SOK
(Kontemplasi Peradaban)
Malam Minggu (18 Mei 2013), saya kongko-kongko (bahasa percakapan yang berarti: duduk santai dengan pembicaraan yang tidak menentu ujung pangkalnya) di Libra (lingkaran Brawijawa) yang indah di depan Mesjid Agung, "Al-Aqsa" yang megah – Merauke.
Dalam suasana santai, ada beberapa remaja Jamer (Jawa-Merauke: orang Jawa lahir dan besar di Merauke) yang berbicara sekenanya. Katanya, "Orang yang rajin ke Gereja itu namanya sok suci. Orang yang merasa diri tampan itu namanya sok ganteng. Orang yang merasa diri pintar itu namanya sok pintar."
Lantas, gadis belia turunan Toraja itu menimpali, "Kalau ada orang yang suka berbuat baik pada orang lain itu apa namanya?" Saya – meskipun bukan dari kelompok mereka – berkata, "sok sial! Eh maaf, sok sosial!"
Kata sok itu sebenarnya merupakan dialek melayu Jakarta, yang memiliki makna merasa mampu, hebat, tampan, cantik tetapi sebenarnya tidak atau berlagak (suka pamer dan sebagainya).
Dan sialnya lagi, orang-orang seperti ini sering kita jumpai di mana-mana. Banyak kisah-kisah menarik berkenaan dengan orang yang merasa diri hebat, yang ditulis dalam cerita fable (kisah-kisah binatang untuk menyindir perilaku hidup manusia). Din Man dalam bukunya yang berjudul 200 Kisah Terindah Sepanjang Masa dari China memberikan cerita tentang "Keledai Yang Sombong." Keledai itu mengangkut patung-patung dewa yang hendak dibawa ke kuil. Dalam perjalanan ke sana, banyak orang menghormati patung-patung itu sambil membungkukkan badan. Tetapi keledai yang sombong itu pun berkata, "Lihat, mereka membungkukkan badan untukku!" Keledai lupa bahwa orang-orang itu tidak sama sekali menghormati keledai.
Kisah fable lagi yang ditulis oleh pencerita dari Yunani: Aesop ( ± abad VI seb. M) tentang katak yang sok pintar. Dikisahkan bahwa si katak akan pergi ke pulau seberang seperti yang dibuat oleh para burung. Tetapi burung-burung itu menyesalkan keadaan katak yang tidak bisa terbang. Katak itu memiliki gagasan brilliant , katanya, "Tolong, kalian berdua memegang tongkat dengan mulut kalian, aku akan menggeggamnya di tengah-tengah dengan mulutku dan kita akan pergi bersama." Kedua burung itu pun bersedia. Semua berjalan dengan baik. Namun, sewaktu mereka terbang di atas sebuah padang rumput, dua sapi memandang ke atas dan melihat trio itu. Seekor dari kedua sapi itu berkomentar, "Wah, ada dua ekor burung terbang dan membantu seekor katak!" Katak yang mendengar kata-kata sapi itu pun menjadi jengkel dan berkata, "Ini semua karena gagasanku!" Tentu saja setelah berbicara, gigitannya terlepas dan ia pun jatuh dan tewas. Katak itu sok cerdas karena memiliki gagasan hebat.
Memang, kebanyakan orang tidak suka dengan orang yang sok pintêr dan berlagak diri tahu tentang banyak hal. Kata pintêr dalam arti tertentu memiliki makna negatif. Peribahasa Jawa yang berbunyi, "Wong pintêr keblinger" merujuk pada orang pandai tetapi terjerumus karena kepandaiannya sendiri. Berhadapan dengan orang-orang sok pintêr, orang-orang akan meyejajarkan dengan pintêr ngapusi atau pintêr goroh (pandai menipu). Makanya orang-orang yang suka sok itu cepat atau lambat akan ditinggalkan orang.
Orang-orang yang merasa diri hebat dan berlagak serta sok pintar, sok kaya, sok cantik juga sok kuasa itu sepertinya lupa dengan ungkapan Jawa, "Aja dumeh, ana salah, ana kalah, ana ngalah" yang berarti: jangan sok-sokan atau mentang-mentang. Dalam hidup ini ada saatnya kita berbuat salah, ada waktunya kita kalah dan ada tempo-nya kita harus mengalah. Hidup kita ini tidak selamanya "berada di atas." Ingat prinsip "Cakramanggilingan" yang berarti hidup kita ini berputar – kadang untung namun kadang pula buntung. Kita juga perlu belajar dari orang-orang Tionghoa yang berkata, "Tian Shang You Tian" yang berarti: di atas langit, masih ada langit. Lalu, "Untuk apa kita harus sok?"
Jumat, 24 Mei 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Jumat, 24 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar