Rabu, 27 Maret 2013

Batas

BATAS
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Suatu kali saya  membaca album   necrologium  di ruang perpustakaan Biara MSC – Jl. Raya Mandala – Merauke. Dalam buku tersebut tertera daftar nama para senior yang saya kenal, karena mereka juga adalah orang-orang yang juga menginspirasi hidupku. Kemudian saya mencari namaku dalam album tersebut, tetapi usaha itu pun sia-sia.

          Karena tidak sabar, saya bertanya kepada seniorku  yang sedang sibuk di kamar kerjanya.  Ia  pun berkata, "Sobat,  ini adalah album kematian – necros – tentu saja, namamu tidak ada, karena  you  belum mati!" saya baru  ngêh. Dalam hati saya berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya.  Terminus  vitae,  tonggak akhir kehidupan.  

          "Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal 9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut  wartel-wartel  (warung tilpon – waktu itu HP belum  popular),  dipenuhi dengan anak-anak muda yang  "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma,  minta maaf  yah,  selama ini saya tidak mau dengar  mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!"  Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk  orang-orang yang dicintai.  Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta.

          Jonathan  Swift (1667 – 1745) dalam  Gulliver's  Travels  melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dari kodrat manusiawi,"  yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan  mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta  mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup.  Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.

          Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk  mencapai garis  finish  atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir  dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi  tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama  lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus  menulis sebuah dictum  bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik.  Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu."  Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya.  Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam  Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).

          Tanggal 2 November  beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu.  Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest  In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP.       Lantas, pikiran saya  mengawang ke negeri antah berantah  yang memiliki orang-orang hebat  yang meninggal dunia,  namun masih meninggalkan  karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works.  Di atas nisan Johann Sebastian  Bach (1685 – 1750) masih ada symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra  (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang  "bergentayangan."

          Kita menjadi ingat akan sabda Yesus, "Consummatum est" – sudah selesai (Yoh 19: 30).  Dalam berkarya selama tiga tahun,  Yesus telah memberikan suatu pelajaran berharga supaya kita menghargai waktu yang terbatas itu dengan sebaik mungkin. Dan nanti di batas hidup – terminus vitae – kita boleh berucap, "Consummatum est" – sudah selesai (280313) Markus Marlon

 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: