Sabtu, 31 Mei 2014
Menjelekkan
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Ketika saya sedang berenang di pantai Kilo Lima Luwuk – Sulawesi Tengah (Kamis, 29 Mei 2014), ada seorang anak kecil menangis tersedu-sedu. Kemudian saya bertanya mengapa menangis. Jawabnya adalah karena dirinya dijelek-jelekkan oleh temannya. Mendengar kata-kata anak kecil itu, pikiranku langsung melambung jauh memasuki lorong-lorong waktu beberapa tahun yang lalu, bagaimana nama saya dijelek-jelekkan. Memang menyakitkan!
Setiap orang tentu pernah dijelek-jelekkan atau difitnah. Dan – sialnya – sasaran kejelekan itu adalah nama diri kita. Kalau orang menjelekkan gigi saya yang tongos atau tangan saya yang ada panunya tidak masalah. Tetapi jika orang lain sudah menjelekkan nama diri, maka akan berakibat lain. "Nomen est omen" – Nama adalah pertanda. Dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik. Tidak mengherankan jika nama baik itu senantiasa dijunjung tinggi. Lihat saja berapa kasus tentang "pencemaran nama baik" yang sering masuk dalam media.
Dalam dunia politik, menjelekkan orang lain bisa disamakan dengan black campaign atau kampanye hitam. Kampanye hitam sebenarnya semacam gosip, hanya ini dilontarkan dalam rangka perebutan kedudukan, posisi dan kesempatan serta kepentingan pribadi/ kelompok. Kata-kata (whispering campaign) yang dilontarkan lawan politiknya mampu menembus benteng atau geladak kapal yang paling tahan meriam sekalipun. Bahkan Napoléon Bonaparte (1769 – 1821) lebih takut black campaign daripada moncong meriam.
"Annus horribilis" – tahun yang dahsyat; tahun yang mengerikan ini orang-orang saling menjelekkan. Yang dulu lawan, kini menjadi kawan dan sebaliknya. Dalam dunia politik muncul suatu pepatah, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – Lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Dulu saling memuji namun saat ini mereka saling menjelekkan.
Bahasa Yunani untuk orang yang suka menjelekkan orang disebut diabolos (bhs. Latin diabolus dan bahasa Inggris: diabolic) yang juga diterjemahkan dengan "iblis." Iblis adalah teladan bagi orang yang suka menjelekkan orang lain dan baginya iblis adalah pemimpinnya. Dalam arti tertentu, menjelekkan orang lain adalah dosa yang kejam. Kata sifat diabolical memiliki arti: kejam. Diabolical torture berarti penyiksaan yang kejam dan diabolical grin berarti seringai yang menyeramkan, menyeringai seperti iblis. Bila harta benda seseorang dicuri, ia masih dapat mencarinya lagi tetapi jika nama baiknya jatuh, kerusakannya tidak dapat diperbaiki lagi.
Shakespeare (1564 – 1616) pernah menulis puisi:
Nama baik adalah permata indah di dalam jiwa.
Siapa yang mencuri kantongku hanya mencuri sampah, semua itu tidak berarti. Dulu milikku, kini miliknya dan telah menjadi milik ribuan orang.
Tetapi siapa yang mencuri nama baikku, merampok sesuatu yang tidak akan membuatnya kaya dan tentu membuat aku menjadi miskin, semiskin-miskinnya.
Sabtu, 31 Mei 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Senin, 26 Mei 2014
Sapa
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Ketika sedang asyik-masyuk mendengar lagu lawas dengan judul "Aku" beberapa hari yang lalu (Perjalanan dari Baruga ke Luwuk, Senin, 26 Mei 2014), saya terkesima dengan syair dari lagi tersebut. Lagu dengan singer Christ Kayhatu dan Nunung Wardiman itu berlirik, "Kau sapa hatiku, sekilas senyum saat kukenal dirimu..."
Sapaan atau say hello adalah suatu aktivitas yang mudah, namun sayang bahwa kita tidak mudah melakukannya. Memang, sapaan itu "susah-susah gampang!" Betapa susahnya menyapa orang yang telah menyakiti hati kita. Di pihak lain, betapa gampang-nya kita menyapa sahabat-sabahat akrab.
Zaman mutakhir ini – dengan maraknya dunia maya – manusia seolah-olah bisa menyapa orang lain tanpa batas. Group milis dan broadcast atau dunia papperless cepat atau lambat akan menggantikan mass-media: koran dan majalah atau bulletin .
Teguran atau warning lebih tendency daripada sapaan. Maka tidak mengherankan jika dalam dunia pemerintahan ada istilah: teguran I, teguran II dan teguran III, yang dalam kepolisian disebut sebagai "surat panggilan." Kisah "teguran" ini bisa kita lihat dalam film yang berjudul "The Mission." Salah satu adegannya yaitu teguran yang tidak empan papan (Bhs. Jawa: tidak pada pada tempatnya). Waktu itu Redrigo Mendoza sedang memiliki masalah dengan gadisnya. Tiba-tiba ditegur oleh temannya Filipe. Tanpa "ba-bi-bu" Mendoza kill him in a duel.
Sapaan memiliki makna persahabatan. Zaman dulu Paulus dari Tarsus pun menulis surat (ensiklik) dan menyapa orang-orang seperti: Kloë (1 Kor 1: 11), Akwila dan Priskila (Kis 18) Titus, Filemon dan masih banyak lagi. Kemudian itu pun ditiru oleh beberapa orang dengan menyebutnya sebagai: sapaan gembala, "jumpri" – jumpa pribadi dan sapaan saudara (confratres).
Setiap orang – pada dasarnya – ingin diperhatikan dan diakui. Untuk itulah, orang ingin disapa secara personal. Orang akan merasa senang kalau namanya ditulis dalam "sapaan konfrater" karena, "Nomen est noment" – nama adalah tanda. Sebaliknya, orang tidak akan baca short massage pada smartphone-nya , jika ternyata dikirim secara broadcast. Orang akan marah waktu berjumpa tetapi yang memberi salam atau yang menyapa itu mukanya memandang ke tempat lain (merasa dianggap entheng). Sapaan secara pribadi memang dinanti-nantikan.
Tetapi ingat bahwa siapa yang penyapa itu memiliki pengaruhnya sendiri: Kepala dinas menyapa para karyawan, Provinsial menyapa anggotanya dan uskup menyapa para imamnya. Karyawan, anggota Tarekat dan imam yang disapa akan merasa bahwa "sapaan"-nya itu memiliki bobot. Berbobot karena yang menyapa memiliki otoritas dan pengambil kebijakaan, (stakeholder). Sebaliknya, sapaan sahabat yang sederajat itu baik dan perlu, tetapi sekedar menyapa dan membuat orang yang disapa merasa senang dan terhibur, tetapi tidak berdampak apa-apa. Tetapi meskipun demikian, "saling menyapalah" sebagai saudara.
Selasa, 27 Mei 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Senin, 19 Mei 2014
Jejak
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Beberapa hari lalu – tepatnya – hari Sabtu, 17 Mei 2014, saya jalan-jalan di halaman SMP-SMA Muhammadiyah, Jl. KH. Ahmad Dahlan – Luwuk (Sulawesi Tengah). Di sana ada seorang siswa memegang bendera semapore (cara untuk mengirim dan menerima berita dengan menggunakan bendera, batang, dayung atau tangan kosong). Kemudian saya mendekati satu regu yang sedang "mencari jejak." Kegiatan ini menarik sekali bagi kaum remaja untuk membina sikap mental yang positif. Dalam beraksi mereka bagaikan MacGyver, sebuah petualangan action gaya Amerika yang digarap oleh Lee David Zlotoff. Untuk memecahkan suatu problem, perlu dicari jejak-jejak langkah pelakunya.
Pada saat-saat tertuntu, orang ingin sekali menghilangkan jejak jika ternyata masa lalunya kurang baik . Bahkan dalam dunia kriminalitas ada suatu gerakan memutuskan mata rantai, semacam menghilangkan jejak dengan cara membunuh saksi, misalnya. Kalau seseorang ingin menghilangkan sejarah, berarti membunuh pembuat sejarah itu, seperti Malin Kundang yang tidak mengakui bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya. Akibatnya, ia dikutuk menjadi batu.
Namun dalam dunia nyata, tidak seorang pun mampu menghilangkan masa lalunya. Bung Karno (1901 – 1970) pernah mengatakan, "Jasmerah" yang berarti Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Dan memang untuk menjadi pengayom masyarakat, syarat utama adalah memiliki rekam jejak (track record) yang baik dalam hidupnya. Mungkin kita bertanya, "Bagaimana mungkin akan membawa domba ke tempat rumput yang hijau jika orang yang sama pernah membantai domba-domba tersebut?"
Dalam dunia kuno, ada suatu kebiasaan yang disebut damnatio memoriae, kutukan terhadap cacatan nama baik seseorang. Seseorang yang telah banyak menunjukkan pengabdian kepada negara, namanya akan tercantum dalam buku-buku peringatan dan dalam prasasti-prasasti serta buku-buku sejarah. Tetapi jika ternyata, ia melakukan perbuatan-perbuatan yang hina dan tidak terpuji, maka nama orang orang itu akan dikutuk. Pada waktu itu, kehancuran secara total akan menimpanya yaitu bahwa namanya akan disirnakan dari semua buku atau prasasti yang pernah memuatnya (Bdk. William Barclay dalam bukunya yang berjudul "Memahami Alkitab: Surat Galatia dan Efesus" hlm. 105).
Pepatah Latin menulis, "Vestigia, nulla retrorsum" – Jejak kaki itu tidak ada yang mundur. Namun bagi para gerilyawan untuk mengelabuhi musuh-musuh, mereka harus membalik jejak-jejak sandal atau sepatu yang mereka pakai. Dan ini tentunya akan membingungkan bahkan bagi tentara yang memiliki peralatan secanggih Amerika. Kisah seperti ini dapat dilihat pada jejak perang Vietnam di War Remnants Museum yang di sana berdiri Patung Om Ho Chi Minh (1890 – 1969).
Ketika sedang menulis "Jejak" ini saya menjadi geli sendiri sebab kucing yang selalu menemaniku kerja, jika sehabis membuang hajat, dia selalu menutupinya dan mengendus-endus "jejak" itu. Hal tersebut dibuat supaya tidak ada kucing lain atau anjing yang mengetahui jejaknya. Lalu pikiran saya terbang ke toilet di pelabuhan kapal terbang (Airport), di sana tertulis, "Jangan tinggalkan Jejak. Kering itu Sehat." Saya tidak mengerti maksudnya. "Wallahualam" – Allah yang lebih mengetahui.
Senin, 19 Mei 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Jumat, 16 Mei 2014
Gelisah
(Menangkap "Daun-Daun Sabda" Yang Melayang-layang)
Ada seorang bapak muda yang gelisah sambil menghisap rokok di selasar Rumah Sakit. Ketika saya tanya, ternyata ia sedang menunggu kelahiran buah hatinya untuk yang pertama kali. Di tempat lain, ketika saya menunggu giliran di ruang tunggu dokter gigi, saya gelisah mendapat giliran, apalagi mendengar suara bor di ruang praktek sang dokter. Ada juga seorang ibu sangat muda yang sudah menikah lima tahun, namun belum juga mengandung. Ibu muda itu sangat gelisah ketika mertuanya berkata, "Kapan saya bisa menimang cucuku?"
Ketakutan, kecemasan dan galau adalah pengalaman yang amat dekat bahkan melekat di hati setiap umat manusia. Namun pada hari ini, kita membaca sabda Tuhan, "Jangan gelisah hatimu: percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku..." (Yoh 14: 1).
Membaca sabda Tuhan dan melihat kenyataan hidup, kita bertanya, "Bagaimana kegelisahan itu menyelimuti hati kita dan bagaimana agar kita bisa melenyapkan kegelisahan atau – paling tidak – menguranginya?" Setelah saya renungkan, ternyata kegelisahan kita itu berkisar tentang relasi kita dengan diri sendiri dan sesama serta Tuhan. Dengan diri sendiri, kita gelisah karena – mungkin – ada penyakit yang berat sehingga setiap hari gelisah sambil berdoa, "Tuhan sembuhkanlah aku!" Relasi kita dengan sesama ada "gangguan" yang menjadikan diri kita tertekan, jika harus "berurusan" dengannya dan relasi kita dengan Tuhan pun sering "tidak akrab" dan terasa kering.
Barangkali yang paling menggelisahkan dalam hidup ini adalah relasi kita dengan sesama. Ada yang mengatakan bahwa dirinya senantiasa hati-hati dalam berbicara, takut jika menyinggung perasaan orang lain. Bahkan ada suatu relasi yang nampaknya adhem ayem (bhs. Jawa: tenang-tenang dan damai) tetapi ternyata di balik semua itu ada kegelisahan. Gelisah sebab ada saling curiga dan tidak percaya, sehingga perjumpaan-perjumpaan yang mereka alami nampak hambar. Relasi dengan orang tersebut, seolah-olah di atas mereka tergantung "Pedang Damocles." Ungkapan "Pedang Damocles" ini didasarkan atas cerita Yunani Kuno yang menggambarkan ancaman yang tersembunyi dalam kehidupan yang tampaknya aman-aman saja. Ibaratnya, relasi kedua orang itu menunggu "bom waktu" meletus. Mengerikan!
Ada ungkapan kuno yang berbunyi, "Jika hendak hidup tenang, bersahabatlah dengan masalah." Kegelisahan pun sering kali kita anggap sebagai masalah atau problem, maka sudah layak dan sepantasnya kita bersahabat dengannya. Dalam pengalaman, ternyata apa yang sering kita gelisahkan tidak terjadi. Hal itu seperti bayang-bayang (shadow) kita dari terpaan matahari pada pukul 15.00 sore. Bayangan kita begitu besar, demikian pula kegelisahan kita. Di sini Helen Keller (1880 – 1968) berkata, "Arahkanlah wajah kita menghadap matahari, maka kita tidak akan melihat bayang-bayang." Dalam arti ini, Keller mengajak kita untuk berpasrah kepada Tuhan.
Kadang kala kita gelisah secara berlebihan. Sedang sakit sedikit saja, pikiran sudah cemas dan gelisah. Sedikit badan tidak nyaman langsung ke dokter atau hendak makan ini dan itu takut nanti bagaimana gula darah, colesterol dan trigliserit. Orang Latin berkata, "Non curatur, qui curat" – yang selalu risau (justru) tidak mudah sembuh. Kita perlu bersahabat dengan kegelisahan dan perlu bersikap sumèlèh (bhs. Jawa: pasrah yang proaktif).
Jumat, 16 Mei 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Senin, 12 Mei 2014
Tugas Agung
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Belum lama ini (Minggu, 11 Mei 2014), saya berjalan-jalan di "Bukit Inspirasi" atau bukit Keles – Luwuk (Sulawesi Tengah). Malam itu Kota Luwuk begitu indah bertaburan dengan lampu-lampu temaran. Menikmati kota Luwuk di waktu malam sepertinya saya memandang kota Jayapura dari ketinggian by night. Sambil menikmati indahnya malam kota Luwuk, dari jauh terdengar senandung musik klasik karya Friedrich Händel (1685 – 1759) yang berjudul "Messiah."
Di keheningan malam itu, pikiranku melayang-layang pada apa yang dikerjakan Händel pada waktu menciptakan karya tersebut. Dalam biografi-nya, Händel menciptakan karya tersebut dalam waktu dua puluh dua hari dan selama waktu itu ia hampir tidak berkeinginan untuk makan atupun tidur. "Tugas agung" tersebut memberinya kekuatan sendiri. Saya menamainya sebagai "tugas agung" sebab masing-masing kita diciptakan secara unik dan khusus. Kekhususan dari manusia itu adalah berkarya, bahkan orang yang tidak memiliki karya dalam hidupnya tetap memiliki tujuan dalam hidupnya (Bdk. Buku legendaris tulisan Rick Warren dengan judul The Purpose Driven Life).
Tugas yang dipercayakan kepada kita (apa pun namanya: boss, pembesar, ibu rumah tangga, karyawan maupun tukang sapu) haruslah dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, bahkan menumbuhkan rasa kepuasan batin (passion). Albert Schweitzer (1875 – 1965) seorang dokter dan misionaris menemukan rasa bahagia ketika mengobati seorang pasien. Dengan perlahan si pasien membuka matanya dan kemudian berbisik keheranan, "Aku tidak lagi merasa sakit." Itulah kebahagiaan terbesar bagiku. Tidak ada pahala material di sana kecuali sebuah kepuasan dalam bertugas (Bdk. Memahami Alkitab: 1 dan 2 Petrus, tulisan William Barclay hlm. 151). Sebagai dokter dan misionaris, Schweitzer menyadari bahwa tugas pekerjaannya senantiasa diselesaikan dengan sempurna. Pepatah Latin menulis, "Finis coronat opus" – hasil akhir memahkotai sebuah kerja keras. Memang, mahkota sebuah tugas adalah ketika tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik. "Kita berusaha untuk mendapatkan mahkota kemenangan dalam setiap pertandingan kehidupan ini" seperti yang dikatakan oleh Plutarch (45 – 120).
Plutarch mengatakan bahwa ketika seorang Sparta memenangkan pertandingan, hadiahnya adalah bahwa ia boleh berada di sisi Raja. Ketika seorang pegulat Sparta ditawarkan suap yang begitu besar agar dia keluar dari pertandingan, ia menolak. Lantas, seseorang bertanya, "Hai orang Sparta, apa yang kamu peroleh dari kemenangan yang mahal harganya itu?" Jawabnya, "Aku telah memenangkan hak istimewa untuk berdiri di depan Rajaku dalam pertandingan. Hadiahnya adalah melayani dan jika perlu mati demi sang Raja." Sebuah kepuasan batin yang mendalam, karena boleh melayani sang Raja.
Pada suatu kesempatan, saya pernah menemui seorang ibu yang "malu-malu kucing" bila ditanya tentang tugasnya. Dia berkata, "Tugas saya hanyalah ibu Rumah Tangga!" Lantas, saya pura-pura bersikap bijak dan berkata, "Ibu, tugas sebagai ibu Rumah Tangga itu amat agung. Secara tidak sadar ibu – sebenarnya – menyiapkan generasi pemimpin masa depan. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi dalam diri anak-anak ibu ini." Di kemudian hari, ibu akan mensyukuri pengalaman sebagai ibu Rumah Tangga, "operae pretium est" – nilai kerjanya sesuai. Nilainya amat tinggi ketika mengerjakan "tugas agung" tersebut. Bahkan di kemudian hari, seorang ibu akan sangat bahagia dan berkata seperti apa yang dikatakan oleh Paulus, "Kalau demikian apalah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil" (1 Kor 9: 18).
Melalui "tugas agung" yang dipercayakan kepada kita, tidak perlu kita rendah diri (minder) jika berhadapan dengan orang lain yang memiliki kedudukan tinggi atau barangkali lebih beruntung. Pada akhir hidup kita, Sang Pemilik Kehidupan akan meminta tanggung jawab kepada masing-masing kita, "Bagaimana engkau mengembangkan talentamu?" (Bdk. Mat 25: 14 – 30, "Perumpamaan tentang Talenta"). Noblesse oblige, yang kurang lebih berarti: "yang memiliki lebih akan dituntut lebih."
Senin, 12 Mei 2014 Markus Marlon markus_marlon@yahoo.com
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Rabu, 07 Mei 2014
Ikhlas
( M o t i v a s i )
Saya pernah membaca sebuah kata-kata mutiara pada sebuah tempat ibadah, "Some people think that makes us hold on to that strong. Fact, sometimes it let must let loose that makes us stronger" – Sejumlah orang mengira bahwa berpeganglah yang membuat kita kuat. Padahal kadang-kadang justru membiarkannya lepaslah yang membuat kita kuat (Sylvia Robinson, penyanyi berkebangsaan Amerika: 1936 – 2011). Berpegang tangan dan saling tergantung memang baik. Tetapi jika selalu saling tergantung akan membuat orang tidak menjadi dewasa. Orang takut kehilangan.
Dalam hidup ini, mungkin kita pernah memiliki pengalaman kehilangan. Dan memang, pengalaman kehilangan itu menyakitkan. Coba kita bayangkan bagaimana jika seseorang yang sudah bertahun-tahun "membesarkan" perusahaan, tetapi bersamaan dengan bergulirnya waktu, perusahaan tersebut pailit dikarenakan ulah "anak buah" yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah, ia merasa amat kehilangan. Rasa kecewa dan sakit hati, datang silih berganti. Namun pada akhirnya orang tersebut berpasrah dan ingat akan kata-kata Paulo Chelho (Lahir di Rio de Janeiro, 24-8-1947) yang menulis, "No one losses anyone, because no one owns anymore. That is the true experience of freedom: having the most impotant thing in the world without owning it" – Tak ada yang kehilangan siapa pun, karena tak ada yang memiliki siapa pun. Itulah pengalaman kebebasan yang sejati: sepenting apa pun, memunyai tidak harus memiliki.
Mahatma Gandhi (1869 – 1948) punya pengalaman menarik. Ketika naik kereta api, sandal yang satunya terjatuh dan terlempar di sela-sela rel. Gandhi kemudian melepaskan sandal satunya dan dilemparkan keluar. Ketika orang menyaksikan peristiwa itu, Gandhi berkata, "Dengan membuang yang satunya maka sandal itu akan bermanfaat bagi orang lain yang menemukan sandalku." Kata-kata itu memang terbukti benar adanya. Beberapa orang berkata bahwa jika diri mereka murah hati dan mudah memberi, maka dirinya akan banyak rezeki, "Hidup bagi diri sendiri dan kita akan hidup dalam kesia-siaan. Hiduplah bagi dan bersama orang orang lain, maka hidup kita akan semakin bermakna."
"Berbagi" memang tidak mudah. Namun dengan latihan hari demi hari, maka kita akan menjadi pribadi yang suka berbagi bahkan berbagi yang mungkin berat. MAW Brouwer dalam bukunya yang berjudul, "Antara Senyum dan Menangis" menulis, "Lepaskanlah, lepaskanlah kata Johann Wolfgang von Goethe (1749 – 1832). Orang tua pada suatu ketika harus melepaskan anaknya. Ibu harus melepaskan cucunya, gadis harus melepaskan kecantikannya…"
Rabu, 07 Mei 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Sabtu, 03 Mei 2014
Plinplan
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Belum lama ini (Sabtu, 24 April 2014), saya belanja tomat-wortel di pasar tradisional Simpong – sebuah pasar terbesar di Kota Luwuk (Sulawesi Tengah). Ketika sedang mengadakan transaksi 1kg tomat seharga Rp. 9.000,- terdengarlah sebuah lagu yang dilantukan oleh Atiek CB dengan judul, "Nurlela." Samar-samar dari kejauhan, terdengar syair, "Rasain kamu, sekarang gigit jari, makanya jadi pacar jangan plin-plan!" Dari kata plin-plan itu, tercenung sebuah refleksi yang cukup mendalam.
Plin-plan adalah cakapan sehari-hari bahasa Jawa berasal dari kata plinthat-plinthut yang memiliki arti berpendirian tidak tetap dan mudah dipengaruhi. Orang semacam ini tidak bisa dipegang omongannya. Orang Jawa mengatakan bahwa orang yang plin-plan itu "Esok dhêle, sore tempe" (Pagi kedelai tetapi sore sudah bilang tempe). Dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah berubah ucapan maupun pendiriannya. Novel tulisan HAMKA – Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908 – 1981) berjudul, "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" melukiskan tokoh Zainnudin yang plin-plan dalam mencintai Hayati. Zainnudin cinta setengah mati terhadap Hayati. Namun – karena sesuatu hal – Hayati "lari" dari padanya. Namun, setelah Hayati itu didapat kembali, dirinya disia-siakan sampai akhirnya tenggelam (sad-ending bahkan tragedy ending). Seandainya Zainnudin itu tidak plin-plan, tentu kisah romantis ini akan berakhir happy-ending.
Orang yang plin-plan sangat tidak disukai. Kebudayaan Jawa mengenal ungkapan, "Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali" dan "Berbudi bawalaksana" artinya ucapan raja tidak boleh diulang dan seorang raja harus teguh memang janji. Kalau dalam Kitab Suci agama Kristen dikatakan, "Jika ya, hendaklah katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakah: tidak..." (Mat 5: 37). Dalam bahasa sekarang dikatakan sebagai wilayah "abu-abu" atau "grey area." Hitam tidak putih pun tidak. Plin-plan.
Sabtu, 03 Mei 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com