Senin, 12 Mei 2014

Tugas Agung

TUGAS  AGUNG
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
         
          Belum lama ini (Minggu, 11  Mei 2014), saya berjalan-jalan di "Bukit Inspirasi"  atau bukit  Keles – Luwuk (Sulawesi Tengah). Malam itu Kota Luwuk begitu indah bertaburan dengan lampu-lampu temaran. Menikmati kota Luwuk di waktu malam sepertinya saya memandang kota Jayapura dari ketinggian  by night. Sambil menikmati indahnya malam kota Luwuk, dari jauh terdengar senandung musik klasik karya  Friedrich Händel (1685 – 1759) yang berjudul   "Messiah."  
          Di  keheningan malam itu, pikiranku melayang-layang pada apa yang dikerjakan Händel pada waktu menciptakan karya tersebut. Dalam biografi-nya, Händel menciptakan karya tersebut dalam waktu dua puluh dua hari dan selama waktu itu ia hampir tidak berkeinginan untuk makan atupun tidur. "Tugas agung"  tersebut memberinya kekuatan sendiri. Saya menamainya sebagai "tugas agung"  sebab masing-masing kita diciptakan secara unik dan khusus. Kekhususan dari manusia itu adalah berkarya, bahkan orang yang tidak memiliki karya dalam hidupnya  tetap memiliki tujuan dalam hidupnya (Bdk. Buku legendaris tulisan Rick Warren dengan judul  The Purpose Driven Life).
          Tugas yang dipercayakan  kepada kita (apa pun namanya:  boss, pembesar, ibu rumah tangga, karyawan  maupun tukang sapu) haruslah dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, bahkan menumbuhkan rasa kepuasan batin (passion).  Albert Schweitzer (1875 – 1965) seorang dokter dan misionaris menemukan rasa bahagia ketika mengobati seorang pasien. Dengan perlahan si pasien membuka matanya dan kemudian berbisik keheranan, "Aku tidak lagi merasa sakit." Itulah kebahagiaan terbesar bagiku. Tidak ada pahala material di sana kecuali sebuah kepuasan dalam bertugas (Bdk.  Memahami Alkitab: 1 dan 2 Petrus, tulisan William Barclay hlm. 151).  Sebagai dokter dan misionaris, Schweitzer menyadari bahwa tugas pekerjaannya senantiasa diselesaikan dengan sempurna. Pepatah Latin menulis, "Finis coronat opus" – hasil akhir memahkotai sebuah kerja keras. Memang, mahkota sebuah tugas adalah ketika tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik.  "Kita berusaha untuk mendapatkan mahkota kemenangan dalam setiap pertandingan kehidupan ini" seperti yang dikatakan oleh Plutarch (45 – 120).
          Plutarch mengatakan bahwa ketika seorang Sparta memenangkan pertandingan, hadiahnya adalah bahwa ia boleh berada di sisi Raja. Ketika seorang pegulat Sparta ditawarkan suap yang begitu besar agar dia keluar dari pertandingan, ia menolak. Lantas, seseorang bertanya, "Hai orang Sparta, apa yang kamu peroleh dari kemenangan yang mahal harganya itu?" Jawabnya, "Aku telah memenangkan hak istimewa untuk berdiri di depan Rajaku dalam pertandingan. Hadiahnya adalah melayani dan jika perlu mati demi sang Raja." Sebuah kepuasan batin yang mendalam, karena boleh melayani sang Raja.
          Pada suatu  kesempatan, saya pernah  menemui seorang ibu yang "malu-malu kucing"  bila ditanya tentang tugasnya. Dia berkata, "Tugas saya hanyalah ibu Rumah Tangga!" Lantas,  saya pura-pura bersikap bijak dan berkata, "Ibu,  tugas sebagai ibu Rumah Tangga itu amat agung. Secara tidak sadar ibu  – sebenarnya – menyiapkan generasi pemimpin masa depan. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi dalam diri anak-anak ibu ini."  Di kemudian hari, ibu akan mensyukuri pengalaman sebagai ibu Rumah Tangga, "operae pretium est" – nilai kerjanya sesuai. Nilainya amat tinggi ketika mengerjakan "tugas agung" tersebut. Bahkan di kemudian hari, seorang ibu akan sangat bahagia dan berkata seperti apa yang dikatakan oleh Paulus, "Kalau demikian apalah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil" (1 Kor  9: 18).
          Melalui "tugas agung" yang dipercayakan kepada kita, tidak perlu kita rendah diri (minder) jika berhadapan dengan orang lain yang memiliki kedudukan tinggi atau barangkali lebih beruntung.  Pada akhir hidup kita, Sang Pemilik Kehidupan akan meminta tanggung jawab kepada masing-masing kita, "Bagaimana engkau mengembangkan talentamu?" (Bdk. Mat 25: 14 – 30, "Perumpamaan tentang Talenta").  Noblesse oblige, yang kurang lebih berarti: "yang memiliki lebih akan dituntut lebih."
 
Senin, 12 Mei 2014  Markus Marlon markus_marlon@yahoo.com


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: