Sabtu, 23 Maret 2013

CEREWET
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Pencerita a la sufi  Antony de Mello (1931 – 1987)  dalam Burung Berkicau  menulis  kisah yang menarik untuk disimak. Ada dua rahib: tua dan muda mengadakan perjalanan ke sebuah desa di seberang sungai. Ketika hendak menyeberang  sungai, ada seorang gadis cantik muda belia akan menyeberang  sungai itu. Tetapi karena airnya agak dalam, ia menunggu orang yang rela membantu menyeberangkan sungai tersebut (Bdk. Kisah St. Kristoforus dalam Hagiografi  atau Begawan  Durna yang menyebarangkan Dewi Krepi  dalam Mahabaratha).

          Karena belas kasihan, rahib tua itu membantu sang gadis muda belia itu dengan mengendongnya. Setelah sampai di seberang kali, gadis cantik muda belia itu pun mengucapkan terima kasih dan  say good bye.  Namun  dalam perjalanan,  selama berjam-jam  rahib muda itu cerewet mengritisi apa yang telah dilakukan rahib tua itu. Katanya, "Engkau telah melanggar kaul kemurnian, matamu telah dikuasai oleh nafsu, bla..bla..bla!"   Rahib tua itu mendengarkan dengan tenang, tetapi setelah rahib muda itu  selesai  ngoceh, ia pun berkata, "Saudaraku, aku sudah meninggalkan gadis cantik muda belia itu lima jam yang lalu, kenapa engkau masih  'membawanya'  dalam hatimu dan terungkap dalam kecerewetanmu?" 

        Cerewet, ngoceh, ceriwis, ngomel, bawel adalah kata-kata yang tidak asing di telinga kita. Dalam situasi yang tidak mengenakkan hati,  orang akan menggerutu dan mengeluh, sehingga lawan bicaranya akan berkata, "cerewet ah, bosen!" Orang akan mengeluarkan isi hatinya dan kadang-kadang yang mendengarnya merasa jenuh. Seneca (4 – 65) nama lengkapnya Lucius Annaeus Seneca  berkata, "Imago animi sermo est" – bahasa (kata-kata yang keluar) itu cermin hati.  Din Man dalam  200 Kisah Terindah Sepanjang Masa Dari China  melukiskan makna "kecerewetan" dari para binatang. Tulisnya, "Kamu lihat katak  yang hidup di pinggir sungai atau lalat yang suka dengan barang-barang berbau tak sedap. Mereka selalu bersuara tiada hentinya, tidak peduli siang atau malam, supaya diketahui keberadaannya. Tetapi, walau mereka bersuara sampai tenggorokannya kering dan lelah, tidak seorang pun yang memerhatikan yang sebenarnya mereka ributkan. Tetapi lihatlah ayam jago yang berkokok. Orang-orang yang mendengarnya satu per satu memulai hari barunya dengan semangat" (hlm. 43 – 44).

          "Air beriak tanda tak dalam" atau "tong kosong berbunyi nyaring" adalah pepatah-pepatah  yang sering kita dengar. Pepatah ini tentunya berlaku bagi orang-orang tukang bicara, tetapi tidak melakukan apa yang dikatakan atau  tidak konsekuen. Lihat saja betapa  sebel-nya jika dalam meeting kita jumpai orang-orang yang cerewet  tetapi ketika hari-H nya tiba  untuk bekerja dia tidak muncul.  Orang-orang Romawi kuno memiliki ungkapan, "Ecce  iterum  Crispinus!"  –  Lihat itu Krispinus banyak tampil  dan usul.  Ternyata sejak jaman dulu kala, orang-orang yang banyak bicara itu  tidak disukai jika tidak ada tindakan nyata, NATO, not action talk only.

          Orang-orang Yunani memandang di luar bangsanya sebagai barbaria (Tanah bangsa yang masih biadab bagi orang Yunani). Orang-orang Yunani  tidak paham apa yang dikatakan dan yang dia dengar hanyalah, "bar..bar..bar!" Ada kerancuan  (berbarism) dalam menggunakan bahasa. Tidak usah heran, jika  bangsa Yunani merasa diri paling beradab, mungkin karena memiliki bahasa yang indah dan mereka bangga memiliki  Homerus, pesajak epik Yunani Kuno (± tahun 850 seb. M ) dengan  Illiad dan Odeyssey-nya yang amat luar biasa. Dari Yunani pula, bertebaran istilah-istilah bagi ilmu pengetahuan: kedokteran, "hipocratic's oat" dari orang yang bernama Hipocrates (460 – 370 seb. M). Dalam  Sejarah ada  "kronical" dari dewa Kronos (Mitologi Yunani). Dalam Psikologi ada istilah  "insomnia" dari  somnus. Dalam Sastra ada kisah  "Oedipus complex" dari Raja Oedipus  yang menikahi ibunya, Yocaste  (Bdk. Oedipus Rex, sebuah drama yang sudah diterjemahkan oleh WS Rendra : 1935 – 2009) – dan masih banyak lagi

          Bangsa-bangsa perenung – yang tentunya beradab – memiliki budaya tulisan yang tinggi. Yunani kuno, Romawi kuno dan India menghasilkan adi karya, masterpiece yang hingga saat ini bisa dinikmati oleh penduduk planet bumi. "Bagaimana jadinya jika setiap kata-kata lisan tidak ditulis maupun didokumentasikan?"  Jika demikian,  semuanya akan beterbangan entah ke mana. Padahal menurut Sudjatmoko (1922 – 1989) lengkapnya: Sudjatmoko Mangoendiningrat, ide itu memiliki kaki, maka harus ditarik ke bumi dan jangan mengawang di awan-angkasa.  Benar apa kata pepatah Latin, "Verba volant, scripta manent" – Yang diucapkan dengan kata akan lenyap, yang dituliskan akan tetap berlaku.  Adi karya, masterpiece  tidak akan dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki budaya lisan tinggi. Pramudya Ananta Toer (1925 – 2006) pernah mengkritik bangsa Indonesia, "Sejak dulu, orang-orang Indonesia tidak memiliki tradisi mendokumentasikan. Sejak zaman raja-raja. Sejarah kita pun jadi sejarah para raja.  Saya tidak heran  kalau orang asing yang banyak menulis tentang Indonesia" (Bdk. 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, diterbitkan oleh Lentera Dipantara, hlm. 86).

          Asbun, asal bunyi adalah istilah yang pernah saya terima ketika ikut kursus organ jarak jauh  dari PML (Pusat Musik Liturgi) Jl. Abubakar Ali – Jogjakarta . Kita mudah asbun, komentar, mengritisi dengan hal-hal yang kita hadapi. Dan setelah komentar berakhir, kita tidak mencatat resume,  tidak menulis notulen dan menyimpan dokumen. Semua terbang entah  ke mana. Kita lupa dengan pepatah Inggris, "Silent is golden" – diam adalah emas. Sikap diam yang  kita  memiliki itu  bermakna  mendalam, bagaikan Siddarta Buddha Gautama (563 – 483 seb. M)  yang sedang bermeditasi di atas teratai, lotus di bawah pohon bodhi.  Diam yang indah, noble silent.  Hemat kata dan tidak cerewet! (210313) Markus Marlon

 


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: