Sabtu, 22 Maret 2014

Elemen Penghancur Perkawinan

Elemen Penghancur Perkawinan

Kasus
Albertus (nama samaran, disingkat A) adalah seorang yang lahir dan dibesarkan tanpa kehadiran seorang ayah. Sebelum ia lahir ayah dan ibunya bercerai. Tentu saja ini mempengaruhi kepribadian ibu dan dirinya sendiri.

A adalah seorang yang berjuang keras hingga memperoleh gelar yang sangat tinggi pada usia yang masih sangat muda. Dia pria yang sangat sibuk dalam karirnya. Istri A sebutlah Indri (nama samaran, disingkat I) juga seorang cerdas dan wanita karir yang hebat. Namun Indri sebelum menikah dengan A pernah menikmati keintiman dengan beberapa pria, bahkan sampai pada bentuk hubungan suami-istri.

Di sisi lain, Ketika baru saja menikah ternyata sang suami harus pergi ke luar negeri untuk studi. Hal ini tentu membawa pergumulan tersendiri baginya sebagai Indri, yang masih mendambakan keintiman dan kemesraan pada usia pernikahan yang baru.
Untuk mengatasi kesepian I, A mendorong istrinya untuk mengambil gelar Doktor. Dengan demikian tekanan dalam penyesuaian diri sebagai suami istri dan studi menjadi semakin besar. Akhirnya Indri terjebak mencari kemesraan dengan pria idaman lain (PIL), karena dia makin sering berjumpa sahabatnya di kantor dan saat kuliah.
Lama kelamaan A mengetahui perselingkuhan istrinya itu. Ditambah dengan catatan masa lalu istrinya yang belum pupus dalam ingatan A, membuat A menjadi sulit untuk mempercayai istrinya. Inilah latar belakang yang menimbulkan konflik dalam rumah tangga A.

Elemen Penghancur Perkawinan

Dalam kasus-kasus konseling kami memperhatikan, perkawinan menjadi rusak karena beberapa perilaku suami atau istri yang menghancurkan. Ada beberapa elemen yang dapat merusak perkawinan.

Pertama, keras kepala.
Artinya, masing-masing mudah terbakar oleh perbedaan pendapat. Pola komunikasi pasangan ini mirip dengan permainan kartu, tiap orang merasa harus menang. Salah satu Penyebabnya adalah keduanya memiliki sifat keras kepala.

Bagaimana mengatasi sifat keras kepala ini? Anda dan pasangan harus menyediakan waktu untuk duduk bersama. Kemudian membicarakan dengan terbuka hal-hal apa yang menjengkelkan masing-masing saat berkomunikasi. Misalnya soal pulang terlambat, janji yang tidak dipenuhi, sifat pelupa, dan sebagainya.

Sifat ini membuat suami atau istri tergoda untuk mengeluarkan statement atau tindakan tertentu yang sifatnya menghina dan menyerang satu sama lain. Misalnya berusaha menjadi lebih superior dengan cara merendahkan pasangannya. Pola komunikasinya "you hurt me, so I hurt you'. Hal ini akan memperlemah pernikahan. Seringkali penyebab tingkah laku ini muncul samar-samar.

Sementara itu, di satu sisi pasangan yang menderita justru "menyukai" dia menjadi korban. Dengan berperan sebagai korban dia mendapat jalan memojokkan pasangannya. Misalnya sang istri yang dominan suka mengambil keputusan tanpa tanya suami. Ketika kemudian ternyata keputusan itu salah, suaminya kemudian berkata, "Kan, mama yang mutusin sendiri..." Suami ini "menang", tapi dengan cara melukai istrinya.

Kedua, mendominasi pasangan.

Seorang istri yang sukses dalam karir, cenderung mengontrol suami dan semua urusan rumah tangganya. Kadang untuk itu dia berperilaku agresif dan berpura-pura meminta pendapat sang suami. Namun karena selalu kurang waktu untuk diskusi, suami akhirnya menyerah pada kemauan istrinya.

Ada juga sikap menyuap pasangan. Pola ini sering dipakai di mana komunikasi berjalan secara tidak jelas. Terjadi sistem "suap" supaya pasangan diam dan menerima keadaan. Contoh: Seorang istri yang ingin ngobrol dengan suaminya tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan suaminya tetapi tidak kesampaian karena suami terlebih dahulu memberikan sesuatu padanya, misalnya perhiasan atau uang (hadiah). Akhirnya si istri mengurungkan niatnya untuk curhat. Ucapan terima kasih dari istri pada suaminya tidak berarti karena kebutuhan tidak terjawab.

Cara-cara ini harus diperbaiki jika Anda menginginkan pernikahan Anda menjadi lebih baik. Istri yang sukses perlu menyadari bahwa suami adalah pemimpin. Dengan demikian dia perlu memberikan sikap hormat seperti yang seharusnya diterima seorang pemimpin.

Kepemimpinan suami dalam keluarga bukanlah posisi yang diusahakan suami karena dia berhasil secara finansial atau punya pendidikan atau kedudukan lebih tinggi di kantor. Allah-lah, yang menentukan suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Ini tidak bisa diganggu-gugat, karena sangat menentukan keberhasilan pernikahan Anda.

Seorang Istri yang takut akan Tuhan akan menempatkan suaminya pada posisi yang lebih tinggi daripada dia sendiri. Suami yang menyadari bahwa dia harus mempertanggungjawabkan kedudukan ini kepada Allah, tidak akan mau mengabaikan rumah tangganya, apa pun alasannya.

Tiga, membaca pikiran.

Istri/suami mempunyai asumsi pikiran terhadap pasangannya. Akibatnya, seringkali terjadi salah paham dan memancing pertengkaran. Contoh: seorang suami yang terlambat pulang dengan alasan bertemu klien sementara istri di rumah sudah berasumsi suaminya pergi dengan perempuan lain. Contoh: Kata Anda dalam hati, "Jangan-jangan dia itu ...."

Mind reading ini menjauhkan Anda dan pasangan secara emosi. Sedangkan kecurigaan membangun jarak Anda dengan pasangan. Waspadai juga pikiran berikut ini, "Istri saya sengaja berbuat begini supaya saya marah..." atau "Suami saya sengaja mau mempermalukan saya..."

Kita perlu membangun rasa percaya terhadap pasangan. Bagaimanapun, Andalah yang memilih dia menjadi suami atau istri Anda. Tentu Anda memilih dia dari sekian banyak orang yang Anda kenal karena dia yang terbaik bagi Anda. Dialah juga orang yang terdekat dengan Anda saat ini. Kalau bukan Anda yang mempercayai pasangan Anda, siapa lagi?

Pria dan wanita mempunyai sifat dan pembawaan yang dasarnya memang berbeda. Misalnya kebutuhan untuk didengarkan, lebih mendominasi para istri. Sedangkan pria akan sangat berterimakasih jika istrinya tidak terlalu banyak bertanya di saat dia tidak siap menjawabnya atau ketika dia lelah dan butuh istirahat. Komunikasikan kebutuhan Anda dengan baik sehingga pasangan Anda tidak menduga-duga lebih jauh.

Menurut Lederer dan Jackson, ada relasi yang kuat antara trust dan komunikasi suami-istri. Jika komunikasi antara suami istri terganggu dan mengalami tegangan maka trust cenderung berkurang. Tetapi jika keduanya saling memper-cayai, mereka mudah membangung kepercayaan yang "saling" (mutual confidence).

Empat, menghindari konflik.

Perilaku menjengkelkan lainnya adalah mengalihkan rasa enggan berkomunikasi dengan kesibukan. Contoh: Suami membawa pulang pekerjaan kantor, kemudian berkurung diri di kamar dan tidak mau diganggu. Istri juga terus sibuk dengan anak-anak dan pekerjaan rumah lainnya. Karena kesibukan masing-masing maka akhirnya mereka tidak saling berkomunikasi, padahal sebenarnya ada hal-hal yang bisa ditunda.

Contoh lain. Suami sebenarnya tidak begitu suka bertemu dengan keluarga istri. Maka, kalau keluarga istri berencana kumpul, ada-ada saja alasan suami tidak mau ikut. Ini dilematis untuk istri yang memang dekat dengan keluarga asalnya. Maka, jika ada rencana pertemuan keluarga, istri berusaha sedapat mungkin bersikap baik dan menghindarkan konflik dengan suaminya. Tetapi akibatnya dia kelelahan sendiri karena merasa terjepit antara suami dan orang tua atau saudara kandungnya.

Ini pernah terjadi dalam pernikahan kami sendiri di lima tahun pertama. Saya (Julianto) selalu merasa enggan ke rumah mertua saya, sebab saya tidak merasa nyaman sedang konflik dengan Wita. Lagipula konflik kami sering tidak selesai berhari-hari saat itu. Untuk menghindari ajakan Wita saya menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor. Ya, sok sibuk.

Bagaimana mengatasi hal ini? Umumnya aktifitas sok sibuk ini dipicu oleh konflik tersembunyi. Kalau konflik tersembunyi ini dibiarkan bertumpuk, kita tinggal menunggu ledakannya yang hebat. Karena itu, masing-masing pihak harus mengakui perasaannya yang terdalam, apakah yang membuat dia enggan berkomunikasi dengan pasangan. Jika akar sebenarnya adalah konflik yang bertumpuk, mereka perlu belajar terbuka dan mampu mengelola konflik itu.

Lima, komunikasi yang miskin.

Dari kasus di atas, usai menikah Albert langsung pergi studi ke luar negeri meninggalkan istrinya. untuk studi. Hal ini tentu membawa pergumulan tersendiri baginya sebagai Indri, yang masih mendambakan komunikasi, keintiman dan kemesraan pada usia pernikahan yang baru.
Indri istri Albert merasa kesepian sendiri di rumah. Bagi istri, kehadiran suami di rumah merupakan kebutuhan yang sangat penting. Apalagi pada tahun-tahun pertama pernikahan. Sayangnya dalam usia pernikahan yang masih sangat muda itu Albert memilih sekolah ke luar negeri. Para istri umumnya sangat membutuhkan kehadiran sang suami untuk melindungi, menghibur, membesarkan dan menguatkan hatinya tatkala menghadapi tekanan-tekanan.

Menurut D. Scheunemann para istri sangat butuh pernyataan dan wujud cinta, rangkulan kasih, dan tanda-tanda cinta yang romantis. Istri membutuhkan banyak waktu suaminya agar suaminya dapat mendengarkan keluhan dan pergumulannya.

Ada empat kebutuhan pokok istri dalam hubungan dengan suami. Yakni: rasa aman, percakapan yang berarti, ikatan emosi yang romantis dan sentuhan fisik. Namun karena suaminya ada di luar negeri untuk kuliah, maka hal-hal tadi nyaris tidak dirasakan Indri. Karena kebutuhannya tidak dipenuhi maka muncullah keinginan membangun keintiman dengan pria lain. Komunikasi merupakan inti kehidupan keluarga. Artinya tiap anggota berinteraksi secara verbal dan nonverbal menyatakan emosi-emosi mereka.
Melalui komunikasilah suami istri dapat menyatakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sehingga hubungan itu semakin intim dan dalam.

Tanpa kemampuan berkomunikasi secara efektif, keluarga itu akan cepat menjadi hanya sekumpulan individu yang memiliki perasaan, pikiran dan keinginan masing-masing. Keluarga yang demikian akan mudah menjadi sakit dan tidak berfungsi.
Enam, berbuat baik demi menguasai pasangan.

Perbuatan baik yang dilakukan oleh suami/istri untuk menyenangkan diri sendiri. Contoh: seorang istri melayani kebutuhan seksual suami dengan tujuan keinginannya dipenuhi, misalnya ingin dibelikan cincin berlian. Pola saling balas antara suami istri yang dilakukan secara sadar. Pasangan hanya berbuat baik jika pasangan lebih dulu berbuat baik dan sebaliknya.

Klien kami Siska mengeluh tentang pernikahannya. Suaminya sering berbuat baik karena ada maunya. Siska berkata, "Saya merasa suami saya membangun tembok di antara kami. Dia jarang mengajak saya bicara. Kalau saya mendekati dia atau mencoba mengajaknya bicara, dia pergi. Suami saya bahkan seringkali pergi begitu saja, nggak bilang. Tetapi kalau dia mau seks, dia akan bermanis muka pada saya. Atau kalau ibunya mau datang, dia jadi baik sekali. Dia mau supaya saya melayani mamanya. Tapi bagaimana bisa ya, begini terus. Lama-lama, saya merasa hanya dimanfaatkan suami saya sendiri."

Pola ini merusak pernikahan, maka perlu diperbaiki. Perasaan jengkel karena merasa dimanfaatkan pasangan, perlu dikelola. Suami dan istri seyogyanya memiliki cinta yang tulus dan sabar menanggung kelemahan tertentu pasangan. Jika sulit melakukannya, pasangan ini perlu meminta pertolongan konselor perkawinan.

Enam, tidak bertanggung jawab.

Kami menjumpai kasus seorang istri yang sukses berkarier di luar rumah menggunakan waktunya untuk "gaul" tanpa meminta izin kepada suaminya. Dia mengatakan akan pulang larut karena ada rapat kantor. Padahal dia pergi dugem dengan teman-temannya.

Ada lagi kasus seorang istri datang ke kantor kami karena suaminya sudah delapan tahun tidak berbicara dengan dia. Mereka masih tinggal seatap tetapi sama sekali tidak ada komunikasi. Sang suami menjadikan rumah seperti hotel, pergi-pulang tanpa kesan dan pesan. Suami demikian dikategorikan tidak bertanggung jawab.

Di Indonesia, 30% perceraian terjadi karena salah satu pasangan meninggalkan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Yang dimaksud di sini bukan jobless, yang terkadang memang tidak terhindarkan, melainkan sifat seseorang yang cenderung mau enaknya saja.
Sifat ini biasanya sudah terbentuk sejak masa kanak-kanak. Jadi kalau ditemukan sesudah menikah, maka tidak mudah untuk mengubahnya. Jika istri terus ngomel menuntut suami berubah, dapat menjadi bumerang dimana suami tidak nyaman digurui. Sebaiknya temui konselor perkawinan, agar terapislah yang berbicara dengan suami Anda.
 
Julianto Simanjuntak
dari buku "KETRAMPILAN PERKAWINAN" (Julianto Simanjuntak & Roswitha Ndraha)
Pengguna iPad dan iPhone bisa unduh ebook kami di http://juliantobooks.mahoni.com
Follow twitter @PeduliKeluarga

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: