ini yang menunggang  kuda atau kereta kemenangan berjalan di depan pawai kemenangan. Bahkan terkadang berjalan di atas tubuh musuh-muduh mereka ang berbaring di tanah" (hlm. 273).  Kasihan sekali orang yang kalah perang, "sudah malu, dipermalukan dan diinjak-injak, lagi!"  Post verba verbera – sesudah dikata-katai (kemudian) digebuki atau dipukuli. "Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi!"
          Jika di atas tadi bercerita tentang musuh yang kalah perang, injak-menginjak juga terjadi bagi mereka yang telah murtad. Ini terjadi dalam diri orang yang beragama Yahudi. Kalau ada seorang Yahudi yang murtad, tetapi kemudian kembali bertobat, maka sebelum ia bisa diterima kembali ke dalam pesekutuan, ia harus melakukan hal berikut ini. Dengan penyesalan yang mendalam, ia harus tidur melintang di pintu masuk sinagoga dan mempersilakan setiap orang yang akan masuk sinagoga untuki menginjakkan kakiknya pada tubuhnya. Di tempat-tempat tertentu, Gereja purba mengambil alih kebiasaan sinagoga itu. Orang Kristen yang terkena "hukuman"  sebelum bisa diterima kembali harus tidur melintang di pintu Gereja dan setiap orang yang akan masuk Gereja dipersilakan untuk menginjkkan kakiknya pada tubuh orang tersebut. Orang yang bertobat tersebut mengatakan, "Injaklah aku, karena aku adalah garam yang telah kehilangan rasa asisnnya" (buku "Pemahaman Akitab setiap hari – Injil Matius"  hlm. 203 – 204).
          Memang, pribadi atau sesuatu bisa saja diinjak-injak jika tidak berharga lagi, seperti yang dikatakan Yesus, "Vos estis sal terrae. Quod si sal evanuerit, in quo salietur? ad nihilum valet ultra, nisi ut mittatur, foras et conculcetur ab hominibus" – Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dad diinjak orang  (Mat 5: 13).  Perkataan ini sulit dipahami, sebab garam sebenarnya tidak akan pernah kehilangan rasa asin.
          Untuk memahai hal tersebut di atas, mungkin baik kalau kita mendengar cerita yang berikut. Di tanah Kanaan kuno, rumah tangga selalu memunyai dapur yang terletak di luar rumah. Tungku itu dibuat dari batu dengan alas tanah liat seperti batu bata. Untuk memperoleh dan mempertahankan panas, maka di bawah alas batu bata tersebut biasanya diletakkan garam yang cukup tebal. Setelah beberapa waktu garam tersebut akan hilang. Kalau garam tersebut telah hilang, maka batu bata tersebut harus dibongkar dan tanah dan bersama garamnya harus ke jalan dan diinjak-injak oleh orang yang lewat di situ. Dalam hati saya hanya bisa berkata, "Kacian dech!"
Kamis, 14 Agustus 2014    Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: