( Kontemplasi Peradaban)
Seseorang penceramah bertanya dalam suatu seminar, "Pernahkah kita kebakaran jenggot karena mendengar pergunjingan tentang diri kita?" Para peserta ceramah yang ditanya hanya diam saja – barangkali tanda setuju.
Jika kita mendapat "laporan" dari seseorang bahwa diri kita difitnah, dihakimi ataupun divonis, maka kita menjadi kecewa dan marah. Mereka membicarakan diri kita secara in absentia (tanpa kehadiran yang bersangkutan). Apalagi, orang yang bergunjing itu ternyata adalah teman-teman dekat yang kita percayai, makin tambah kecewa.
Pergunjingan ada di mana-mana. Di tempat tukang cukur pinggir kali (girli) yang tentunya di bawah pohon asem, di tempat pijet tradisional, di tempat rehat para karyawan kantor, bahkan di biara-biara ketika mereka santap di refter. Sepertinya, usia pergunjingan barangkali setua peradaban manusia itu sendiri. Orang Jawa memiliki istilah yang sangat tepat untuk kegiatan ini yaitu ngrasani yang berarti membicarakan orang lain yang buruk-buruk dan jelek-jelek tanpa kehadiran orang tersebut. Tidak secara kebetulan bahwa Paus Fransiskus beberapa hari setelah menduduki tahta tertinggi, ia berkotbah di Kapel Domus Sanctae Marthae supaya orang tidak mudah bergunjing (27 Maret 2013).
Edward Browne (1862 – 1926) pernah menulis, "Ketidaksempurnaan terbesar kita ada dalam visi batin kita. Kita begitu picik, sehingga bisa melihat hal buruk dalam diri orang lain, tetapi tidak bisa menemukan hal buruk dalam diri kita." Di sini kita bisa menyaksian sendiri, bagaimana jika dalam rumah-rumah biara bergunjing tentang teman sekomunitasnya. Seolah-olah yang berbicara itu malaikat yang tanpa dosa dan teman yang digunjing dan digoyang itu manusia jelmaan iblis. Padahal Yesus sendiri mengatakan, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yoh 8: 7). Tidak mengherankan jika peribahasa yang berbunyi, "Gajah di pelupuk mata tak tampak," sering digunakan untuk menyadarkan si tukang fitnah agar berhenti – atau paling tidak mengurangi aktivitas bergunjing ini. Atau dalam bahasa Injil ditulis, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" (Mat 7: 3)
Kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang. Dalam Al-Qur'an surat 49: 12 ditulis, "Hai, orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang dan janganlah sebagian dari kamu memergunjingkan sebagian yang lain…" Tentang pergunjingan ini, Kanjeng Nabi memiliki jawaban yang luar biasa, "Jika yang kalian katakan mengenai seseorang memang benar, maka itu berarti kalian telah mengumpatnya dan jika tidak benar, maka kalian telah memfitnahnya" (Bdk. Segalanya Tentang Islam tulisan Christine Huda Dodge, hlm. 188). Dari sini, kita menjadi ingat akan makna The Socrates' Filter. Uraian tentang filter atau saringan itu, dapat kita lihat sebagai berikut, "The first filter is truthfulness, the second filter is of goodness and the third filter is of usefulness." Jika ternyata pembicaraan orang lain itu tidak benar dan tidak baik dan tidak berguna lebih baik tidak usah disampaikan kepada yang bersangkutan. Kalau disampaikan malah akan terjadi bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip, kol kutuk kadal kesit, hong wilaheng atos watu gembuk tahu, bolong semprong buntu alu dan yang kena gunjingan bisa marah ber-ganjingan seperti bajing atau anjing tidak terkendali.
"Memang lidah tak bertulang" sebuah syair singkat yang sarat makna dan kita menyetujuinya. Lidah perlu kita kendalikan supaya tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati orang lain. Kita menjadi ingat kata-kata bijak, "Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya" (Ams 18: 7).
Lantas kita masing-masing bertanya, "Bagaimana kita bisa mengendalikan lidah?" Tanpa sadar saya ingat akan burung bangau atau crane yang hidup di pegunungan Taurus – Turki Selatan. Burung-burung tersebut cenderung berkicau terutama selama mereka terbang. Dan kicauan itu justru akan menarik perhatian burung rajawali yang tentunya akan menukik dan menyambar mereka. Crane yang berpengalaman akan menghindari "ancaman maut" tersebut dengan memungut batu-batu kerikil untuk memenuhi mulut mereka.
Kalau saya di Playen – Wonosari – Gunungkidul, banyak simbok-simbok yang nyusur. Selama nyusur itu, mereka diam dan tidak ngrumpi, sebab di mulutnya penuh dengan tembakau, pinang dan sirih. Ketika saya di Jayapura, di sana banyak sekali orang yang makan sirih-pinang. Selama makan sirih-pinang, mereka tidak buat mop-mop. Alangkah baiknya jika orang-orang yang suka bergunjing itu nyusur atau makan sirih-pinang, pasti dunia aman sentausa. Semoga!!
Rabu, 29 Mei 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar