Senin, 26 Mei 2014

Sapa

SAPA
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
         
          Ketika sedang asyik-masyuk mendengar lagu  lawas  dengan judul  "Aku" beberapa hari yang lalu (Perjalanan dari Baruga ke Luwuk, Senin, 26 Mei 2014), saya terkesima dengan syair dari lagi tersebut. Lagu dengan singer  Christ Kayhatu dan Nunung Wardiman itu  berlirik, "Kau sapa hatiku, sekilas senyum saat kukenal dirimu..."
          Sapaan atau  say hello adalah suatu aktivitas yang mudah, namun sayang bahwa kita tidak mudah melakukannya. Memang, sapaan itu "susah-susah  gampang!" Betapa susahnya menyapa orang yang telah menyakiti hati kita. Di pihak lain, betapa gampang-nya  kita menyapa sahabat-sabahat akrab.
          Zaman mutakhir ini – dengan maraknya dunia maya – manusia seolah-olah bisa  menyapa orang lain tanpa batas. Group milis  dan  broadcast  atau dunia papperless  cepat atau lambat akan  menggantikan mass-media: koran dan majalah atau bulletin .
          Teguran atau  warning lebih  tendency daripada sapaan. Maka tidak mengherankan jika dalam dunia pemerintahan  ada istilah: teguran I, teguran II dan teguran III, yang dalam kepolisian disebut sebagai  "surat panggilan."  Kisah "teguran" ini bisa kita lihat dalam film yang berjudul  "The Mission."  Salah satu adegannya yaitu teguran yang tidak  empan papan (Bhs. Jawa: tidak pada pada tempatnya). Waktu itu Redrigo Mendoza sedang memiliki masalah dengan gadisnya. Tiba-tiba ditegur oleh temannya Filipe. Tanpa  "ba-bi-bu" Mendoza  kill him in a duel.
          Sapaan memiliki makna persahabatan. Zaman dulu Paulus dari Tarsus pun menulis surat (ensiklik) dan menyapa orang-orang seperti: Kloë (1 Kor 1: 11), Akwila dan Priskila (Kis 18)  Titus, Filemon dan masih banyak lagi.  Kemudian itu pun ditiru oleh beberapa orang dengan menyebutnya sebagai: sapaan gembala, "jumpri" – jumpa pribadi dan sapaan saudara  (confratres).
          Setiap orang – pada dasarnya – ingin diperhatikan dan diakui. Untuk itulah, orang ingin disapa secara  personal. Orang akan merasa senang kalau namanya ditulis dalam "sapaan konfrater" karena, "Nomen est noment" – nama adalah tanda. Sebaliknya, orang tidak akan baca short massage pada  smartphone-nya , jika ternyata dikirim secara broadcast. Orang akan marah waktu berjumpa tetapi yang memberi salam atau yang menyapa itu mukanya memandang ke tempat lain (merasa dianggap entheng).  Sapaan secara pribadi  memang dinanti-nantikan.
          Tetapi ingat bahwa siapa yang penyapa  itu memiliki pengaruhnya sendiri:  Kepala dinas menyapa para karyawan, Provinsial menyapa anggotanya dan uskup menyapa para imamnya. Karyawan, anggota Tarekat dan imam yang disapa akan merasa bahwa "sapaan"-nya itu memiliki bobot. Berbobot karena yang menyapa memiliki otoritas dan pengambil kebijakaan, (stakeholder). Sebaliknya, sapaan sahabat yang sederajat itu baik dan perlu, tetapi sekedar menyapa dan membuat orang yang disapa merasa senang dan terhibur, tetapi tidak berdampak  apa-apa.  Tetapi meskipun demikian, "saling menyapalah" sebagai saudara.
 
Selasa, 27 Mei 2014   Markus Marlon
 


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: